ROMANCE D'AMOUR
“Apakah kita sudah terlambat?” Tanya
Om Surya.
“Nampaknya belum, Om. Kalau pun iya,
apa sih sukarnya bagi Om membuat semacam pesta kecil-kecilan lagi?” Ujar Cokek
seraya memicingkan sebelah matanya.
Keduanya kembali tertawa. Seorang waitress yang berpakaian rok mini
bergegas menyambut Om Surya dan Cokek, lalu mempersilakan keduanya segera
bergabung dengan tamu undangan lain yang telah hadir dalam ruangan itu.
“Ramai juga ya….” Komentar Om Surya
begitu melihat begitu banyaknya tamu undangan yang hadir.
“Jakarta, Om. Apalagi malam tahun
baru.” Cokek menimpalinya. Ia melambaikan sebelah tangannya untuk memanggil
salah seorang pelayan yang nampak membawa nampan berisi minuman.
Cahaya lampu dalam ruangan itu
bersinar warna-warni. Pohon-pohon buatan dengan aneka warna bunga yang masih
nampak segar disusun berjajar rapi di sepanjang dinding dengan kerlap-kerlip
lampu Natal menghiasi tangkainya.
Di atas kaso-kaso yang tinggi
bergantungan balon-balon beraneka warna terikat dalam satu rangkaian kombinasi
pita yang memikat. Beberapa lampion yang berwarna merah menyala juga tidak
ketinggalan terpancang di beberapa sudut ruangan. Dekorasi dalam pesta
menyambut tahun baru itu mirip hiasan pesta warga Tionghoa. Namun siapa pula
yang akan peduli soal dekorasi?
Orang-orang yang hadir di malam itu
semuanya hanya perlu relaks dari sekadar belenggu rutinitas yang telah
menciptakan satu siklus kehidupan yang monoton dari hari ke hari, dari setumpuk
pekerjaan yang satu ke pekerjaan-pekerjaan berikutnya, dari client job yang satu menuju client target berikutnya.
Delapan buah speaker berukuran
besar-besar menumpuk di salah satu sisi ruangan, dibagi dua di letakkan di
sebelah kiri dan kanan stage yang tingginya kira-kira hanya dua puluh lima
centimeter dari lantai. Lalu di depan seperangkat sound system yang tertata
rapi di atas panggung seorang Disc Jockey
menggoyang-goyangkan tubuhnya seraya mengeja beberapa kalimat dari
bait-bait lagu yang terdengar patah-patah. Dengan matanya yang terpejam seakan
mengeja lagu demi lagu dengan penuh penghayatan, kedua tangannya yang kurus
terus menari-nari dan bergerak dengan lincahnya memenceti piringan hitam yang
terus berputar satu-persatu.
Mata Cokek menyapu seisi ruangan. Dan
ketika ia kembali menoleh, dilihatnya Om Surya tengah melihat ke arahnya sambil
tersenyum.
“Ayo, tunggu apalagi?” Tanya Om Surya
kepada Cokek.
Cokek sebetulnya ingin menyampaikan
sesuatu. Namun sejauh ini ia merasa cukup puas hanya dengan menonton beberapa
pasangan dansa yang tengah asyik menari sambil menyampaikan beberapa salam
pendek dengan ucapan yang cukup keras kepada orang-orang yang dikenalnya.
“Kamu tidak perlu sungkan-sungkan. Ini
acara bebas kok. Oh iya, ayo aku kenalin kamu ke beberapa kolega.” Tiba-tiba Om
Surya berkata, lalu tanpa menunggu jawaban ia telah merangkul bahu Cokek menuju
ke sisi ruangan lainnya.
Keduanya kemudian berjalan melewati
beberapa pasangan yang tengah menari dua-dua. Sementara dalam jarak yang hanya
sekitar sepuluh meter jauhnya nampak dua orang laki-laki serta seorang
perempuan berusia tiga puluh tahunan tengah asyik berbincang-bincang sendiri.
“William…..!” Terdengar Om Surya
memanggil.
“Surya….! Ni hau ma, apa kabar?” orang yang dipanggil William oleh Om Surya
itu segera mendekat seraya melebarkan kedua lengannya untuk merangkul pundak Om
Surya.
“Heng
hau, sangat baik. Kamu masih sempat juga kongkow-kongkow, Bill.” Ucap Om Surya lagi.
“Kapan lagi mesin tua begini bisa brain washing kalau bukan pada saat-saat
seperti sekarang ini. Hahaha….!” Jawab William.
“Oh iya, kenalkan ini Dino teman baru
kita.” Lanjut William seraya memperkenalkan laki-laki yang berdiri di
sebelahnya.
“Tui
pu chi, maaf, saya juga sampai lupa. Pemuda ini namanya Cokek, sekutu baru.
Saya sedang bertaruh apa ia bisa memegang Surya Agency suatu hari nanti.” Balas
Om Surya. Dengan sedikit menekan punggung Cokek ia seakan memberikan kode
kepada Cokek untuk berdiri sedikit maju. Mereka kemudian saling tertawa.
“Ahai,
bagi kaum perempuan sudah tidak ada lagi tempat di sini nampaknya?!”
Perempuan yang sedari tadi berdiri di belakang William tiba-tiba ikut-ikutan
bersuara. Dengan menggeser tiga langkah ke depan ia pun segera bergabung dalam
kerumunan rombongan Om Surya.
“Ai
ai, hahaha..! Perkenalkan, ini Nona Febrina, Cokek. Bagaimana kita semua
bisa silap dengan perempuan muda yang terus berjaya walau di jaman resesi
seperti sekarang ini. Hahaha…! Tui pu chi
tui pu chi, maaf…maaf.” Kembali Om Surya menoleh ke arah Cokek untuk
memperkenalkan perempuan yang berdiri di hadapan mereka.
Cokek tidak menjawab. Ia tengah
menatap kedua bola mata Febrina yang dihiasi warna biru kelabu di sekitar
irisnya. Kebetulan Febrina juga tengah menatapnya.
“Cokek.” Cokek mengulurkan tangannya. Berhubungan dengan yang namanya
perempuan sebetulnya sudah bukan barang yang asing lagi baginya. Namun entah
kenapa berhadapan dengan sosok seorang perempuan yang tampil begitu elegan di
hadapannya seperti Febrina tak urung membuat hatinya sedikit bergetar juga.
Dengan menyunggingkan senyum Cokek berusaha untuk tetap menguasai keadaan.
“Febrina.” Perempuan itu menjawab.
Suaranya yang sedikit mendesah terdengar begitu sensual di telinga Cokek hingga
membuatnya sedikit menahan nafas. Selepas itu diam. Cokek mencoba mengalihkan
getaran the first shock of shaking hand dengan
memandang sekilas ke arah gaun penuh renda-renda yang membalut tubuh putih
Febrina. Mawar merah di atas…..
“Ini pesta yang sungguh-sungguh
meriah!” Ucap William tiba-tiba.
“Betul, tunggu apalagi? Kamu sudah
menyiapkan pasangan untuk kita dansa khan, Bill?” Tanya Om Surya kepada William.
“Masa saya disuruh yang begituan. Tapi
buat kamu pasti ada, Surya.” Jawab William sambil mengerdipkan sebelah matanya.
“Febrina?!”
“Kamu mau minta perusahaan kamu
dilikuidasi ya? Hahaha….!” William tertawa terbahak-bahak.
”Kalau begitu biar Cokek saja yang
nemenin.” Cokek ingin angkat bicara, namun sebelum ia sempat mengeluarkan
kata-kata Om Surya telah berbisik ke telinganya.
“Ssstt……kalau
bisa kamu tempel terus Febrina. Walau perempuan dia itu pemegang otorita
pendayagunaan BUMN di negeri ini.”
Ups!
Wajah Cokek tiba-tiba
sedikit menegang. Mendadak ia merasa tak ubahnya anak kecil yang masih saja
harus dijelaskan segala sesuatunya sebelum mengambil langkah. Beruntung suasana
pesta pada malam itu sangatlah meriah, hingga ia bisa menyembunyikan kejengahan
yang terpancar di wajahnya.
“Iya lah Om, kita lihat saja nanti.”
Jawabnya pendek.
Om Surya dan William sama-sama
tertawa. Keduanya kemudian berjalan menuju ruang yang ada di sebelahnya bersama
Dino. Sementara pesta terus berlanjut. Musik dalam ruangan kian menyalak-nyalak
dan membahana.
“Pestanya sangat ramai.” Cokek membuka
percakapan setelah ia dan Febrina tinggal berhadap-hadapan berdua.
“Iya.” Jawab Febrina.
“Anda tampak sangat cantik eh….maksud
saya sangat serasi dengan pakaian yang anda kenakan.” Cokek merasa sedikit
kelepasan omong, dan nyaris ia menyalahkan kelakuan mulutnya sendiri.
“Tidak usah pake formil-formilan lah,
nggak perlu pake anda atau saya segala. Bilang saja aku, atau kamu.” Ucap
Febrina, nampaknya serius. Ia tersenyum ke arah Cokek yang tampak merasa
bersalah telah memberikan sedikit komentar yang kebablasan dalam pertemuan
mereka yang masih sangat dini.
“Ini……” Tatapan mata Cokek menyelidik.
“Kita jadi berteman tidak?” Febrina
justru balik bertanya.
“Baiklah, kalau itu mau kamu.”
Akhirnya Cokek sedikit bernafas lega. Sebuah beban yang sangat berat sepertinya
telah lenyap begitu saja.
“Kamu datang ke sini sendirian atau…?”
Cokek mencoba sedikit lebih berani.
“Sama teman sih, tapi tujuannya ya
sendiri-sendiri.” Jawab Febrina.
“Tidak sama someone?”
“Tidak.”
“Punya pacar?”
“Tidak.”
“Pernah punya pacar?”
“Pernah.”
“Lantas?”
“Ia mengalami kecelakaan di laut.”
“Maaf.” Kali ini Cokek betul-betul
merasa bersalah. Ia mengatupkan kedua telapak tangannya di wajah.
“Tidak apa-apa. Itu sudah cukup lama.”
Kata-kata yang keluar dari bibir Febrina terasa sedikit bergetar. Selebihnya
sunyi. Masing-masing mencoba menerka isi hati, masing-masing mencoba untuk
menjaga diri.
“Jadi…sampai sekarang masih sendiri?”
Cokek kembali membuka percakapan.
“Iya.”
“Belum punya pacar?”
“Belum.” Jawab Febrina lirih. Suaranya
lebih menyerupai bisikan. Ia menatap ke arah Cokek dan memperhatikan pemuda
berambut ikal yang terlihat tampan dengan jas warna abu-abu dan celana panjang
casualnya itu. Selebihnya kembali sunyi. Masing-masing mencoba menjajagi
perasaan hati, masing-masing mencoba bertahan untuk tidak mendahului.
Pesta terus berlanjut. Kian mendekati
saat pergantian tahun jumlah para pengunjung kian membludak. Dalam sekejap
pengunjung yang berdatangan kian bertambah dan berlipat ganda meliputi berbagai
macam usia. Gelas-gelas minuman pun tergeletak di mana-mana karena para
pelayannya pun ternyata ikut larut dan mabuk terhanyutkan pesta.
Semua orang
bersuka ria dan suasana pesta menjadi cenderung berubah mengerikan. Seorang
perempuan muda dengan rambut disemir warna magenta mencoba berdiri di atas meja
dan mencoba menari-nari di sana. Namun tubuhnya yang agak subur terlihat oleng,
entah karena mabuk atau karena saking gembiranya. Ia segera terjatuh dalam
pelukan seorang laki-laki yang barangkali kekasih atau teman kencannya.
“Lalu…?” Cokek memandang ke arah
Febrina.
“Ada apa?” Jawab Febrina tidak
mengerti.
“Sampai kapan kita akan menunggu?”
Tanya Cokek.
“Menunggu?!” Balas Febrina tetap belum
paham.
“Iya, sampai kapan kita akan
menunggu?”
“Aku tidak mengerti maksud kamu?”
“Aku ingin mengajakmu berdansa.” Cokek
menatap tajam ke arah Febrina yang tiba-tiba saja pipinya jadi berubah
kemerahan.
“Apakah kamu…?” Cokek berhenti
bertanya. Ia menunggu reaksi dari Febrina. Udara dalam ruangan itu kian terasa hangat,
namun Febrina belum juga menjawab.
“Atau kamu….ahh maafkan aku.” Cokek
menunduk. Ia meniupkan udara melalui mulutnya ke arah samping.
“Tidak, tidak apa-apa. Aku cuma tidak
pandai berdansa.” Akhirnya Febrina bersuara.
“Hahaha….!”
“Kenapa tertawa?”
“Aku juga tidak pandai berdansa.”
“Lalu?!”
“So
what, mana ada urus, mari kita
belajar berdansa bersama.” Ujar Cokek sambil tertawa. Ia segera merengkuh
sebelah tangan Febrina yang membiarkan saja dirinya dibimbing Cokek memasuki
arena yang penuh sesak dengan para pedansa.
Dengan riangnya Cokek segera menarik
kedua tangan Febrina untuk ikut menari-nari mengikuti irama. Sepertinya itu
adalah tarian dari sepasang pedansa amatir yang terlihat paling gila-gilaan dan
merupakan hal terlucu sepanjang hidup mereka, baik bagi Cokek maupun Febrina.
Namun tak ada yang peduli. Semua orang larut dalam kegembiraannya
masing-masing. Orang-orang mengangkat toast,
orang-orang yang lapar dan haus akan hiburan yang bebas dan seadanya.
Cokek menggenggam tangan kiri Febrina
dengan tangan kanannya, sementara tangan yang satunya lagi menempel lekat di
punggung Febrina, begitu pun sebaliknya. Romance
d’Amours, Cokek merasakan udara yang terhirup di antara bulir-bulir halus
rambut Febrina menyeruak hidung begitu harumnya. Ia merasakan satu eksotika
yang tandas mengalir dari jari jemari Febrina yang tajam menancap di
punggungnya.
“I’m
goin’ down!” Cokek
melenguh. Ia merutuki hasratnya sendiri yang gampang tersulut ledakan-ledakan
gairah yang memancar dari kehangatan tubuh Febrina hanya dalam sekejapan mata.
***
bersambung........
___________________________________________________________
COKEK©Gusblero, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar