DUNIA JELAGA
Mei 1998, Jakarta rusuh. Kerusuhan
kali ini mengakibatkan kerugian masal yang nilainya tidak terhitung lagi. Bukan
hanya harta benda, namun banyak korban nyawa juga menjadi tumbal dari kerusuhan
yang hanya berlangsung dalam beberapa hari itu saja. Perusakan fasilitas umum,
penjarahan pertokoan, pemerkosaan warga minoritas, pembunuhan dan juga
pembakaran perkantoran bisnis milik publik mewarnai hari-hari kelam di
pertengahan bulan itu. Bencana yang memuncaki konflik perseteruan manusia itu
bukan sekadar tragedi, namun lebih menyerupai horor sebuah insiden mencekam
yang menimbulkan trauma berulang-ulang.
The
first victims are Chinneses. Kecemburuan
di ranah ekonomi dan sekat sosial antara masyarakat urban dan pengembang
pribumi disulut beragam konflik pertarungan kepentingan ditingkat elit menjadi
bahan bakar yang meledak liar tak terkendali. Hantu-hantu kerusuhan ini
kemudian juga bergentayangan di mana-mana. Bagai penyakit akut yang menular
lalu segera menjalar dan menyulut serangkaian tindakan anarki di beberapa
daerah di pulau Jawa. Sebuah kerusuhan yang tak gampang dijelaskan dengan detil
asal muasalnya.
Pemberitaan yang ada juga menjadi
simpang siur karena pihak-pihak yang semestinya bisa memberikan keterangan,
lebih banyak menutup diri untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang lebih
besar lagi. Pertikaian antar pengusaha dalam memperebutkan lahan bisnis,
perseteruan politik untuk menentukan siapa yang lebih pantas berdiri di tampuk
kekuasaan, serta arogansi para oknum aparat yang acapkali justru sekadar
memikirkan keuntungan memicu timbulnya konflik yang semakin susah untuk
dikontrol. Kecenderungan hanya untuk memihak pada mereka-mereka yang memberikan
keuntungan tanpa mengindahkan asas-asas keadilan, mencetak potret sosial kebangsaan
yang kumal dan lusuh, liar dan garang, serupa srigala yang siap menerkam
induknya sendiri.
Cokek menangis, namun tanpa
mengeluarkan sedikit pun air mata. Semuanya tak tersisa, hilang musnah, tak ada
yang luput dari sporadisnya bencana, bahkan juga Surya Inc. Dari luar bagunan
yang porak poranda bagai dihantam gempa, ia melihat asap membubung tinggi dari
atap kantornya. Cokek mengepalkan tinjunya. Bau ban yang terbakar mengepul di
udara yang gosong. Tertatih-tatih ia bangun menggerakkan kakinya untuk tetap
terus melangkah sambil menghapus tetes darah bercampur jelaga yang mengalir
dari lubang hidungnya. Di sepanjang jalan ia melihat masih banyak lintang
pukang orang berlarian tak tentu arah seraya meneriakkan kata-kata : kiamat telah tiba.......kiamat telah
tiba........!
***
Asimilasi ternyata hanyalah sebuah
relasi sosial yang sangat rentan dengan konflik kepentingan, sebuah proses
menuju titik mati yang tetap terus diperjuangkan. Segala pernak-pernik budaya yang
acapkali diusung dan didengang-dengungkan ternyata tetap saja tidak benar-benar
bisa meleburkan fakta tentang kelompok-kelompok sosial yang ada menjadi satu
kesatuan kepemilikan kesejarahan kebangsaan. Wajah peradaban dari sebuah negara
yang mengalami amnesia panjang. Slogan-slogan manis yang selama ini diteriakkan
hanya meninju udara kosong, karena sekat-sekat dinding perbedaan yang tinggi
menjulang, yang ujung temboknya pun tidak pernah jelas.
Cultural
genocide. Sungguh
menggiriskan memahami kenyataan bahwa sebetapa pun seorang warga keturunan
berupaya lebur dalam rahim kebangsaan, tetap saja ketika kemudian tumbuh
konflik horizontal selalunya sentimen ras yang dipermasalahkan. Mereka-mereka
yang tetap teguh dan lantang menyanyikan lagu Indonesia Raya, walau dengan
kalimat yang cadel-cadel ucapannya. Mereka-mereka yang terdesak oleh sentimen
kosmopolitan, kemudian menyingkir dan masuk ke dalam kubangan lumpur-lumpur
sawah menjadi kaum paria. Mereka-mereka yang meniadakan asal-usul moyang, lalu
mengubah diri menjadi Bejo, Kardiman, Salim, Sukiman, dan lain-lainnya.
Mereka-mereka yang tetap dan harus selalu menjaga diri dari hantu-hantu di
siang bolong, yang bisa saja tanpa ba bi
bu langsung menohok dan menyorongkan mereka dalam kotak parsial yang sangat
menyakitkan bagi siapa pun yang harus menghadapinya : dasar Cina lu....!
Hidup sudah sangat berat, bahkan tanpa
perlu kita membebaninya dengan bandul pemberat, ketika kita mencoba
mempertahankan hayat.
Setelah kerusuhan di bulan Mei itu
banyak dari antara warga Indonesia keturunan lebih memilih untuk hengkang dan
bertempat tinggal di Singapura. Mereka menjadi bagian dari komunitas komuter yang pada hari-hari biasa sibuk
bekerja, berniaga melakukan transaksi bisnisnya dan tinggal di Jakarta, lalu
begitu akhir pekan tiba berbondong-bondong mereka memadati bandara udara dan
terbang ke Singapura untuk menghabiskan week
end yang damai bersama keluarga.
Begitu pun dengan Yoga Sudarta. Paska
terjadinya kerusuhan masal itu ia lebih memilih untuk menetap di Amerika. Surya
Inc yang selama ini dipimpinnya diserahkan sepenuhnya kepada Cokek untuk
mengelolanya.
***
Susan Wong turun dari taksi dan
disambut udara Jakarta yang panas. Surya Inc nampak berdiri megah di
hadapannya. Di halaman depan gedung terlihat beberapa orang berjalan hilir
mudik dengan langkah yang tergesa-gesa. Seorang laki-laki muda keluar dari
pintu kantor dengan telepon selular melekat di kupingnya. Lalu di depan pintu
masuk dua orang penjaga keamanan memasang mata kepada siapapun yang melintas di
area perkantoran, Security’s Prosedur
Operational Standart.
Susan memasuki kantor itu dengan
diantar seorang petugas. Dinding-dinding bagian dalam perkantoran itu semuanya
dicat putih, terlihat bersih dan sejuk dengan air conditioning yang terus menyala. Lantai dalam ruangan itu juga
berwarna dominan putih terbuat dari bahan marmer dalam ukuran yang besar-besar.
Dua set kursi sudut yang disusun memanjang nampak tertata rapi di tengah-tengah
ruangan, lalu di ujung ruangan yang dibatasi meja berbentuk setengah melingkar
dengan tulisan resepsionis di atasnya seorang gadis muda nampak berdiri
menyambut kedatangan Susan.
“Apa kabar, Susan.....”
“As
you look I’m fine, Leoni....”
Keduanya saling berangkulan dan
tertawa. Dua tiga menit berlalu untuk sejenak mengenangkan nostalgia. Leoni
kemudian mengenalkan Susan kepada Denise, perempuan muda dengan mata yang sipit
namun terlihat sangat bersahabat.
“Anda sungguh cantik, Mbak.....” Ujar
Denis kepada Susan.
“Perawatan dengan krim matahari, Mbak.
Hahaha....Mbak sendiri seperti putri Huan Zhu.” Balas Susan tak mau kalah.
“Putri Huan Zhu...?! Yang main sama
Andy Lau itu?!”
“Bukan....bukan....! Sama Mat
Solar....!” Celetuk Leoni.
“Hahaha.......!” Ketiganya tertawa.
Ruangan yang membatasi resepsionis itu
sebenarnya berukuran tidak terlalu besar. Di sebelah dindingnya penuh dengan
pajangan poster iklan produk Surya.
“Sudah pernah ketemu dengan Pak CK,
Mbak?” Tanya Denise kepada Susan.
“Belum.” Jawab Susan.
“Belum?!”
“Belum. Memangnya kenapa?” Susan balik
bertanya.
“Kok kelihatannya Pak CK sudah tahu
Mbak.” Jawab Denise.
“Masa iya sih...?”
“Yaahh.....ya udah deh. Eh Leoni, lu
lekas anterin aja Mbak Susan ini.” Denise melihat ke arah Leoni.
“Panggil saya Susan saja, Mbak.” Ujar
Susan sebelum Leoni menjawab.
“Iya deh. Tapi kamu juga musti panggil
aku Denise saja.”
“OK.”
Keduanya kembali berjabatan tangan
dengan mesra. Sementara itu Leoni mencoba menghubungi ruang direktur melalui
telepon operator.
“Gimana Leon?” Tanya Denise.
“Kosong. Tadi sih beliau bilang mau meeting sebentar dengan klien. Belum
selesai barangkali.” Jawab Leoni.
“Ya sudah. Susan tunggu dulu di sini
ya.” Kata Denise seraya menunjuk ke arah kursi yang terletak di sampingnya.
“Thanks.”
Waktu terus merangkak menggapai
matahari sampai sepenggalah. Hanya dengan menyimak bayangan tiang bendera yang
jatuh di halaman Susan bisa memastikan saat itu sudah tak kurang dari jam
sepuluh pagi. Digerakkannya kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk mengusir
sekedar kepenatan yang menyergahnya. Hari ini, walau dalam kondisi sedikit
terserang influensa ia harus tampil secara normal, dengan roman yang
berseri-seri dan menerima apapun keputusan yang nantinya akan ia terima.
Tadi pagi, bahkan sebelum surya pagi
merekah menampakkan sinarnya Susan sudah mempersiapkan segala sesuatunya.
Sepatu selop yang sudah dua bulan ini menganggur tidak pernah mengantarkan
kakinya menapaki jalanan di ibukota pun telah ia turunkan dari raknya. Selesai
mandi, ia mematut diri, dan ketika berkaca di meja toaletnya sadarlah Susan ia
tidak boleh melewatkan kesempatannya kali ini. Its now or never. Fuiih…..sekali lagi Susan mengamati bayangan
wajahnya yang jatuh di cermin. Gemetar dan harap-harap cemas.
“Susan, Pak CK sudah menunggu.”
Tiba-tiba suara Leoni membuyarkan lamunannya.
“Baik, Leon.”
Tak berapa lama Susan mengikuti Leoni
menuju kantor Direktur. Keduanya memasuki lift untuk sampai di lantai yang
hanya berselisih dua lantai dari lantai resepsionis tadi. Selama itu Susan
mulai belajar menghapal-hapal ruang-ruang yang telah dilewatinya, jadi barangkali
nanti ia bisa diterima bekerja di kantor itu sudah tidak begitu asing lagi
dengan tempat-tempatnya.
Beberapa menit kemudian keduanya
sampai di depan pintu direktur. Seorang karyawan yang terlihat baru saja keluar
dari dalam ruangan itu memberikan salam kepada Leoni yang dijawab dengan sebuah
salam yang pendek. Ruang direktur. Dari balik ruangan yang hanya terhalang
pintu itu terdengar musik instrumental mengalun. Susan merasa sedikit gelisah,
dalam hati ia mulai menghitung mundur. Sepuluh..sembilan….delapan…tujuh….enam…..lima……….
Thok!
Thok! Thok!…….
“Masuk!”
***
Cokek menggoyang-goyangkan kepalanya
di atas washtafel, aku pasti mabuk semalam, pikirnya. Tak jelas betul bagaimana ia
bisa sampai di rumah terus tahu-tahu pagi harinya ia terbangun di atas sofa. Ia
hanya ingat-ingat secara samar dalam pesta tahun baru yang telah berlangsung
secara liar semalam ia menari-nari bersama Febrina. Dan entah karena pengaruh
banyaknya minuman yang telah ia tenggak, atau dikarenakan gairah hatinya yang
tengah membuncah membuatnya tidak sadarkan diri.
“Kamu jangan terlalu banyak minum.”
Cokek masih mengingat Febrina berkata demikian tatkala keduanya asyik melantai
dansa.
“Memangnya kenapa?” Ahh….sebenarnya itu adalah pertanyaan
yang tidak perlu. Namun entah kenapa berdekatan dengan Febrina membuat sikap
latah yang ada dalam jiwanya yang masih muda mendadak muncul.
“Reputasi.” Jawab Febrina waktu itu.
“Hahaha….mana ada orang mabuk berpikir
tentang reputasi?”
“Ini serius!”
“Bagaimana kalau aku katakan bahwa
kamulah yang telah membuatku mabuk?” Ucap Cokek dengan tatapan mata menegas.
Sejenak mereka saling berpandangan, keduanya berhenti menari. Di dalam ruangan
lagu oriental Mawar Terakhir masih mengalun.
“Kamu masih ingusan.” Kata Febrina. Ia
memutarkan badannya seratus delapan puluh derajat kemudian mulai menari lagi.
“Bagaimana kalau aku menciummu?” Cokek
mengejar Febrina dengan langkah sempoyongan, keduanya kembali menari bersama.
“Kamu terlalu mabuk untuk bisa
menciumku.”
Dari tempat yang agak jauh nampaknya
Om Surya juga terlihat mabuk. Ia ikut bersenandung mendampingi penyanyi dengan
suaranya yang parau. William yang mengamatinya dari sebelah stage tertawa
terbahak-bahak melihat kelakuan sahabatnya itu, meski sebenarnya mabuk juga.
“Aku bisa menangis kalau tidak bisa
menciummu.” Cokek kian merapatkan dekapannya dengan Febrina. Aroma wangi yang
mengalir dari rambut Febrina telah membuatnya tak berdaya.
“Lantas apa bedanya kalau kamu bisa
menciumku malah justru itu akan membuatku menangis?” bisik Febrina di telinga
Cokek. Keduanya masih menari.
“Bibirmu membuat telingaku terasa
panas.” Kata Cokek.
“Cup
cup ah…nanti aku carikan es ya.” Jawab Febrina sambil tertawa. Ia
mengeluskan jari-jarinya ke telinga Cokek.
“Ahh…sekarang
badanku juga mulai terasa panas.”
“Anak nakal, mau mama peluk?”
“Ahh,
Febrina, sekarang seluruh tubuhku terasa panas!”
Musik terus berganti, namun itu sudah
tidak berarti lagi, apalagi bagi Cokek dan Febrina saat itu. Di antara temaram
lampu lampion yang menerangi ruangan keduanya menyelinap keluar taman. Tak ada
yang memperdulikan. Dua cicak berkejaran di salah satu sudut hotel tak ada
lelahnya. Tanpa lampu, tak ada gambar, dua cicak saling memagut tak ada
habis-habisnya.
“Apakah kamu mencintaiku?”
Hening. Tak ada gambar.
“Tidak.”
Hening. Tak ada komentar.
***
“Kei, kamu dimana?” Terdengar suara Febrina
di seberang telepon. Cokek tersenyum. Kian hari Febrina kian dekat saja
dengannya, bahkan Febrina pun sudah mempunyai panggilan khusus untuknya : Kei.
“Aku di kantor.”
“Makan yuk?” Pinta Febrina.
“Di mana?”
“Biasa.”
“Emmh……”
“Bisa enggak?”
“Setengah jam lagi ya?”
“Ok, aku tunggu.” Telepon ditutup.
Cokek kembali tersenyum.
Hmmm…biasa?
Kata-kata ini sudah
bukan kalimat yang asing lagi bagi Cokek. Dalam tiga pekan ini saja entah sudah
berapa kali Cokek menginjakkan kaki di sebuah tempat yang akhirnya disebut
‘biasa’ itu : rumah Febrina.
“Album fotomu sedikit sekali isinya?”
kata Cokek pada Febrina ketika membalik-balik halaman album foto. Waktu itu
kunjungan Cokek yang pertama kali di rumah Febrina.
“Aku jarang sekali foto.” Jawab
Febrina seraya menghidangkan minuman di meja.
“Nggak suka kenangan?”
“Tidak. Aku bukan tipe perempuan
sentimentil begitu.”
“Suami kamu?”
“Pergi.”
“Pergi?!”
“Iya, pergi.”
Cokek memandangi wajah Febrina dengan
seksama. Alis mata yang lentik, dengan bibir bagai sekuntum mawar merekah itu
cuma tersenyum melihat Cokek terus mengamatinya. Melihat Febrina mengenakan
baju putih kedodoran dengan kancing sedikit terbuka di bagian kerah bajunya sungguh
membuat jantung Cokek berdebar-debar. Febrina yang menarik, ia tidak saja
cantik, namun juga sensual.
“Mantan suamiku tidak suka aku
berkarier, sementara aku sebaliknya.”
Cokek tidak menanggapi. Ia hanya tidak
bisa mengerti bagaimana mungkin perempuan mapan secantik Febrina bisa begitu
tahan lama untuk tetap menjanda. Barangkali ia seperti…Tante Ririn! Ya Tante
Ririn yang tinggal di Yogya juga cantik, ia juga perempuan yang sukses dalam
kariernya, namun hidupnya bahkan jadi perawan tua akibat terlalu seriusnya
mengejar karier, kerja dan karier melulu.
“Kenapa kamu memandangiku seperti
itu?” Tiba-tiba Febrina berkata. Cokek hanya tersenyum untuk menghilangkan
kegugupannya.
Rumah Febrina sangat luas. Halaman
depannya cukup untuk memarkir tiga buah mobil. Rumah tingkat dua. Tembus ke
ruang tengah tempat ruang keluarga bersantai terdapat sebuah kolam dengan
beberapa ikan koi berenang-renang di
dalamnya. Seorang pembantu yang kemudian muncul dari arah pintu belakang masuk
ke dalam ruang tamu sambil membawa nampan berisi buah-buahan yang telah dikupas
di atas piring.
“Terima kasih, Bibi.” Ucap Febrina
sebelum pembantu itu masuk lagi ke dalam.
“Makan, Kei.” Kata Febrina kepada
Cokek.
“Ok.”
Berdua kemudian mereka menikmati
sekadar makan siang. Suara musik ruangan mengalun perlahan, dan gesekan air conditioning yang terpasang di sudut
ruangan membuat panas udara Jakarta menjadi tak berarti.
“Kenapa kamu masih memilih sendiri,
Feb?” tanya Cokek disela-sela makan.
“Belum ada yang cocok saja.”
“Kamu terlalu pilih-pilih ‘kali?”
“Aku nggak mau gagal kedua kali.”
“Sudah ada pandangan belum?”
“Lho, kok jadi ngelantur sih….?”
“Ups,
sorry. Enggak sadar, Feb.”
Dua manusia itu tertawa bersama-sama.
Makan siang usai. Musik masih mengalun, jarum jam di dinding menunjuk angka dua
belas empat puluh.
“Rumah kamu enak sekali, Feb.” Suara
Cokek memecah kebuntuan.
“Aku mendesainnya sendiri.” Febrina
menjawab. Keduanya sama memandang lukisan kuda yang terpasang di dinding.
“Eh, aku juga punya home theater lho.”
“O ya?”
“Mau lihat?”
“Nggak usah lah, ntar ngrepotin.”
“Tidak apa-apa kok. Yuk.”
Cokek mengikuti Febrina memasuki
ruangan di sebelahnya. Bau ruangan itu memancarkan aroma yang sangat feminin
dengan beberapa hiasan asesoris terpajang di dalamnya.
“Lho, ini kamar siapa, Feb?’
“Ya kamarku dong.”
“Ahh……”
“Kenapa?”
“Aku nggak enak.”
“Santai saja, Kei.”
Cokek memandang Febrina dan Febrina
pun balas memandang Cokek. Untuk beberapa saat keduanya membisu, hanya saling
bersitatap. Cokek seakan bisa mendengar debur ombak di lubuk sana, sementara ia
juga merasakan jantungnya sendiri yang berdebar-debar.
“Febrina…” Ucap Cokek perlahan. Suara
yang keluar dari tenggorokannya mendadak terdengar sedikit parau.
Apakah
kamu ingin menggodaku?, Tanya
Cokek dalam hati. Kamu sungguh tidak tahu
dengan siapa kamu tengah berhadapan.
Namun saat itu, dengan setengah tak
percaya, Cokek melihat Febrina justru berjalan mendekat ke arahnya dengan
tatapan menyala dan baju berwarna putih yang terlepas lagi satu kancingnya.
“Ada apa, Kei?”
Cokek sungguh berbohong kalau
mengatakan dirinya tidak terpana oleh apa yang kini tengah disaksikannya. Namun
sebagai seorang muda yang tengah berjuang meniti karier tentu ia juga wajib
waspada akan rumitnya hubungan antar masyarakat di kota metropolitan.
“Apakah ka…….?”
Suara Cokek terhenti. Dengan sedikit
gelagapan tiba-tiba ia merasakan bibir Febrina telah menyumbat mulutnya.
Perempuan itu menyumpal serentetan pertanyaan Cokek dengan ciuman yang
bertubi-tubi dilakukan. Di ruang tamu musik ruangan masih terdengar perlahan
mengalun. Jakarta yang panas, seperti juga ruang kamar Febrina yang sontak
menggeliat panas didera badai birahi nafas yang terus berpacu menemu
petualangan baru. SAL, sex after lunch!
Selebihnya hening. Pengap, dan lembab
oleh butiran keringat. Tak ada gerak. Hanya dering suara handphone meraung
kesal tak menjumpai yang dituju.
***
bersambung........
___________________________________________________________
COKEK©Gusblero, 2006