just ordinary people's blogs

You can take any content from here, quite simply by including the source...

Minggu, 06 November 2011

COKEK l Gusblero

 

DUNIA JELAGA

Mei 1998, Jakarta rusuh. Kerusuhan kali ini mengakibatkan kerugian masal yang nilainya tidak terhitung lagi. Bukan hanya harta benda, namun banyak korban nyawa juga menjadi tumbal dari kerusuhan yang hanya berlangsung dalam beberapa hari itu saja. Perusakan fasilitas umum, penjarahan pertokoan, pemerkosaan warga minoritas, pembunuhan dan juga pembakaran perkantoran bisnis milik publik mewarnai hari-hari kelam di pertengahan bulan itu. Bencana yang memuncaki konflik perseteruan manusia itu bukan sekadar tragedi, namun lebih menyerupai horor sebuah insiden mencekam yang menimbulkan trauma berulang-ulang.

The first victims are Chinneses. Kecemburuan di ranah ekonomi dan sekat sosial antara masyarakat urban dan pengembang pribumi disulut beragam konflik pertarungan kepentingan ditingkat elit menjadi bahan bakar yang meledak liar tak terkendali. Hantu-hantu kerusuhan ini kemudian juga bergentayangan di mana-mana. Bagai penyakit akut yang menular lalu segera menjalar dan menyulut serangkaian tindakan anarki di beberapa daerah di pulau Jawa. Sebuah kerusuhan yang tak gampang dijelaskan dengan detil asal muasalnya.

Pemberitaan yang ada juga menjadi simpang siur karena pihak-pihak yang semestinya bisa memberikan keterangan, lebih banyak menutup diri untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang lebih besar lagi. Pertikaian antar pengusaha dalam memperebutkan lahan bisnis, perseteruan politik untuk menentukan siapa yang lebih pantas berdiri di tampuk kekuasaan, serta arogansi para oknum aparat yang acapkali justru sekadar memikirkan keuntungan memicu timbulnya konflik yang semakin susah untuk dikontrol. Kecenderungan hanya untuk memihak pada mereka-mereka yang memberikan keuntungan tanpa mengindahkan asas-asas keadilan, mencetak potret sosial kebangsaan yang kumal dan lusuh, liar dan garang, serupa srigala yang siap menerkam induknya sendiri.

Cokek menangis, namun tanpa mengeluarkan sedikit pun air mata. Semuanya tak tersisa, hilang musnah, tak ada yang luput dari sporadisnya bencana, bahkan juga Surya Inc. Dari luar bagunan yang porak poranda bagai dihantam gempa, ia melihat asap membubung tinggi dari atap kantornya. Cokek mengepalkan tinjunya. Bau ban yang terbakar mengepul di udara yang gosong. Tertatih-tatih ia bangun menggerakkan kakinya untuk tetap terus melangkah sambil menghapus tetes darah bercampur jelaga yang mengalir dari lubang hidungnya. Di sepanjang jalan ia melihat masih banyak lintang pukang orang berlarian tak tentu arah seraya meneriakkan kata-kata : kiamat telah tiba.......kiamat telah tiba........!


***



 Asimilasi ternyata hanyalah sebuah relasi sosial yang sangat rentan dengan konflik kepentingan, sebuah proses menuju titik mati yang tetap terus diperjuangkan. Segala pernak-pernik budaya yang acapkali diusung dan didengang-dengungkan ternyata tetap saja tidak benar-benar bisa meleburkan fakta tentang kelompok-kelompok sosial yang ada menjadi satu kesatuan kepemilikan kesejarahan kebangsaan. Wajah peradaban dari sebuah negara yang mengalami amnesia panjang. Slogan-slogan manis yang selama ini diteriakkan hanya meninju udara kosong, karena sekat-sekat dinding perbedaan yang tinggi menjulang, yang ujung temboknya pun tidak pernah jelas.

Cultural genocide. Sungguh menggiriskan memahami kenyataan bahwa sebetapa pun seorang warga keturunan berupaya lebur dalam rahim kebangsaan, tetap saja ketika kemudian tumbuh konflik horizontal selalunya sentimen ras yang dipermasalahkan. Mereka-mereka yang tetap teguh dan lantang menyanyikan lagu Indonesia Raya, walau dengan kalimat yang cadel-cadel ucapannya. Mereka-mereka yang terdesak oleh sentimen kosmopolitan, kemudian menyingkir dan masuk ke dalam kubangan lumpur-lumpur sawah menjadi kaum paria. Mereka-mereka yang meniadakan asal-usul moyang, lalu mengubah diri menjadi Bejo, Kardiman, Salim, Sukiman, dan lain-lainnya. Mereka-mereka yang tetap dan harus selalu menjaga diri dari hantu-hantu di siang bolong, yang bisa saja tanpa ba bi bu langsung menohok dan menyorongkan mereka dalam kotak parsial yang sangat menyakitkan bagi siapa pun yang harus menghadapinya : dasar Cina lu....!

Hidup sudah sangat berat, bahkan tanpa perlu kita membebaninya dengan bandul pemberat, ketika kita mencoba mempertahankan hayat.

Setelah kerusuhan di bulan Mei itu banyak dari antara warga Indonesia keturunan lebih memilih untuk hengkang dan bertempat tinggal di Singapura. Mereka menjadi bagian dari komunitas komuter yang pada hari-hari biasa sibuk bekerja, berniaga melakukan transaksi bisnisnya dan tinggal di Jakarta, lalu begitu akhir pekan tiba berbondong-bondong mereka memadati bandara udara dan terbang ke Singapura untuk menghabiskan week end yang damai bersama keluarga.

Begitu pun dengan Yoga Sudarta. Paska terjadinya kerusuhan masal itu ia lebih memilih untuk menetap di Amerika. Surya Inc yang selama ini dipimpinnya diserahkan sepenuhnya kepada Cokek untuk mengelolanya.


***



Susan Wong turun dari taksi dan disambut udara Jakarta yang panas. Surya Inc nampak berdiri megah di hadapannya. Di halaman depan gedung terlihat beberapa orang berjalan hilir mudik dengan langkah yang tergesa-gesa. Seorang laki-laki muda keluar dari pintu kantor dengan telepon selular melekat di kupingnya. Lalu di depan pintu masuk dua orang penjaga keamanan memasang mata kepada siapapun yang melintas di area perkantoran, Security’s Prosedur Operational Standart.

Susan memasuki kantor itu dengan diantar seorang petugas. Dinding-dinding bagian dalam perkantoran itu semuanya dicat putih, terlihat bersih dan sejuk dengan air conditioning yang terus menyala. Lantai dalam ruangan itu juga berwarna dominan putih terbuat dari bahan marmer dalam ukuran yang besar-besar. Dua set kursi sudut yang disusun memanjang nampak tertata rapi di tengah-tengah ruangan, lalu di ujung ruangan yang dibatasi meja berbentuk setengah melingkar dengan tulisan resepsionis di atasnya seorang gadis muda nampak berdiri menyambut kedatangan Susan.

“Apa kabar, Susan.....”
“As you look I’m fine, Leoni....”

Keduanya saling berangkulan dan tertawa. Dua tiga menit berlalu untuk sejenak mengenangkan nostalgia. Leoni kemudian mengenalkan Susan kepada Denise, perempuan muda dengan mata yang sipit namun terlihat sangat bersahabat.

“Anda sungguh cantik, Mbak.....” Ujar Denis kepada Susan.
“Perawatan dengan krim matahari, Mbak. Hahaha....Mbak sendiri seperti putri Huan Zhu.” Balas Susan tak mau kalah.
“Putri Huan Zhu...?! Yang main sama Andy Lau itu?!”
“Bukan....bukan....! Sama Mat Solar....!” Celetuk Leoni.
“Hahaha.......!” Ketiganya tertawa.

Ruangan yang membatasi resepsionis itu sebenarnya berukuran tidak terlalu besar. Di sebelah dindingnya penuh dengan pajangan poster iklan produk Surya.

“Sudah pernah ketemu dengan Pak CK, Mbak?” Tanya Denise kepada Susan.
“Belum.” Jawab Susan.
“Belum?!”
“Belum. Memangnya kenapa?” Susan balik bertanya.
“Kok kelihatannya Pak CK sudah tahu Mbak.” Jawab Denise.
“Masa iya sih...?”
“Yaahh.....ya udah deh. Eh Leoni, lu lekas anterin aja Mbak Susan ini.” Denise melihat ke arah Leoni.
“Panggil saya Susan saja, Mbak.” Ujar Susan sebelum Leoni menjawab.
“Iya deh. Tapi kamu juga musti panggil aku Denise saja.”
“OK.”

Keduanya kembali berjabatan tangan dengan mesra. Sementara itu Leoni mencoba menghubungi ruang direktur melalui telepon operator.

“Gimana Leon?” Tanya Denise.
“Kosong. Tadi sih beliau bilang mau meeting sebentar dengan klien. Belum selesai barangkali.” Jawab Leoni.
“Ya sudah. Susan tunggu dulu di sini ya.” Kata Denise seraya menunjuk ke arah kursi yang terletak di sampingnya.
Thanks.

Waktu terus merangkak menggapai matahari sampai sepenggalah. Hanya dengan menyimak bayangan tiang bendera yang jatuh di halaman Susan bisa memastikan saat itu sudah tak kurang dari jam sepuluh pagi. Digerakkannya kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk mengusir sekedar kepenatan yang menyergahnya. Hari ini, walau dalam kondisi sedikit terserang influensa ia harus tampil secara normal, dengan roman yang berseri-seri dan menerima apapun keputusan yang nantinya akan ia terima.

Tadi pagi, bahkan sebelum surya pagi merekah menampakkan sinarnya Susan sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Sepatu selop yang sudah dua bulan ini menganggur tidak pernah mengantarkan kakinya menapaki jalanan di ibukota pun telah ia turunkan dari raknya. Selesai mandi, ia mematut diri, dan ketika berkaca di meja toaletnya sadarlah Susan ia tidak boleh melewatkan kesempatannya kali ini. Its now or never. Fuiih…..sekali lagi Susan mengamati bayangan wajahnya yang jatuh di cermin. Gemetar dan harap-harap cemas.

“Susan, Pak CK sudah menunggu.” Tiba-tiba suara Leoni membuyarkan lamunannya.
“Baik, Leon.”

Tak berapa lama Susan mengikuti Leoni menuju kantor Direktur. Keduanya memasuki lift untuk sampai di lantai yang hanya berselisih dua lantai dari lantai resepsionis tadi. Selama itu Susan mulai belajar menghapal-hapal ruang-ruang yang telah dilewatinya, jadi barangkali nanti ia bisa diterima bekerja di kantor itu sudah tidak begitu asing lagi dengan tempat-tempatnya.

Beberapa menit kemudian keduanya sampai di depan pintu direktur. Seorang karyawan yang terlihat baru saja keluar dari dalam ruangan itu memberikan salam kepada Leoni yang dijawab dengan sebuah salam yang pendek. Ruang direktur. Dari balik ruangan yang hanya terhalang pintu itu terdengar musik instrumental mengalun. Susan merasa sedikit gelisah, dalam hati ia mulai menghitung mundur. Sepuluh..sembilan….delapan…tujuh….enam…..lima……….

Thok! Thok! Thok!…….

“Masuk!”


***


 
Cokek menggoyang-goyangkan kepalanya di atas washtafel, aku pasti mabuk semalam, pikirnya. Tak jelas betul bagaimana ia bisa sampai di rumah terus tahu-tahu pagi harinya ia terbangun di atas sofa. Ia hanya ingat-ingat secara samar dalam pesta tahun baru yang telah berlangsung secara liar semalam ia menari-nari bersama Febrina. Dan entah karena pengaruh banyaknya minuman yang telah ia tenggak, atau dikarenakan gairah hatinya yang tengah membuncah membuatnya tidak sadarkan diri.

“Kamu jangan terlalu banyak minum.” Cokek masih mengingat Febrina berkata demikian tatkala keduanya asyik melantai dansa.
“Memangnya kenapa?” Ahh….sebenarnya itu adalah pertanyaan yang tidak perlu. Namun entah kenapa berdekatan dengan Febrina membuat sikap latah yang ada dalam jiwanya yang masih muda mendadak muncul.
“Reputasi.” Jawab Febrina waktu itu.
“Hahaha….mana ada orang mabuk berpikir tentang reputasi?”
“Ini serius!”
“Bagaimana kalau aku katakan bahwa kamulah yang telah membuatku mabuk?” Ucap Cokek dengan tatapan mata menegas. Sejenak mereka saling berpandangan, keduanya berhenti menari. Di dalam ruangan lagu oriental Mawar Terakhir masih mengalun.
“Kamu masih ingusan.” Kata Febrina. Ia memutarkan badannya seratus delapan puluh derajat kemudian mulai menari lagi.
“Bagaimana kalau aku menciummu?” Cokek mengejar Febrina dengan langkah sempoyongan, keduanya kembali menari bersama.
“Kamu terlalu mabuk untuk bisa menciumku.”

Dari tempat yang agak jauh nampaknya Om Surya juga terlihat mabuk. Ia ikut bersenandung mendampingi penyanyi dengan suaranya yang parau. William yang mengamatinya dari sebelah stage tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan sahabatnya itu, meski sebenarnya mabuk juga.

“Aku bisa menangis kalau tidak bisa menciummu.” Cokek kian merapatkan dekapannya dengan Febrina. Aroma wangi yang mengalir dari rambut Febrina telah membuatnya tak berdaya.
“Lantas apa bedanya kalau kamu bisa menciumku malah justru itu akan membuatku menangis?” bisik Febrina di telinga Cokek. Keduanya masih menari.
“Bibirmu membuat telingaku terasa panas.” Kata Cokek.
Cup cup ah…nanti aku carikan es ya.” Jawab Febrina sambil tertawa. Ia mengeluskan jari-jarinya ke telinga Cokek.
Ahh…sekarang badanku juga mulai terasa panas.”
“Anak nakal, mau mama peluk?”
Ahh, Febrina, sekarang seluruh tubuhku terasa panas!”

Musik terus berganti, namun itu sudah tidak berarti lagi, apalagi bagi Cokek dan Febrina saat itu. Di antara temaram lampu lampion yang menerangi ruangan keduanya menyelinap keluar taman. Tak ada yang memperdulikan. Dua cicak berkejaran di salah satu sudut hotel tak ada lelahnya. Tanpa lampu, tak ada gambar, dua cicak saling memagut tak ada habis-habisnya.

“Apakah kamu mencintaiku?”

Hening. Tak ada gambar.

“Tidak.”

Hening. Tak ada komentar.


***



 
“Kei, kamu dimana?” Terdengar suara Febrina di seberang telepon. Cokek tersenyum. Kian hari Febrina kian dekat saja dengannya, bahkan Febrina pun sudah mempunyai panggilan khusus untuknya : Kei.
“Aku di kantor.”
“Makan yuk?” Pinta Febrina.
“Di mana?”
“Biasa.”
“Emmh……”
“Bisa enggak?”
“Setengah jam lagi ya?”
“Ok, aku tunggu.” Telepon ditutup. Cokek kembali tersenyum.

Hmmm…biasa? Kata-kata ini sudah bukan kalimat yang asing lagi bagi Cokek. Dalam tiga pekan ini saja entah sudah berapa kali Cokek menginjakkan kaki di sebuah tempat yang akhirnya disebut ‘biasa’ itu : rumah Febrina.

“Album fotomu sedikit sekali isinya?” kata Cokek pada Febrina ketika membalik-balik halaman album foto. Waktu itu kunjungan Cokek yang pertama kali di rumah Febrina.
“Aku jarang sekali foto.” Jawab Febrina seraya menghidangkan minuman di meja.
“Nggak suka kenangan?”
“Tidak. Aku bukan tipe perempuan sentimentil begitu.”
“Suami kamu?”
“Pergi.”
“Pergi?!”
“Iya, pergi.”

Cokek memandangi wajah Febrina dengan seksama. Alis mata yang lentik, dengan bibir bagai sekuntum mawar merekah itu cuma tersenyum melihat Cokek terus mengamatinya. Melihat Febrina mengenakan baju putih kedodoran dengan kancing sedikit terbuka di bagian kerah bajunya sungguh membuat jantung Cokek berdebar-debar. Febrina yang menarik, ia tidak saja cantik, namun juga sensual.

“Mantan suamiku tidak suka aku berkarier, sementara aku sebaliknya.”

Cokek tidak menanggapi. Ia hanya tidak bisa mengerti bagaimana mungkin perempuan mapan secantik Febrina bisa begitu tahan lama untuk tetap menjanda. Barangkali ia seperti…Tante Ririn! Ya Tante Ririn yang tinggal di Yogya juga cantik, ia juga perempuan yang sukses dalam kariernya, namun hidupnya bahkan jadi perawan tua akibat terlalu seriusnya mengejar karier, kerja dan karier melulu.

“Kenapa kamu memandangiku seperti itu?” Tiba-tiba Febrina berkata. Cokek hanya tersenyum untuk menghilangkan kegugupannya.

Rumah Febrina sangat luas. Halaman depannya cukup untuk memarkir tiga buah mobil. Rumah tingkat dua. Tembus ke ruang tengah tempat ruang keluarga bersantai terdapat sebuah kolam dengan beberapa ikan koi berenang-renang di dalamnya. Seorang pembantu yang kemudian muncul dari arah pintu belakang masuk ke dalam ruang tamu sambil membawa nampan berisi buah-buahan yang telah dikupas di atas piring.

“Terima kasih, Bibi.” Ucap Febrina sebelum pembantu itu masuk lagi ke dalam.
“Makan, Kei.” Kata Febrina kepada Cokek.
“Ok.”

Berdua kemudian mereka menikmati sekadar makan siang. Suara musik ruangan mengalun perlahan, dan gesekan air conditioning yang terpasang di sudut ruangan membuat panas udara Jakarta menjadi tak berarti.

“Kenapa kamu masih memilih sendiri, Feb?” tanya Cokek disela-sela makan.
“Belum ada yang cocok saja.”
“Kamu terlalu pilih-pilih ‘kali?”
“Aku nggak mau gagal kedua kali.”
“Sudah ada pandangan belum?”
“Lho, kok jadi ngelantur sih….?”
Ups, sorry. Enggak sadar, Feb.”

Dua manusia itu tertawa bersama-sama. Makan siang usai. Musik masih mengalun, jarum jam di dinding menunjuk angka dua belas empat puluh.

“Rumah kamu enak sekali, Feb.” Suara Cokek memecah kebuntuan.
“Aku mendesainnya sendiri.” Febrina menjawab. Keduanya sama memandang lukisan kuda yang terpasang di dinding.

“Eh, aku juga punya home theater lho.”
“O ya?”
“Mau lihat?”
“Nggak usah lah, ntar ngrepotin.”
“Tidak apa-apa kok. Yuk.”

Cokek mengikuti Febrina memasuki ruangan di sebelahnya. Bau ruangan itu memancarkan aroma yang sangat feminin dengan beberapa hiasan asesoris terpajang di dalamnya.

“Lho, ini kamar siapa, Feb?’
“Ya kamarku dong.”
Ahh……
“Kenapa?”
“Aku nggak enak.”
“Santai saja, Kei.”

Cokek memandang Febrina dan Febrina pun balas memandang Cokek. Untuk beberapa saat keduanya membisu, hanya saling bersitatap. Cokek seakan bisa mendengar debur ombak di lubuk sana, sementara ia juga merasakan jantungnya sendiri yang berdebar-debar.

“Febrina…” Ucap Cokek perlahan. Suara yang keluar dari tenggorokannya mendadak terdengar sedikit parau.

Apakah kamu ingin menggodaku?, Tanya Cokek dalam hati. Kamu sungguh tidak tahu dengan siapa kamu tengah berhadapan.

Namun saat itu, dengan setengah tak percaya, Cokek melihat Febrina justru berjalan mendekat ke arahnya dengan tatapan menyala dan baju berwarna putih yang terlepas lagi satu kancingnya.

“Ada apa, Kei?”

Cokek sungguh berbohong kalau mengatakan dirinya tidak terpana oleh apa yang kini tengah disaksikannya. Namun sebagai seorang muda yang tengah berjuang meniti karier tentu ia juga wajib waspada akan rumitnya hubungan antar masyarakat di kota metropolitan.

“Apakah ka…….?”

Suara Cokek terhenti. Dengan sedikit gelagapan tiba-tiba ia merasakan bibir Febrina telah menyumbat mulutnya. Perempuan itu menyumpal serentetan pertanyaan Cokek dengan ciuman yang bertubi-tubi dilakukan. Di ruang tamu musik ruangan masih terdengar perlahan mengalun. Jakarta yang panas, seperti juga ruang kamar Febrina yang sontak menggeliat panas didera badai birahi nafas yang terus berpacu menemu petualangan baru. SAL, sex after lunch!

Selebihnya hening. Pengap, dan lembab oleh butiran keringat. Tak ada gerak. Hanya dering suara handphone meraung kesal tak menjumpai yang dituju.


***

bersambung........
___________________________________________________________
COKEK©Gusblero, 2006

2 komentar: