just ordinary people's blogs

You can take any content from here, quite simply by including the source...

Minggu, 06 November 2011

COKEK l Gusblero

 

DUNIA JELAGA

Mei 1998, Jakarta rusuh. Kerusuhan kali ini mengakibatkan kerugian masal yang nilainya tidak terhitung lagi. Bukan hanya harta benda, namun banyak korban nyawa juga menjadi tumbal dari kerusuhan yang hanya berlangsung dalam beberapa hari itu saja. Perusakan fasilitas umum, penjarahan pertokoan, pemerkosaan warga minoritas, pembunuhan dan juga pembakaran perkantoran bisnis milik publik mewarnai hari-hari kelam di pertengahan bulan itu. Bencana yang memuncaki konflik perseteruan manusia itu bukan sekadar tragedi, namun lebih menyerupai horor sebuah insiden mencekam yang menimbulkan trauma berulang-ulang.

The first victims are Chinneses. Kecemburuan di ranah ekonomi dan sekat sosial antara masyarakat urban dan pengembang pribumi disulut beragam konflik pertarungan kepentingan ditingkat elit menjadi bahan bakar yang meledak liar tak terkendali. Hantu-hantu kerusuhan ini kemudian juga bergentayangan di mana-mana. Bagai penyakit akut yang menular lalu segera menjalar dan menyulut serangkaian tindakan anarki di beberapa daerah di pulau Jawa. Sebuah kerusuhan yang tak gampang dijelaskan dengan detil asal muasalnya.

Pemberitaan yang ada juga menjadi simpang siur karena pihak-pihak yang semestinya bisa memberikan keterangan, lebih banyak menutup diri untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang lebih besar lagi. Pertikaian antar pengusaha dalam memperebutkan lahan bisnis, perseteruan politik untuk menentukan siapa yang lebih pantas berdiri di tampuk kekuasaan, serta arogansi para oknum aparat yang acapkali justru sekadar memikirkan keuntungan memicu timbulnya konflik yang semakin susah untuk dikontrol. Kecenderungan hanya untuk memihak pada mereka-mereka yang memberikan keuntungan tanpa mengindahkan asas-asas keadilan, mencetak potret sosial kebangsaan yang kumal dan lusuh, liar dan garang, serupa srigala yang siap menerkam induknya sendiri.

Cokek menangis, namun tanpa mengeluarkan sedikit pun air mata. Semuanya tak tersisa, hilang musnah, tak ada yang luput dari sporadisnya bencana, bahkan juga Surya Inc. Dari luar bagunan yang porak poranda bagai dihantam gempa, ia melihat asap membubung tinggi dari atap kantornya. Cokek mengepalkan tinjunya. Bau ban yang terbakar mengepul di udara yang gosong. Tertatih-tatih ia bangun menggerakkan kakinya untuk tetap terus melangkah sambil menghapus tetes darah bercampur jelaga yang mengalir dari lubang hidungnya. Di sepanjang jalan ia melihat masih banyak lintang pukang orang berlarian tak tentu arah seraya meneriakkan kata-kata : kiamat telah tiba.......kiamat telah tiba........!


***



 Asimilasi ternyata hanyalah sebuah relasi sosial yang sangat rentan dengan konflik kepentingan, sebuah proses menuju titik mati yang tetap terus diperjuangkan. Segala pernak-pernik budaya yang acapkali diusung dan didengang-dengungkan ternyata tetap saja tidak benar-benar bisa meleburkan fakta tentang kelompok-kelompok sosial yang ada menjadi satu kesatuan kepemilikan kesejarahan kebangsaan. Wajah peradaban dari sebuah negara yang mengalami amnesia panjang. Slogan-slogan manis yang selama ini diteriakkan hanya meninju udara kosong, karena sekat-sekat dinding perbedaan yang tinggi menjulang, yang ujung temboknya pun tidak pernah jelas.

Cultural genocide. Sungguh menggiriskan memahami kenyataan bahwa sebetapa pun seorang warga keturunan berupaya lebur dalam rahim kebangsaan, tetap saja ketika kemudian tumbuh konflik horizontal selalunya sentimen ras yang dipermasalahkan. Mereka-mereka yang tetap teguh dan lantang menyanyikan lagu Indonesia Raya, walau dengan kalimat yang cadel-cadel ucapannya. Mereka-mereka yang terdesak oleh sentimen kosmopolitan, kemudian menyingkir dan masuk ke dalam kubangan lumpur-lumpur sawah menjadi kaum paria. Mereka-mereka yang meniadakan asal-usul moyang, lalu mengubah diri menjadi Bejo, Kardiman, Salim, Sukiman, dan lain-lainnya. Mereka-mereka yang tetap dan harus selalu menjaga diri dari hantu-hantu di siang bolong, yang bisa saja tanpa ba bi bu langsung menohok dan menyorongkan mereka dalam kotak parsial yang sangat menyakitkan bagi siapa pun yang harus menghadapinya : dasar Cina lu....!

Hidup sudah sangat berat, bahkan tanpa perlu kita membebaninya dengan bandul pemberat, ketika kita mencoba mempertahankan hayat.

Setelah kerusuhan di bulan Mei itu banyak dari antara warga Indonesia keturunan lebih memilih untuk hengkang dan bertempat tinggal di Singapura. Mereka menjadi bagian dari komunitas komuter yang pada hari-hari biasa sibuk bekerja, berniaga melakukan transaksi bisnisnya dan tinggal di Jakarta, lalu begitu akhir pekan tiba berbondong-bondong mereka memadati bandara udara dan terbang ke Singapura untuk menghabiskan week end yang damai bersama keluarga.

Begitu pun dengan Yoga Sudarta. Paska terjadinya kerusuhan masal itu ia lebih memilih untuk menetap di Amerika. Surya Inc yang selama ini dipimpinnya diserahkan sepenuhnya kepada Cokek untuk mengelolanya.


***



Susan Wong turun dari taksi dan disambut udara Jakarta yang panas. Surya Inc nampak berdiri megah di hadapannya. Di halaman depan gedung terlihat beberapa orang berjalan hilir mudik dengan langkah yang tergesa-gesa. Seorang laki-laki muda keluar dari pintu kantor dengan telepon selular melekat di kupingnya. Lalu di depan pintu masuk dua orang penjaga keamanan memasang mata kepada siapapun yang melintas di area perkantoran, Security’s Prosedur Operational Standart.

Susan memasuki kantor itu dengan diantar seorang petugas. Dinding-dinding bagian dalam perkantoran itu semuanya dicat putih, terlihat bersih dan sejuk dengan air conditioning yang terus menyala. Lantai dalam ruangan itu juga berwarna dominan putih terbuat dari bahan marmer dalam ukuran yang besar-besar. Dua set kursi sudut yang disusun memanjang nampak tertata rapi di tengah-tengah ruangan, lalu di ujung ruangan yang dibatasi meja berbentuk setengah melingkar dengan tulisan resepsionis di atasnya seorang gadis muda nampak berdiri menyambut kedatangan Susan.

“Apa kabar, Susan.....”
“As you look I’m fine, Leoni....”

Keduanya saling berangkulan dan tertawa. Dua tiga menit berlalu untuk sejenak mengenangkan nostalgia. Leoni kemudian mengenalkan Susan kepada Denise, perempuan muda dengan mata yang sipit namun terlihat sangat bersahabat.

“Anda sungguh cantik, Mbak.....” Ujar Denis kepada Susan.
“Perawatan dengan krim matahari, Mbak. Hahaha....Mbak sendiri seperti putri Huan Zhu.” Balas Susan tak mau kalah.
“Putri Huan Zhu...?! Yang main sama Andy Lau itu?!”
“Bukan....bukan....! Sama Mat Solar....!” Celetuk Leoni.
“Hahaha.......!” Ketiganya tertawa.

Ruangan yang membatasi resepsionis itu sebenarnya berukuran tidak terlalu besar. Di sebelah dindingnya penuh dengan pajangan poster iklan produk Surya.

“Sudah pernah ketemu dengan Pak CK, Mbak?” Tanya Denise kepada Susan.
“Belum.” Jawab Susan.
“Belum?!”
“Belum. Memangnya kenapa?” Susan balik bertanya.
“Kok kelihatannya Pak CK sudah tahu Mbak.” Jawab Denise.
“Masa iya sih...?”
“Yaahh.....ya udah deh. Eh Leoni, lu lekas anterin aja Mbak Susan ini.” Denise melihat ke arah Leoni.
“Panggil saya Susan saja, Mbak.” Ujar Susan sebelum Leoni menjawab.
“Iya deh. Tapi kamu juga musti panggil aku Denise saja.”
“OK.”

Keduanya kembali berjabatan tangan dengan mesra. Sementara itu Leoni mencoba menghubungi ruang direktur melalui telepon operator.

“Gimana Leon?” Tanya Denise.
“Kosong. Tadi sih beliau bilang mau meeting sebentar dengan klien. Belum selesai barangkali.” Jawab Leoni.
“Ya sudah. Susan tunggu dulu di sini ya.” Kata Denise seraya menunjuk ke arah kursi yang terletak di sampingnya.
Thanks.

Waktu terus merangkak menggapai matahari sampai sepenggalah. Hanya dengan menyimak bayangan tiang bendera yang jatuh di halaman Susan bisa memastikan saat itu sudah tak kurang dari jam sepuluh pagi. Digerakkannya kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk mengusir sekedar kepenatan yang menyergahnya. Hari ini, walau dalam kondisi sedikit terserang influensa ia harus tampil secara normal, dengan roman yang berseri-seri dan menerima apapun keputusan yang nantinya akan ia terima.

Tadi pagi, bahkan sebelum surya pagi merekah menampakkan sinarnya Susan sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Sepatu selop yang sudah dua bulan ini menganggur tidak pernah mengantarkan kakinya menapaki jalanan di ibukota pun telah ia turunkan dari raknya. Selesai mandi, ia mematut diri, dan ketika berkaca di meja toaletnya sadarlah Susan ia tidak boleh melewatkan kesempatannya kali ini. Its now or never. Fuiih…..sekali lagi Susan mengamati bayangan wajahnya yang jatuh di cermin. Gemetar dan harap-harap cemas.

“Susan, Pak CK sudah menunggu.” Tiba-tiba suara Leoni membuyarkan lamunannya.
“Baik, Leon.”

Tak berapa lama Susan mengikuti Leoni menuju kantor Direktur. Keduanya memasuki lift untuk sampai di lantai yang hanya berselisih dua lantai dari lantai resepsionis tadi. Selama itu Susan mulai belajar menghapal-hapal ruang-ruang yang telah dilewatinya, jadi barangkali nanti ia bisa diterima bekerja di kantor itu sudah tidak begitu asing lagi dengan tempat-tempatnya.

Beberapa menit kemudian keduanya sampai di depan pintu direktur. Seorang karyawan yang terlihat baru saja keluar dari dalam ruangan itu memberikan salam kepada Leoni yang dijawab dengan sebuah salam yang pendek. Ruang direktur. Dari balik ruangan yang hanya terhalang pintu itu terdengar musik instrumental mengalun. Susan merasa sedikit gelisah, dalam hati ia mulai menghitung mundur. Sepuluh..sembilan….delapan…tujuh….enam…..lima……….

Thok! Thok! Thok!…….

“Masuk!”


***


 
Cokek menggoyang-goyangkan kepalanya di atas washtafel, aku pasti mabuk semalam, pikirnya. Tak jelas betul bagaimana ia bisa sampai di rumah terus tahu-tahu pagi harinya ia terbangun di atas sofa. Ia hanya ingat-ingat secara samar dalam pesta tahun baru yang telah berlangsung secara liar semalam ia menari-nari bersama Febrina. Dan entah karena pengaruh banyaknya minuman yang telah ia tenggak, atau dikarenakan gairah hatinya yang tengah membuncah membuatnya tidak sadarkan diri.

“Kamu jangan terlalu banyak minum.” Cokek masih mengingat Febrina berkata demikian tatkala keduanya asyik melantai dansa.
“Memangnya kenapa?” Ahh….sebenarnya itu adalah pertanyaan yang tidak perlu. Namun entah kenapa berdekatan dengan Febrina membuat sikap latah yang ada dalam jiwanya yang masih muda mendadak muncul.
“Reputasi.” Jawab Febrina waktu itu.
“Hahaha….mana ada orang mabuk berpikir tentang reputasi?”
“Ini serius!”
“Bagaimana kalau aku katakan bahwa kamulah yang telah membuatku mabuk?” Ucap Cokek dengan tatapan mata menegas. Sejenak mereka saling berpandangan, keduanya berhenti menari. Di dalam ruangan lagu oriental Mawar Terakhir masih mengalun.
“Kamu masih ingusan.” Kata Febrina. Ia memutarkan badannya seratus delapan puluh derajat kemudian mulai menari lagi.
“Bagaimana kalau aku menciummu?” Cokek mengejar Febrina dengan langkah sempoyongan, keduanya kembali menari bersama.
“Kamu terlalu mabuk untuk bisa menciumku.”

Dari tempat yang agak jauh nampaknya Om Surya juga terlihat mabuk. Ia ikut bersenandung mendampingi penyanyi dengan suaranya yang parau. William yang mengamatinya dari sebelah stage tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan sahabatnya itu, meski sebenarnya mabuk juga.

“Aku bisa menangis kalau tidak bisa menciummu.” Cokek kian merapatkan dekapannya dengan Febrina. Aroma wangi yang mengalir dari rambut Febrina telah membuatnya tak berdaya.
“Lantas apa bedanya kalau kamu bisa menciumku malah justru itu akan membuatku menangis?” bisik Febrina di telinga Cokek. Keduanya masih menari.
“Bibirmu membuat telingaku terasa panas.” Kata Cokek.
Cup cup ah…nanti aku carikan es ya.” Jawab Febrina sambil tertawa. Ia mengeluskan jari-jarinya ke telinga Cokek.
Ahh…sekarang badanku juga mulai terasa panas.”
“Anak nakal, mau mama peluk?”
Ahh, Febrina, sekarang seluruh tubuhku terasa panas!”

Musik terus berganti, namun itu sudah tidak berarti lagi, apalagi bagi Cokek dan Febrina saat itu. Di antara temaram lampu lampion yang menerangi ruangan keduanya menyelinap keluar taman. Tak ada yang memperdulikan. Dua cicak berkejaran di salah satu sudut hotel tak ada lelahnya. Tanpa lampu, tak ada gambar, dua cicak saling memagut tak ada habis-habisnya.

“Apakah kamu mencintaiku?”

Hening. Tak ada gambar.

“Tidak.”

Hening. Tak ada komentar.


***



 
“Kei, kamu dimana?” Terdengar suara Febrina di seberang telepon. Cokek tersenyum. Kian hari Febrina kian dekat saja dengannya, bahkan Febrina pun sudah mempunyai panggilan khusus untuknya : Kei.
“Aku di kantor.”
“Makan yuk?” Pinta Febrina.
“Di mana?”
“Biasa.”
“Emmh……”
“Bisa enggak?”
“Setengah jam lagi ya?”
“Ok, aku tunggu.” Telepon ditutup. Cokek kembali tersenyum.

Hmmm…biasa? Kata-kata ini sudah bukan kalimat yang asing lagi bagi Cokek. Dalam tiga pekan ini saja entah sudah berapa kali Cokek menginjakkan kaki di sebuah tempat yang akhirnya disebut ‘biasa’ itu : rumah Febrina.

“Album fotomu sedikit sekali isinya?” kata Cokek pada Febrina ketika membalik-balik halaman album foto. Waktu itu kunjungan Cokek yang pertama kali di rumah Febrina.
“Aku jarang sekali foto.” Jawab Febrina seraya menghidangkan minuman di meja.
“Nggak suka kenangan?”
“Tidak. Aku bukan tipe perempuan sentimentil begitu.”
“Suami kamu?”
“Pergi.”
“Pergi?!”
“Iya, pergi.”

Cokek memandangi wajah Febrina dengan seksama. Alis mata yang lentik, dengan bibir bagai sekuntum mawar merekah itu cuma tersenyum melihat Cokek terus mengamatinya. Melihat Febrina mengenakan baju putih kedodoran dengan kancing sedikit terbuka di bagian kerah bajunya sungguh membuat jantung Cokek berdebar-debar. Febrina yang menarik, ia tidak saja cantik, namun juga sensual.

“Mantan suamiku tidak suka aku berkarier, sementara aku sebaliknya.”

Cokek tidak menanggapi. Ia hanya tidak bisa mengerti bagaimana mungkin perempuan mapan secantik Febrina bisa begitu tahan lama untuk tetap menjanda. Barangkali ia seperti…Tante Ririn! Ya Tante Ririn yang tinggal di Yogya juga cantik, ia juga perempuan yang sukses dalam kariernya, namun hidupnya bahkan jadi perawan tua akibat terlalu seriusnya mengejar karier, kerja dan karier melulu.

“Kenapa kamu memandangiku seperti itu?” Tiba-tiba Febrina berkata. Cokek hanya tersenyum untuk menghilangkan kegugupannya.

Rumah Febrina sangat luas. Halaman depannya cukup untuk memarkir tiga buah mobil. Rumah tingkat dua. Tembus ke ruang tengah tempat ruang keluarga bersantai terdapat sebuah kolam dengan beberapa ikan koi berenang-renang di dalamnya. Seorang pembantu yang kemudian muncul dari arah pintu belakang masuk ke dalam ruang tamu sambil membawa nampan berisi buah-buahan yang telah dikupas di atas piring.

“Terima kasih, Bibi.” Ucap Febrina sebelum pembantu itu masuk lagi ke dalam.
“Makan, Kei.” Kata Febrina kepada Cokek.
“Ok.”

Berdua kemudian mereka menikmati sekadar makan siang. Suara musik ruangan mengalun perlahan, dan gesekan air conditioning yang terpasang di sudut ruangan membuat panas udara Jakarta menjadi tak berarti.

“Kenapa kamu masih memilih sendiri, Feb?” tanya Cokek disela-sela makan.
“Belum ada yang cocok saja.”
“Kamu terlalu pilih-pilih ‘kali?”
“Aku nggak mau gagal kedua kali.”
“Sudah ada pandangan belum?”
“Lho, kok jadi ngelantur sih….?”
Ups, sorry. Enggak sadar, Feb.”

Dua manusia itu tertawa bersama-sama. Makan siang usai. Musik masih mengalun, jarum jam di dinding menunjuk angka dua belas empat puluh.

“Rumah kamu enak sekali, Feb.” Suara Cokek memecah kebuntuan.
“Aku mendesainnya sendiri.” Febrina menjawab. Keduanya sama memandang lukisan kuda yang terpasang di dinding.

“Eh, aku juga punya home theater lho.”
“O ya?”
“Mau lihat?”
“Nggak usah lah, ntar ngrepotin.”
“Tidak apa-apa kok. Yuk.”

Cokek mengikuti Febrina memasuki ruangan di sebelahnya. Bau ruangan itu memancarkan aroma yang sangat feminin dengan beberapa hiasan asesoris terpajang di dalamnya.

“Lho, ini kamar siapa, Feb?’
“Ya kamarku dong.”
Ahh……
“Kenapa?”
“Aku nggak enak.”
“Santai saja, Kei.”

Cokek memandang Febrina dan Febrina pun balas memandang Cokek. Untuk beberapa saat keduanya membisu, hanya saling bersitatap. Cokek seakan bisa mendengar debur ombak di lubuk sana, sementara ia juga merasakan jantungnya sendiri yang berdebar-debar.

“Febrina…” Ucap Cokek perlahan. Suara yang keluar dari tenggorokannya mendadak terdengar sedikit parau.

Apakah kamu ingin menggodaku?, Tanya Cokek dalam hati. Kamu sungguh tidak tahu dengan siapa kamu tengah berhadapan.

Namun saat itu, dengan setengah tak percaya, Cokek melihat Febrina justru berjalan mendekat ke arahnya dengan tatapan menyala dan baju berwarna putih yang terlepas lagi satu kancingnya.

“Ada apa, Kei?”

Cokek sungguh berbohong kalau mengatakan dirinya tidak terpana oleh apa yang kini tengah disaksikannya. Namun sebagai seorang muda yang tengah berjuang meniti karier tentu ia juga wajib waspada akan rumitnya hubungan antar masyarakat di kota metropolitan.

“Apakah ka…….?”

Suara Cokek terhenti. Dengan sedikit gelagapan tiba-tiba ia merasakan bibir Febrina telah menyumbat mulutnya. Perempuan itu menyumpal serentetan pertanyaan Cokek dengan ciuman yang bertubi-tubi dilakukan. Di ruang tamu musik ruangan masih terdengar perlahan mengalun. Jakarta yang panas, seperti juga ruang kamar Febrina yang sontak menggeliat panas didera badai birahi nafas yang terus berpacu menemu petualangan baru. SAL, sex after lunch!

Selebihnya hening. Pengap, dan lembab oleh butiran keringat. Tak ada gerak. Hanya dering suara handphone meraung kesal tak menjumpai yang dituju.


***

bersambung........
___________________________________________________________
COKEK©Gusblero, 2006

Senin, 24 Oktober 2011

COKEK l Gusblero




ROMANCE D'AMOUR

“Apakah kita sudah terlambat?” Tanya Om Surya.
“Nampaknya belum, Om. Kalau pun iya, apa sih sukarnya bagi Om membuat semacam pesta kecil-kecilan lagi?” Ujar Cokek seraya memicingkan sebelah matanya.

Keduanya kembali tertawa. Seorang waitress yang berpakaian rok mini bergegas menyambut Om Surya dan Cokek, lalu mempersilakan keduanya segera bergabung dengan tamu undangan lain yang telah hadir dalam ruangan itu.

“Ramai juga ya….” Komentar Om Surya begitu melihat begitu banyaknya tamu undangan yang hadir.
“Jakarta, Om. Apalagi malam tahun baru.” Cokek menimpalinya. Ia melambaikan sebelah tangannya untuk memanggil salah seorang pelayan yang nampak membawa nampan berisi minuman.

Cahaya lampu dalam ruangan itu bersinar warna-warni. Pohon-pohon buatan dengan aneka warna bunga yang masih nampak segar disusun berjajar rapi di sepanjang dinding dengan kerlap-kerlip lampu Natal menghiasi tangkainya.

Di atas kaso-kaso yang tinggi bergantungan balon-balon beraneka warna terikat dalam satu rangkaian kombinasi pita yang memikat. Beberapa lampion yang berwarna merah menyala juga tidak ketinggalan terpancang di beberapa sudut ruangan. Dekorasi dalam pesta menyambut tahun baru itu mirip hiasan pesta warga Tionghoa. Namun siapa pula yang akan peduli soal dekorasi?

Orang-orang yang hadir di malam itu semuanya hanya perlu relaks dari sekadar belenggu rutinitas yang telah menciptakan satu siklus kehidupan yang monoton dari hari ke hari, dari setumpuk pekerjaan yang satu ke pekerjaan-pekerjaan berikutnya, dari client job yang satu menuju client target berikutnya.

Delapan buah speaker berukuran besar-besar menumpuk di salah satu sisi ruangan, dibagi dua di letakkan di sebelah kiri dan kanan stage yang tingginya kira-kira hanya dua puluh lima centimeter dari lantai. Lalu di depan seperangkat sound system yang tertata rapi di atas panggung seorang Disc Jockey menggoyang-goyangkan tubuhnya seraya mengeja beberapa kalimat dari bait-bait lagu yang terdengar patah-patah. Dengan matanya yang terpejam seakan mengeja lagu demi lagu dengan penuh penghayatan, kedua tangannya yang kurus terus menari-nari dan bergerak dengan lincahnya memenceti piringan hitam yang terus berputar satu-persatu.

Mata Cokek menyapu seisi ruangan. Dan ketika ia kembali menoleh, dilihatnya Om Surya tengah melihat ke arahnya sambil tersenyum.

“Ayo, tunggu apalagi?” Tanya Om Surya kepada Cokek.

Cokek sebetulnya ingin menyampaikan sesuatu. Namun sejauh ini ia merasa cukup puas hanya dengan menonton beberapa pasangan dansa yang tengah asyik menari sambil menyampaikan beberapa salam pendek dengan ucapan yang cukup keras kepada orang-orang yang dikenalnya.

“Kamu tidak perlu sungkan-sungkan. Ini acara bebas kok. Oh iya, ayo aku kenalin kamu ke beberapa kolega.” Tiba-tiba Om Surya berkata, lalu tanpa menunggu jawaban ia telah merangkul bahu Cokek menuju ke sisi ruangan lainnya.

Keduanya kemudian berjalan melewati beberapa pasangan yang tengah menari dua-dua. Sementara dalam jarak yang hanya sekitar sepuluh meter jauhnya nampak dua orang laki-laki serta seorang perempuan berusia tiga puluh tahunan tengah asyik berbincang-bincang  sendiri.

“William…..!” Terdengar Om Surya memanggil.
“Surya….! Ni hau ma, apa kabar?” orang yang dipanggil William oleh Om Surya itu segera mendekat seraya melebarkan kedua lengannya untuk merangkul pundak Om Surya.
Heng hau, sangat baik. Kamu masih sempat juga kongkow-kongkow, Bill.” Ucap Om Surya lagi.
“Kapan lagi mesin tua begini bisa brain washing kalau bukan pada saat-saat seperti sekarang ini. Hahaha….!” Jawab William.
“Oh iya, kenalkan ini Dino teman baru kita.” Lanjut William seraya memperkenalkan laki-laki yang berdiri di sebelahnya.
Tui pu chi, maaf, saya juga sampai lupa. Pemuda ini namanya Cokek, sekutu baru. Saya sedang bertaruh apa ia bisa memegang Surya Agency suatu hari nanti.” Balas Om Surya. Dengan sedikit menekan punggung Cokek ia seakan memberikan kode kepada Cokek untuk berdiri sedikit maju. Mereka kemudian saling tertawa.
Ahai, bagi kaum perempuan sudah tidak ada lagi tempat di sini nampaknya?!” Perempuan yang sedari tadi berdiri di belakang William tiba-tiba ikut-ikutan bersuara. Dengan menggeser tiga langkah ke depan ia pun segera bergabung dalam kerumunan rombongan Om Surya.
Ai ai, hahaha..! Perkenalkan, ini Nona Febrina, Cokek. Bagaimana kita semua bisa silap dengan perempuan muda yang terus berjaya walau di jaman resesi seperti sekarang ini. Hahaha…! Tui pu chi tui pu chi, maaf…maaf.” Kembali Om Surya menoleh ke arah Cokek untuk memperkenalkan perempuan yang berdiri di hadapan mereka.

Cokek tidak menjawab. Ia tengah menatap kedua bola mata Febrina yang dihiasi warna biru kelabu di sekitar irisnya. Kebetulan Febrina juga tengah menatapnya.

          “Cokek.” Cokek mengulurkan tangannya. Berhubungan dengan yang namanya perempuan sebetulnya sudah bukan barang yang asing lagi baginya. Namun entah kenapa berhadapan dengan sosok seorang perempuan yang tampil begitu elegan di hadapannya seperti Febrina tak urung membuat hatinya sedikit bergetar juga. Dengan menyunggingkan senyum Cokek berusaha untuk tetap menguasai keadaan.

“Febrina.” Perempuan itu menjawab. Suaranya yang sedikit mendesah terdengar begitu sensual di telinga Cokek hingga membuatnya sedikit menahan nafas. Selepas itu diam. Cokek mencoba mengalihkan getaran the first shock of shaking hand dengan memandang sekilas ke arah gaun penuh renda-renda yang membalut tubuh putih Febrina. Mawar merah di atas…..

“Ini pesta yang sungguh-sungguh meriah!” Ucap William tiba-tiba.
“Betul, tunggu apalagi? Kamu sudah menyiapkan pasangan untuk kita dansa khan, Bill?”  Tanya Om Surya kepada William.
“Masa saya disuruh yang begituan. Tapi buat kamu pasti ada, Surya.” Jawab William sambil mengerdipkan sebelah matanya.
“Febrina?!”
“Kamu mau minta perusahaan kamu dilikuidasi ya? Hahaha….!” William tertawa terbahak-bahak.
”Kalau begitu biar Cokek saja yang nemenin.” Cokek ingin angkat bicara, namun sebelum ia sempat mengeluarkan kata-kata Om Surya telah berbisik ke telinganya.
Ssstt……kalau bisa kamu tempel terus Febrina. Walau perempuan dia itu pemegang otorita pendayagunaan BUMN di negeri ini.”

Ups! Wajah Cokek tiba-tiba sedikit menegang. Mendadak ia merasa tak ubahnya anak kecil yang masih saja harus dijelaskan segala sesuatunya sebelum mengambil langkah. Beruntung suasana pesta pada malam itu sangatlah meriah, hingga ia bisa menyembunyikan kejengahan yang terpancar di wajahnya.

“Iya lah Om, kita lihat saja nanti.” Jawabnya pendek.

Om Surya dan William sama-sama tertawa. Keduanya kemudian berjalan menuju ruang yang ada di sebelahnya bersama Dino. Sementara pesta terus berlanjut. Musik dalam ruangan kian menyalak-nyalak dan membahana.





“Pestanya sangat ramai.” Cokek membuka percakapan setelah ia dan Febrina tinggal berhadap-hadapan berdua.
“Iya.” Jawab Febrina.
“Anda tampak sangat cantik eh….maksud saya sangat serasi dengan pakaian yang anda kenakan.” Cokek merasa sedikit kelepasan omong, dan nyaris ia menyalahkan kelakuan mulutnya sendiri.
“Tidak usah pake formil-formilan lah, nggak perlu pake anda atau saya segala. Bilang saja aku, atau kamu.” Ucap Febrina, nampaknya serius. Ia tersenyum ke arah Cokek yang tampak merasa bersalah telah memberikan sedikit komentar yang kebablasan dalam pertemuan mereka yang masih sangat dini.
“Ini……”  Tatapan mata Cokek menyelidik.
“Kita jadi berteman tidak?” Febrina justru balik bertanya.
“Baiklah, kalau itu mau kamu.” Akhirnya Cokek sedikit bernafas lega. Sebuah beban yang sangat berat sepertinya telah lenyap begitu saja.

“Kamu datang ke sini sendirian atau…?” Cokek mencoba sedikit lebih berani.
“Sama teman sih, tapi tujuannya ya sendiri-sendiri.” Jawab Febrina.
“Tidak sama someone?”
“Tidak.”
“Punya pacar?”
“Tidak.”
“Pernah punya pacar?”
“Pernah.”
“Lantas?”
“Ia mengalami kecelakaan di laut.”
“Maaf.” Kali ini Cokek betul-betul merasa bersalah. Ia mengatupkan kedua telapak tangannya di wajah.
“Tidak apa-apa. Itu sudah cukup lama.” Kata-kata yang keluar dari bibir Febrina terasa sedikit bergetar. Selebihnya sunyi. Masing-masing mencoba menerka isi hati, masing-masing mencoba untuk menjaga diri.

“Jadi…sampai sekarang masih sendiri?” Cokek kembali membuka percakapan.
“Iya.”
“Belum punya pacar?”
“Belum.” Jawab Febrina lirih. Suaranya lebih menyerupai bisikan. Ia menatap ke arah Cokek dan memperhatikan pemuda berambut ikal yang terlihat tampan dengan jas warna abu-abu dan celana panjang casualnya itu. Selebihnya kembali sunyi. Masing-masing mencoba menjajagi perasaan hati, masing-masing mencoba bertahan untuk tidak mendahului.

Pesta terus berlanjut. Kian mendekati saat pergantian tahun jumlah para pengunjung kian membludak. Dalam sekejap pengunjung yang berdatangan kian bertambah dan berlipat ganda meliputi berbagai macam usia. Gelas-gelas minuman pun tergeletak di mana-mana karena para pelayannya pun ternyata ikut larut dan mabuk terhanyutkan pesta. 

Semua orang bersuka ria dan suasana pesta menjadi cenderung berubah mengerikan. Seorang perempuan muda dengan rambut disemir warna magenta mencoba berdiri di atas meja dan mencoba menari-nari di sana. Namun tubuhnya yang agak subur terlihat oleng, entah karena mabuk atau karena saking gembiranya. Ia segera terjatuh dalam pelukan seorang laki-laki yang barangkali kekasih atau teman kencannya.

“Lalu…?” Cokek memandang ke arah Febrina.
“Ada apa?” Jawab Febrina tidak mengerti.
“Sampai kapan kita akan menunggu?” Tanya Cokek.
“Menunggu?!” Balas Febrina tetap belum paham.
“Iya, sampai kapan kita akan menunggu?”
“Aku tidak mengerti maksud kamu?”
“Aku ingin mengajakmu berdansa.” Cokek menatap tajam ke arah Febrina yang tiba-tiba saja pipinya jadi berubah kemerahan.
“Apakah kamu…?” Cokek berhenti bertanya. Ia menunggu reaksi dari Febrina. Udara dalam ruangan itu kian terasa hangat, namun Febrina belum juga menjawab.
“Atau kamu….ahh maafkan aku.” Cokek menunduk. Ia meniupkan udara melalui mulutnya ke arah samping.
“Tidak, tidak apa-apa. Aku cuma tidak pandai berdansa.” Akhirnya Febrina bersuara.
“Hahaha….!”
“Kenapa tertawa?”
“Aku juga tidak pandai berdansa.”
“Lalu?!”
So what, mana ada urus, mari kita belajar berdansa bersama.” Ujar Cokek sambil tertawa. Ia segera merengkuh sebelah tangan Febrina yang membiarkan saja dirinya dibimbing Cokek memasuki arena yang penuh sesak dengan para pedansa.

Dengan riangnya Cokek segera menarik kedua tangan Febrina untuk ikut menari-nari mengikuti irama. Sepertinya itu adalah tarian dari sepasang pedansa amatir yang terlihat paling gila-gilaan dan merupakan hal terlucu sepanjang hidup mereka, baik bagi Cokek maupun Febrina. Namun tak ada yang peduli. Semua orang larut dalam kegembiraannya masing-masing. Orang-orang mengangkat toast, orang-orang yang lapar dan haus akan hiburan yang bebas dan seadanya.




Cokek menggenggam tangan kiri Febrina dengan tangan kanannya, sementara tangan yang satunya lagi menempel lekat di punggung Febrina, begitu pun sebaliknya. Romance d’Amours, Cokek merasakan udara yang terhirup di antara bulir-bulir halus rambut Febrina menyeruak hidung begitu harumnya. Ia merasakan satu eksotika yang tandas mengalir dari jari jemari Febrina yang tajam menancap di punggungnya.

“I’m goin’ down!” Cokek melenguh. Ia merutuki hasratnya sendiri yang gampang tersulut ledakan-ledakan gairah yang memancar dari kehangatan tubuh Febrina hanya dalam sekejapan mata.


***
bersambung........
___________________________________________________________
COKEK©Gusblero, 2006

COKEK l Gusblero



JATI DIRI

Susan Wong masuk ke sebuah taksi. Bagian dalam taksi itu berbau wangi, namun samar-samar tercium juga bau apek keringat. Susan Wong mengeluarkan saputangan dari dalam tas kecilnya. Ia nampak mengucek-ucek matanya lalu mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Bunga-bunga terompet terlihat merah menyala di beberapa ruas pembatas jalan raya. Rumput-rumputan dan pepohonan hijau berjajar rapi dengan eloknya, namun cuma sebagai penghias jalan raya. Kota besar yang aneh.

“Mau kemana?” Tanya sopir taksi itu, orangnya sudah agak tua. Penampilannya seperti pelawak ibukota yang beken dengan lagaknya yang suka kebolot-bolotan.
“Surya Inc.”
“Ok. Jalan biasa atau by pass?” Tanya sopir itu lagi sambil memindai versnelling.
Ihh, Bapak. Bukannya itu salah satu service para sopir taksi?” Jawab Susan balik bertanya.
“Hahaha…..! Namanya juga coba-coba ngelaba. Mbak.”
“Iya sih. Tapi mana bisa ngelaba sama orang yang baru mau nyari pekerjaan.”
“Mbak baru di Jakarta?” Ia mencoba beramah-ramah lagi kepada Susan.
“Enggak juga sih. Dulu sempat kerja, tapi nganggur lagi. Belum juga ada satu tahun perusahaan tempat saya kerja sudah gulung tikar.”
Krismon?”
“Bukan. Krisman.”
Krisman?!”
“Iya. Krisis Manusia. Habis kena demo sih.”
“Hahaha…..! Rata-rata begitu, Mbak.”
“Semoga saja yang kali ini tidak, Pak.”
“Bapak ikut berdoa lah. Jadi Mbak ini mau ngelamar pekerjaan?”
“Interview.”
Yeah, semoga berhasil ya.”
“Terima kasih, Pak.”

Susan melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam delapan pagi lewat empat puluh menit. Kemarin pagi Leoni telah mengabari Susan  melalui telepon bahwa Big Boss of Surya Inc ingin bertemu dengannya. Big Boss. Bukan sekadar Pak Willy yang seharusnya menjadi palang pintu bagian personalia penerimaan pegawai baru. Leoni bilang Susan harus siap menghadap di kantor  Mr. CK pagi ini sambil mempersiapkan segala sesuatunya.

Fuihh! Susan mendengus. Dengan cara apapun aku harus mendapatkan pekerjaan ini. Ia bersumpah. Ia tidak akan mengecewakan bantuan sahabatnya itu, meski ia pun menyadari kemungkinan lain bahwa ia pasti akan menghadapi interview yang bisa saja tidak mudah, sedikit alot, dan bertele-tele. Ia tidak peduli. Sudah tiba pada saatnya ia harus bisa menentukan jati diri, bahwa kehormatan seorang manusia di jaman ini diukur dengan reputasi dan buah dari pekerjaannya.

Dua kilometer sebelum nanti akan segera terlihat sebuah gedung tinggi dengan tulisan Surya Inc mencolok di atasnya Susan merasa jantungnya sedikit berdebar-debar. Bagaimana pun ia tidak bisa mengenyahkan begitu saja komentar Leoni perihal bosnya yang konon sangat jantan. Susan tersenyum. Bayangan wajah Leoni yang culun seakan melintas di matanya.

Leoni adalah sobat karib, sahabat yang lebih dari sekadar seorang sahabat. Ia mengenal Leoni semenjak menjadi kakak kelas semasa kuliah dulu. Sophisticated, ia adalah seorang sahabat yang banyak mengajarinya tentang tata cara berpenampilan yang up to date.

“Sejak semester pertama kuliahku aku sudah bekerja paro waktu.” Begitu Leoni pernah bercerita. Saat itu Susan baru menempati tempat indekostnya yang baru, awal ia bertemu Leoni.
“Aku menjaga satu rental komputer bergantian dengan salah seorang temanku.” Lanjutnya lagi.
“Ibuku ingin aku mulai bisa menabung sendiri untuk membiayai kuliahku. Menurutnya itu akan lebih baik daripada sekedar menunggu kiriman uang dari ayahku yang kadang tidak selalu bisa dijagakan.” Leoni yang baik. Ia selalu banyak memberikan pengertian tentang hidup sembari mengunyah permen karet di mulutnya.
“Aku pikir sih memang sebaiknya begitu. Sekaligus untuk memupuk rasa tanggung-jawabku.” Ia bergerak ke sudut kamar. Kamar kost yang cukup mewah untuk ukuran seorang mahasiswi. Ukurannya tiga kali empat meter persegi, dengan sebuah televisi empat belas inchi di dalamnya. Sambil merebahkan badannya Leoni menyalakan televisi dengan remote control yang dipegangnya.

“Untung saja hari ini tidak ada demo.” Tiba-tiba sopir taksi berbicara.
“Eh…iya, Pak.” Jawab Susan agak menggeragap. Sungguh memalukan, ia berkata pada dirinya sendiri, sepagi ini sudah melamun. Dengan menggeserkan sedikit badannya Susan mencoba mencuri kesempatan untuk bercermin melalui kaca spion yang terletak di atas kepala sopir.

Jakarta, meski hari masih pagi namun panasnya sungguh minta ampun. Syukurlah AC di dalam taksi bisa berfungsi dengan sempurna, hingga Susan tidak perlu khawatir saat wawancara nanti ia akan tampil dengan keringat yang basah kuyup membasahi sekujur tubuhnya.

“Dengan segala kebebasan yang aku miliki bisa saja aku merasa free untuk melakukan apapun yang aku suka. Namun semua tidak bisa begitu. Ini juga penting buat kamu, Susan. Banyak komentar orang berbicara minor tentang mahasiswi-mahasiswi yang hidup di kota besar. Mangkanya kamu juga harus hati-hati.” Leoni terus saja nyerocos bercerita panjang lebar. Kalau ditilik usianya yang cuma beda sedikit dengannya, Susan jadi tertawa cekikikan membanding-bandingkan semua omongan Leoni dengan kata-kata ibunya acapkali memberikan nasehat kepadanya.

“Kenapa kamu tertawa?” Tanya Leoni kepada Susan.
“Habis kamu mirip ibu aku sih. Hahaha……!” Jawab Susan tambah ngakak.
“Sialan!”
“Iya memang begitu kok.” Lanjut Susan lagi.
“Kalau penginnya cuma sekedar having fun sih sebenarnya banyak sekali kesempatan.” Leoni mencongkel bantal guling yang ada di sudut tempat tidur dengan kakinya. Ia memandang ke arah langit-langit kamar.
“Ada pesta semi formal antara mahasiswa, baik yang yunior maupun senior. Biasanya sih pengikutnya terbatas hanya untuk mereka-mereka yang sudah masuk dalam satu club. Aku juga pernah ikutan. Sebenarnya asyik juga sih, cuma lama-lama bosan. Acaranya itu-itu juga.” Leoni melirik ke arah Susan yang hanya diam menyimak seluruh ceritanya. Sementara di beranda angin terlihat sedikit memporak-porandakan tanaman bunga. Nampaknya hujan segera tiba. Susan mendesah.

Kenyataan bahwa sejauh ini hidupnya selalu dalam pantauan dan pendiktean dari keluarga dan familinya, rasa-rasanya apa pun petualangan yang telah dialami Leoni terasa lebih baik. Membayangkan kondisi dirinya saat itu yang begitu lugu dan terbatasnya dalam pergaulan sehari-hari membuat wajah Susan tak terasa memerah sedikit malu. Dalam hati ia merasa begitu beruntungnya ia saat ini memiliki seorang sahabat seperti Leoni yang tidak sungkan-sungkan untuk diminta berbagi pengalaman.


***

Cokek memarkir mobilnya tepat di samping parkiran hotel. Dengan cekatan ia melangkah keluar pintu memutari depan mobil lalu bergerak ke samping membukakan pintu yang ada di sebelahnya.

“Semoga kamu tidak bosan melakukannya.” Om Surya berkata sembari tersenyum. Ia memandang sejenak ke arah Cokek sebelum kakinya benar-benar keluar dari mobil.
Pu khe chi. Tidak apa-apa, Om.”  Jawab Cokek.

Om Surya adalah ayah dari Salim, teman Cokek semasa sekolah dulu. Ia adalah pemilik Publicity Agent PT. Surya. Beruntung bagi Cokek, Willy dan Hendra, pertemanan semasa sekolah bersama Salim dulu bisa menolong keberadaan mereka di Jakarta. Tanpa adanya seorang teman seperti Salim di Jakarta, entah apa jadinya nasib Cokek. Pada hari ketiga masa luntang-lantungnya di kota metropolis ini saja Cokek sudah menghadapi berbagai peristiwa yang tidak mengenakkan.

“Apakah kamu Cina?” Tanya seorang laki-laki berpenampilan sangar di depan sebuah gang tatkala Cokek bertiga tengah berusaha mencari alamat Salim.
“Saya orang Indonesia.” Jawab Cokek dengan sopan.
“Tapi kamu Cina khan?” Tanya laki-laki itu lagi. Melihat dari sipit-sipitnya, sebetulnya Cokek tidak sangsi lagi bahwa laki-laki yang mencegatnya kali ini sebetulnya juga orang Cina.
“Saya orang Jawa.” Jawab Cokek tidak kurang tegasnya. Ia tidak merasa ada yang salah dengan jawabannya. Walau pun ia memang mempunyai darah keturunan dari Cina, namun ia enggan mengakuinya, apalagi ketika kemudian ia mengetahui laki-laki yang telah menghamili ibunya itu tidak mau menunjukkan tanggung-jawabnya sedikitpun.
“Kamu seperti orang Cina.” Laki-laki itu mendengus, namun tak lama kemudian pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah sedikit sempoyongan.
“Dasar Cina mabuk.” Ujar Cokek sambil membenahi tasnya.

Begitulah perbedaan etnis kadangkala menjadi sesuatu yang krusial dalam perilaku hidup kemasyarakatan di Jakarta. Walau pun itu tidak murni betul, karena gesekan-gesekan yang kemudian meletup menjadi satu konflik horizontal tidak menutup kemungkinan pada awalnya justru dipantik oleh sekawanan kelompok sesama etnis yang kebetulan saling mempunyai muatan kepentingan yang sama di dalam memperebutkan lahan atau wilayah perekonomian.

“Nampaknya kamu suka sekali dengan pesta ya?” Tanya Om Surya sebelum keduanya melangkah. Mendengar perkataan Om Surya, Cokek hanya tersenyum. Hidup yang sungguh menyenangkan, baru juga tujuh bulan hidup di Jakarta sudah memiliki jabatan. Cokek saat ini menjadi asisten unit produksi, Willy membantu di bidang property, dan Hendra menjadi fotografer agen Surya. Keajaiban hidup yang sepertinya tak gampang ditukar dengan nilai apapun. Barangkali itu pulalah yang menyebabkan Cokek menaruh rasa hormat yang sangat mendalam terhadap Om Surya yang usianya telah menginjak kepala tujuh. Sementara itu Salim putra Om Surya sendiri tengah sibuk menekuni pendidikan yang lebih tinggi lagi di Amerika.

Jakarta di malam pergantian tahun. Sejenak keduanya berdiri di muka pintu hotel. Om Surya membetulkan letak jas, Cokek memperhatikannya sekejap. Keduanya lantas saling memandang, lalu tertawa. Wajah keduanya nampak riang ketika berjalan memasuki pintu hotel.


bersambung........
___________________________________________________________
COKEK©Gusblero, 2006