just ordinary people's blogs

You can take any content from here, quite simply by including the source...

Senin, 03 Oktober 2011

COKEK I Gusblero



PROLOG

Cokek melangkah perlahan mendekat ke arah Febrina yang telah menunggunya di atas pembaringan. Sinar lampu dalam ruangan yang berwarna kuning memoles kulit putih Febrina menjadi serupa mentega, tergolek mulus dan menantang ke arahnya seperti seekor ikan lumba-lumba. Tak ada lagi kata-kata.

Cokek mencengkeram kedua pundak perempuan itu yang tampak tak berdaya. Febrina melenguh, sebelah tangannya jatuh terkulai di tepian ranjang. Tubuh perempuan mapan Febrina seperti pohonan berlumut yang basah dan licin ketika Cokek menaikinya. Derai-derai keringat, dengus desah suara nafas berpacu dalam penjelajahan hasrat yang kian menyatu. Selebihnya senyap.

Lampu pejam, nafsu padam. Hanya sebuah suara perempuan kemudian terdengar berbisik lirih diantara lubang-lubang hampa :“Apakah kamu mencintaiku?”

Tak segera ada jawaban. Tujuh detik kemudian baru suara itu muncul di ambang sunyi dalam nada yang hampir-hampir tidak begitu jelas untuk dipahami maknanya : “Tidak…”

***



TIGA SEKAWAN

Cokek, tampan, cerdik dan bergengsi. Mobil Jaguar, BMW, villa, dan rumah pribadi. Dengan segala fasilitas yang ia peroleh dari jabatannya sebagai seorang direktur perusahaan swasta dan kekayaan yang sekarang ia miliki mana mungkin ada seseorang yang tidak akan menoleh ke arahnya.

“Selamat pagi Tuan CK…..”
“Good morning Sir…..”
“Cau an, Pak……”

Itu adalah beragam salam selamat pagi yang secara santun dan tertib ia terima dari para karyawannya setiap kali ia menjejakkan kakinya di kantor. Pegawai yang cantik-cantik dengan bau aneka parfum yang kian terasa menyegarkan ruangan, serta karyawan-karyawan muda yang rata-rata tampan dan sangat cekatan siap menerima komando perintahnya dari sebuah meja bundar yang terletak di ruang kantor utama.

Cokek adalah seorang direktur sebuah perusahaan periklanan di ibukota. Usianya menginjak tiga puluh tiga tahun saat ini. Ia masih membujang, walau hidupnya dikelilingi oleh banyak perempuan. Atau barangkali justru situasi itulah yang kemudian membuatnya sampai sejauh ini belum mengikat hubungan yang cukup serius dengan salah seorang perempuan : terlalu banyak berhubungan dengan perempuan.

“Ia sangat tampan.” Ujar Leoni kepada seseorang di seberang telepon.
“Siapa yang kamu maksud?” balas suara perempuan itu.
“Ya bos gue.” Ujar Leoni lagi.
“Aku cuma mau kerja, Leon, aku nggak minta kamu nyomblangin cari cowok.”
“Tapi elu perlu tahu dia itu memang tampan.”
“Apa pedulinya? Apa kalau aku mau bilang ough yess…betapa tampannya dia, terus aku bisa dapat kerja?”
“Hahaha….gile lu!”
“Kamu yang ngaco!”
“Bukan begitu. Maksud gue supaya elu tuh musti bisa siap-siap mental ngadepin interview sama dia.”
“Aku nggak peduli, Leon. Apapun lah, yang penting aku tuh pengin segera dapat kerja, kerja, dan kerja…”
“Iya deh.”
“Lantas kapan aku dapat panggilan?”
“Ntar coba gue approach lagi sama manager personalia.”
“Cepetan lah.”
Ihh…elu, norak amat sih?”
“Aku nggak mau berlama-lama lagi nganggur nih.”
“Iya iya, baru juga lulus jadi sarjana.”
Eiittt…jangan lupa aku juga pernah magang kerja lho, walau part timer.
“Iya, sama perusahaan yang ancur.”
“Lho, jangan salahin aku. Itu pan karena kelakuan mantan bosku saja yang enggak karuan.”
“Iya deh, itu bos elu. Kalau bos gue….”
“Kenapa? Kamu mau bilang tampan lagi?”
“Hahaha….dia itu kaya’ snow on the prahara.”
Snow on the Sahara! Itu pan lagunya Anggun.”
“Hahaha….lucu, elu tau juga ya. Pokoknya dia itu bisa ngebikin masalah pusing jadi lapp ilang begitu saja tiap-tiap kali gue boring.”
“Sebodo lah. Pokoknya aku nunggu panggilan.”
Yoi, siap tuan puteri.”
“Ya udah. Terima kasih, sie-sie.
Sie-sie.”

Jakarta itu dingin dan angkuh, unik namun asyik. Fenomena berbagai lintas peristiwa yang terjadi di ranah ibukota sehari-hari membuktikan kenyataan-kenyataan itu. Kota ini dalam beberapa dasawarsa terakhir mempunyai citra sebagai kota harapan yang ramai dikunjungi orang. Kota yang selalu dijadikan barometer untuk mendedah berjuta-juta mimpi. Namun kenyataan bahwa tak segampang itu orang kemudian bisa ikut kompetisi mengejar mimpi menegaskan bahwa kota ini juga menyimpan sesuatu yang mengerikan.

Nadi gerak laju kehidupan di Jakarta adalah narsis. Rivalitas antar manusia tak memberikan ruang kelonggaran untuk semua kemudahan seperti yang selama ini digembar-gemborkan orang. Nepotisme, kolusi, menjadi wajah-wajah peradaban baru yang tumbuh dan kian subur melengkapi kebudayaan di kota-kota besar. Jakarta bukanlah tempat yang sepenuhnya heterogen.

Diantara heroisme untuk menjunjung semangat keberagaman seperti yang dikampanyekan pemerintah, berbagai ketegangan nyaris tak bisa dielakkan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi punya dampak psikis pada kelas-kelas sosial yang tak bisa segera menyesuaikannya. Lalu diantara semua hal yang sifatnya teroritis itu, fakta tentang perkelahian melawan ketidak-mapanan gampang menyulut pemijahan demografis antara pribumi dan nonpri secara sporadis, dingin dan tak menyisakan belas kasih. Semuanya bisa saja terjadi karena banyak hal, baik mempunyai alasan atau tidak.

“Pak Willy ada nggak ya?” Tanya Leoni pada Denise.
“Aku belum lihat. Coba di ruangannya.” Jawab Denise tetap masih fokus pada layar komputernya.
“Elu lagi ngapain?” Tanya Leoni lagi.
“Ngliat-liat file model.
“Model?”
“Iya. Cowok.”
“Cowok?!” Tanya Leoni lagi sembari mendekat ke desk Denise.
“Iya-iya. Berisik amat sih lu. Sudah sana ke Pak Willy gih.” Denise mencoba menyergah, namun Leoni sudah keburu sampai di samping meja Denise.
Ihhh….norak banget luh. Gambar pantat?!”
“Ngeliat gambar pantat lu langsung melotot. Ati-ati dikit dong meng-ekploatasi hobi.”
“Elu yang ngadepin masa gue yang dibilang maniac. Eh, tapi omong-omong pantat siapa tuh?” Tanya Leoni sambil mengerdip ganjen.
“Mau tau aja luh.”
Alaa…sama-sama hunter ini.”
Gelo lu. Ini pantat salah seorang pejabat.”
“Pejabat? Elu mau meres? Atau jangan-jangan?!”
Ih, otak kotor. Ini buat portfolio model Playgirl Magazine.
“Hahaha…..elu gila!”
“Dianya yang mauin sendiri. Kita dapat fee lumayan nih untuk buruan ini.”
“Berapa?”
“Lumayan lah buat sekedar ngoleksi pantat.”
“Gue?!”
“Elu?! Elu….dapet hasil risetnya. Ntar kapan gue udah beres, pasti deh elu kaga lupa gue ceritain.”
“Sialan.”
“Minimal bisa buat modal berfantasi. Elu kan paling demen maen fantasi.”
“Sialan. Tapi omong-omong siapa sih orang itu?”
“Pokoknya dia itu pejabat lah.”
“Iya pejabat, tapi siapa?”
“Mau tahu nih?”
“Iya.”
“Bener?”
“Iya-iya. Reseh banget sih lu.”
“Nih gue liatin. Tapi awas jangan ribut, jaga sensasi.” Denise menjawab sambil memainkan mouse di mejanya. Foto pantat itu kemudian bergeser perlahan merayapi gambar pinggang berlemak yang konon milik salah seorang pejabat itu, hingga…..

Woww…!”
“Hahh…?!”

Teriakan Denise nyaris berbunyi berbarengan dengan suara kekagetan yang keluar dari mulut Leoni yang nyaris tak percaya melihat foto itu benar-benar milik salah seorang pejabat di negeri ini yang tengah berpose telanjang dengan kepala menoleh ke belakang.


***



Willy merutuk. Agen yang dimilikinya gagal melobi artis sinetron yang sedianya akan dimintai konfirmasi soal kedekatannya dengan salah seorang pejabat. Tidak hanya gagal dalam mendapatkan news yang diperkirakan akan mampu menaikkan klasifikasi prestise corporation di mana saat ini ia bekerja, naga-naganya pejabat itu juga sudah mulai pasang kuda-kuda untuk melindungi pleasure privacy-nya yang mulai tercium kuli tinta. Willy mengumpat.

Surya Inc selalu berusaha menjadi leader dalam upayanya meliput apapun halnya berita-berita yang kemudian meledak menjadi sesuatu yang sensasional. Kecerobohan dari salah satu agen yang dimilikinya tidak boleh terulang, bagaimanapun ia harus mendapatkan artis itu, apapun caranya.

“Irene…...!” Seru Willy memanggil nama salah seorang karyawannya. Tak ada jawaban.
“Ireeee……eeeennn!” Teriaknya lagi.
“Ya Paaak……” Terdengar sebuah jawaban. Tak lama kemudian perempuan yang dipanggilnya itu sudah masuk ke dalam ruangannya.

“Ada apa, Pak?” Tanya Irene.
“Mana si bego itu?” Ucap Willy.
“Siapa, Pak?” Tanya Irene lagi.
“Hendra.” Jawab Willy dengan wajah terlihat masam.
“Dia off, Pak.”
Off….?!”
“Habis mau meliput kemaren dia disatroni orang.” Papar Irene sedikit tidak tenang.
“Maksud kamu?”
“Gara-gara artis itu, Pak.”
“Ceroboh!”
“Pejabat itu mungkin…..”
“Ceroboh! Hendra yang ceroboh! Bego, tak berwawasan, dan ceroboh! Mana mungkin agen berita takut sama nara sumber?!” Hardik Willy.
“Tapi, Pak…..”
“Tidak ada tapi-tapian. Kamu harus uber terus itu berita. Jangan sampai gagal. Kalau perlu cari agen lagi!”
“Ya, Pak….” Jawab Irene perlahan. Ia masih berdiri mematung. Willy mengangkat gagang telepon.
“Ngapain kamu masih berdiri di sini? Cepat kerja!” Hardik Willy lagi sambil menoleh ke arah Irene.
“I..iya, Pak….” Irene tergopoh-gopoh menjawab seraya keluar dari ruangan.
“Shit!”



Willy adalah teman Cokek sedari kecil, begitupun Hendra. Usia Willy saat ini tiga puluh dua tahun. Baik Hendra, Willy maupun Cokek adalah tiga sekawan yang sama-sama berasal dari satu dusun yang sama. Kulit Hendra yang agak gelap ditambah rambutnya yang keriting lembut membuat sepintas Hendra seperti keturunan Ambon. Namun yang jelas mereka semua berasal dari keluarga yang sama-sama melarat dan berantakan.

Bedanya kalau Cokek baru mengetahui siapa ayahnya sewaktu beranjak remaja, Hendra sejak kecil hidup bersama neneknya walau sebenarnya kedua orang tuanya masih ada. Namun perbedaan itu menjadi tipis bahkan kemudian bisa dikatakan tidak berarti sama sekali, karena kedua orang tua Hendra sendiri cuma memikirkan masalah mencari penghasilan di kota dan kalau ada sedikit uang sisa baru mengirimkannya untuk mencukupi kebutuhan Hendra di dusun.

Sementara meski Willy juga berasal dari keluarga yang sama-sama miskin namun alur kehidupannya bisa dikatakan lebih selamat karena dalam rumah tangga orang tuanya tidak timbul prahara.

Hendra adalah laki-laki paling muda dari tiga sekawan Cokek. Ia baru berusia dua puluh delapan tahun. Perbedaan umur dalam pergaulan persekawanan ini bisa terjadi karena Hendra memang sudah terbiasa minta perlindungan kepada siapapun yang dirasa bisa melindunginya bila ia ada persoalan dengan teman-temannya. Badannya yang cukup besar sama sekali tidak mencerminkan jiwanya yang gampang goyah saat ia harus menghadapi persoalan. Namun itulah gambaran Hendra yang sebenarnya, hingga ia gampang disuruh-suruh baik oleh Cokek maupun Willy untuk hal-hal yang sifatnya sepele.



.Thok! Thok! Thok!........

Terdengar suara seseorang mengetuk pintu ruangan. Willy yang masih berbicara melalui telepon menjawab :”Masuk…!”

Leoni masuk ke dalam ruangan sambil mendekap sebuah stofmap. Ia tetap berdiri di depan meja Willy sampai Willy menyelesaikan percakapannya di telepon.

“Silakan duduk.” Ucap Willy kepada Leoni setelah menutup telepon.
“Ya, Pak.” Leoni sedikit menarik kursi ke belakang. Mengetahui Irene habis kena damprat bosnya, mau nggak mau Leoni ikut-ikutan sedikit tegang.

“Ada apa?” Tanya Willy, matanya menatap tajam ke arah Leoni.
“Saya membawa lamaran, Pak.” Jawab Leoni sambil sedikit menyorongkan badannya ke depan.
“Kamu kan sudah kerja?”
“Ini punya teman saya, Pak.”
“Apa hubungannya denganku?!” Tanya Willy lagi. Leoni yang ditanya menjadi sedikit gelagapan.
“Tadi kebetulan Irene cerita kepada saya….”
“Hemmm…….”
“Katanya Bapak cari agen?....”
“Lalu…..?”
“Mungkin teman saya bisa.”
“Dia agen?”
“Pernah magang di sebuah penerbitan, Pak.”
“Dia agen bukan?!”
“E…e….mungkin bisa dicoba, Pak.”
“Kamu pikir ini perusahaan main-mainan?!”
“E….e….bu…bukan, Pak.” Jawab Leoni gugup.
“Sudah, sana pergi.” Ucap Willy lagi seraya meraih gagang telepon.
“Iya, Pak.” Tergopoh-gopoh Leoni melangkah keluar ruangan, stofmap yang tadi hendak diserahkan kepada atasannya itu dibawanya kembali.

Ia merasa lunglai, namun dalam hati ia masih belum mau menyerah. Perempuan muda berdarah Cina yang mempunyai nama asli Lie Ong Nio itu sangat yakin bahwa teman perempuan yang hendak direkomendasikannya itu betul-betul potensial dan mampu untuk bekerja dalam perusahaan yang selama ini dia ikuti.

“Wajah elu kok jadi kaya’ udang rebus begitu. Ada apa, Leon?” Tanya Denise yang kebetulan berpapasan dengannya di seberang ruangan.
“Makanan aja yang lu pikirin. Wajah ciamai begini mau lu embat juga?” Jawab Leoni sedikit melengos.
“Idiih…keganjenan. Abis dimarahin kok nggak dibagi-bagi siih….” Ujar Denise cekikikan.
Aih…aih, dasar orang kalo punya nama mesum.” Leoni tak kalah mencibir.
“Siapa yang punya nama mesum?” Tanya Denise dengan mata melotot.
Lhah, masih pake nanya lagi. Ya elu.”
“Gue?!”
“Lha iya lah. Masa’ ada perempuan pake nama #enis? Itu khan punya’nya laki-laki?”Leoni sambil ngeloyor santai.
“Elu….!”
Eit..eit, kaga boleh pake marah. Eh, nama panjangnya apaan sih? #enis meja ya? Ape tukang #enis? Hahaha…!” Canda Leoni lagi sambil ngeloyor santai.
“Kucing!”

Hampir satu setengah tahun sudah Leoni ikut bekerja di Surya Inc. Perusahaan periklanan tempatnya bekerja ini adalah sebuah serikat agen yang telah berada dalam level nasional. Memasuki usianya yang ke tujuh tahun ini Surya Inc sudah menjadi gurita yang tangannya menjelma agensi-agensi kecil yang siap menopang grand business-nya dalam bidang periklanan, production house, dan penerbitan.

Maka berbicara mengenai tempatnya bekerja Leoni sadar betul  mau tak mau standarisasi mutu pekerjaannya terbebani oleh stigma produk sebuah periklanan nasional. Dan semua itu tentu tak bisa lepas dari upaya mengenai cara menjaga kepercayaan publik, utamanya dari pihak-pihak user atau pemasang iklan yang menopang seutuhnya dari sisi pendanaan untuk mendapatkan layanan utama agar produknya memperoleh nilai lebih dalam sistem kompetisi pasar.


***




 bersambung...

___________________________________________________________
COKEK©Gusblero, 2006


3 komentar:

  1. ^
    Cokek melangkah perlahan mendekat ke arah Febrina yang telah menunggunya di atas pembaringan. Sinar lampu dalam ruangan yang berwarna kuning memoles kulit putih Febrina menjadi serupa mentega, tergolek mulus dan menantang ke arahnya seperti seekor ikan lumba-lumba. Tak ada lagi kata-kata.

    Cokek mencengkeram kedua pundak perempuan itu yang tampak tak berdaya. Febrina melenguh, sebelah tangannya jatuh terkulai di tepian ranjang. Tubuh perempuan mapan Febrina seperti pohonan berlumut yang basah dan licin ketika Cokek menaikinya. Derai-derai keringat, dengus desah suara nafas berpacu dalam penjelajahan hasrat yang kian menyatu. Selebihnya senyap.

    Lampu pejam, nafsu padam. Hanya sebuah suara perempuan kemudian terdengar berbisik lirih diantara lubang-lubang hampa :“Apakah kamu mencintaiku?”

    Tak segera ada jawaban. Tujuh detik kemudian baru suara itu muncul di ambang sunyi dalam nada yang hampir-hampir tidak begitu jelas untuk dipahami maknanya : “Tidak…”

    ya ya ya ya...TIDAK....wow...

    BalasHapus
  2. .
    prolog cerita fiksi ini gaya-gaya sex thrillernya Paul Verhoveen atawa Adrian Lyne....beberapa film lawas yg dulu cukup bikin mimpi basah diantaranya adalah 9 1/2 Weeks dan Sex for Pleasure....

    dulu hampir juga nonton film yg judulnya Caligula....tapi seorang teman bercaping nglarang...kuatir banget aku bisa kena diabetes abis mantengin itu film....hahahahaha...oughh!!!

    BalasHapus