JATI DIRI
Susan
Wong masuk ke sebuah taksi. Bagian dalam taksi itu berbau wangi, namun
samar-samar tercium juga bau apek keringat. Susan Wong mengeluarkan saputangan
dari dalam tas kecilnya. Ia nampak mengucek-ucek matanya lalu mengarahkan
pandangannya ke luar jendela. Bunga-bunga terompet terlihat merah menyala di
beberapa ruas pembatas jalan raya. Rumput-rumputan dan pepohonan hijau berjajar
rapi dengan eloknya, namun cuma sebagai penghias jalan raya. Kota besar yang
aneh.
“Mau
kemana?” Tanya sopir taksi itu, orangnya sudah agak tua. Penampilannya seperti
pelawak ibukota yang beken dengan lagaknya yang suka kebolot-bolotan.
“Surya
Inc.”
“Ok.
Jalan biasa atau by pass?” Tanya
sopir itu lagi sambil memindai versnelling.
“Ihh, Bapak. Bukannya itu salah satu service para sopir taksi?” Jawab Susan
balik bertanya.
“Hahaha…..!
Namanya juga coba-coba ngelaba. Mbak.”
“Iya
sih. Tapi mana bisa ngelaba sama orang yang baru mau nyari pekerjaan.”
“Mbak
baru di Jakarta?” Ia mencoba beramah-ramah lagi kepada Susan.
“Enggak
juga sih. Dulu sempat kerja, tapi nganggur lagi. Belum juga ada satu tahun
perusahaan tempat saya kerja sudah gulung tikar.”
“Krismon?”
“Bukan.
Krisman.”
“Krisman?!”
“Iya.
Krisis Manusia. Habis kena demo sih.”
“Hahaha…..!
Rata-rata begitu, Mbak.”
“Semoga
saja yang kali ini tidak, Pak.”
“Bapak
ikut berdoa lah. Jadi Mbak ini mau ngelamar pekerjaan?”
“Interview.”
“Yeah, semoga berhasil ya.”
“Terima
kasih, Pak.”
Susan
melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam delapan
pagi lewat empat puluh menit. Kemarin pagi Leoni telah mengabari Susan melalui telepon bahwa Big Boss of Surya Inc ingin bertemu dengannya. Big Boss. Bukan sekadar Pak Willy yang seharusnya menjadi palang
pintu bagian personalia penerimaan pegawai baru. Leoni bilang Susan harus siap
menghadap di kantor Mr. CK pagi ini sambil mempersiapkan segala sesuatunya.
Fuihh! Susan
mendengus. Dengan cara apapun aku harus
mendapatkan pekerjaan ini. Ia bersumpah. Ia tidak akan mengecewakan bantuan
sahabatnya itu, meski ia pun menyadari kemungkinan lain bahwa ia pasti akan
menghadapi interview yang bisa saja tidak mudah, sedikit alot, dan
bertele-tele. Ia tidak peduli. Sudah tiba pada saatnya ia harus bisa menentukan
jati diri, bahwa kehormatan seorang manusia di jaman ini diukur dengan reputasi
dan buah dari pekerjaannya.
Dua
kilometer sebelum nanti akan segera terlihat sebuah gedung tinggi dengan
tulisan Surya Inc mencolok di atasnya Susan merasa jantungnya sedikit
berdebar-debar. Bagaimana pun ia tidak bisa mengenyahkan begitu saja komentar
Leoni perihal bosnya yang konon sangat jantan. Susan tersenyum. Bayangan wajah
Leoni yang culun seakan melintas di
matanya.
Leoni
adalah sobat karib, sahabat yang lebih dari sekadar seorang sahabat. Ia
mengenal Leoni semenjak menjadi kakak kelas semasa kuliah dulu. Sophisticated, ia adalah seorang sahabat
yang banyak mengajarinya tentang tata cara berpenampilan yang up to date.
“Sejak
semester pertama kuliahku aku sudah bekerja paro waktu.” Begitu Leoni pernah
bercerita. Saat itu Susan baru menempati tempat indekostnya yang baru, awal ia
bertemu Leoni.
“Aku
menjaga satu rental komputer bergantian dengan salah seorang temanku.”
Lanjutnya lagi.
“Ibuku
ingin aku mulai bisa menabung sendiri untuk membiayai kuliahku. Menurutnya itu
akan lebih baik daripada sekedar menunggu kiriman uang dari ayahku yang kadang
tidak selalu bisa dijagakan.” Leoni yang baik. Ia selalu banyak memberikan
pengertian tentang hidup sembari mengunyah permen karet di mulutnya.
“Aku
pikir sih memang sebaiknya begitu. Sekaligus untuk memupuk rasa
tanggung-jawabku.” Ia bergerak ke sudut kamar. Kamar kost yang cukup mewah
untuk ukuran seorang mahasiswi. Ukurannya tiga kali empat meter persegi, dengan
sebuah televisi empat belas inchi di dalamnya. Sambil merebahkan badannya Leoni
menyalakan televisi dengan remote control
yang dipegangnya.
“Untung
saja hari ini tidak ada demo.” Tiba-tiba sopir taksi berbicara.
“Eh…iya,
Pak.” Jawab Susan agak menggeragap. Sungguh
memalukan, ia berkata pada dirinya sendiri, sepagi ini sudah melamun.
Dengan menggeserkan sedikit badannya Susan mencoba mencuri kesempatan untuk
bercermin melalui kaca spion yang terletak di atas kepala sopir.
Jakarta,
meski hari masih pagi namun panasnya sungguh minta ampun. Syukurlah AC di dalam
taksi bisa berfungsi dengan sempurna, hingga Susan tidak perlu khawatir saat
wawancara nanti ia akan tampil dengan keringat yang basah kuyup membasahi
sekujur tubuhnya.
“Dengan
segala kebebasan yang aku miliki bisa saja aku merasa free untuk melakukan apapun yang aku suka. Namun semua tidak bisa
begitu. Ini juga penting buat kamu, Susan. Banyak komentar orang berbicara
minor tentang mahasiswi-mahasiswi yang hidup di kota besar. Mangkanya kamu juga
harus hati-hati.” Leoni terus saja nyerocos bercerita panjang lebar. Kalau
ditilik usianya yang cuma beda sedikit dengannya, Susan jadi tertawa cekikikan
membanding-bandingkan semua omongan Leoni dengan kata-kata ibunya acapkali
memberikan nasehat kepadanya.
“Kenapa
kamu tertawa?” Tanya Leoni kepada Susan.
“Habis
kamu mirip ibu aku sih. Hahaha……!” Jawab Susan tambah ngakak.
“Sialan!”
“Iya
memang begitu kok.” Lanjut Susan lagi.
“Kalau
penginnya cuma sekedar having fun sih
sebenarnya banyak sekali kesempatan.” Leoni mencongkel bantal guling yang ada
di sudut tempat tidur dengan kakinya. Ia memandang ke arah langit-langit kamar.
“Ada
pesta semi formal antara mahasiswa, baik yang yunior maupun senior. Biasanya
sih pengikutnya terbatas hanya untuk mereka-mereka yang sudah masuk dalam satu
club. Aku juga pernah ikutan. Sebenarnya asyik juga sih, cuma lama-lama bosan.
Acaranya itu-itu juga.” Leoni melirik ke arah Susan yang hanya diam menyimak seluruh
ceritanya. Sementara di beranda angin terlihat sedikit memporak-porandakan
tanaman bunga. Nampaknya hujan segera tiba. Susan mendesah.
Kenyataan
bahwa sejauh ini hidupnya selalu dalam pantauan dan pendiktean dari keluarga
dan familinya, rasa-rasanya apa pun petualangan yang telah dialami Leoni terasa
lebih baik. Membayangkan kondisi dirinya saat itu yang begitu lugu dan
terbatasnya dalam pergaulan sehari-hari membuat wajah Susan tak terasa memerah
sedikit malu. Dalam hati ia merasa begitu beruntungnya ia saat ini memiliki
seorang sahabat seperti Leoni yang tidak sungkan-sungkan untuk diminta berbagi
pengalaman.
***
Cokek memarkir
mobilnya tepat di samping parkiran hotel. Dengan cekatan ia melangkah keluar
pintu memutari depan mobil lalu bergerak ke samping membukakan pintu yang ada
di sebelahnya.
“Semoga
kamu tidak bosan melakukannya.” Om Surya berkata sembari tersenyum. Ia
memandang sejenak ke arah Cokek sebelum kakinya benar-benar keluar dari mobil.
“Pu khe chi. Tidak apa-apa, Om.” Jawab Cokek.
Om
Surya adalah ayah dari Salim, teman Cokek semasa sekolah dulu. Ia adalah
pemilik Publicity Agent PT. Surya.
Beruntung bagi Cokek, Willy dan Hendra, pertemanan semasa sekolah bersama Salim
dulu bisa menolong keberadaan mereka di Jakarta. Tanpa adanya seorang teman
seperti Salim di Jakarta, entah apa jadinya nasib Cokek. Pada hari ketiga masa
luntang-lantungnya di kota metropolis ini saja Cokek sudah menghadapi berbagai
peristiwa yang tidak mengenakkan.
“Apakah
kamu Cina?” Tanya seorang laki-laki berpenampilan sangar di depan sebuah gang
tatkala Cokek bertiga tengah berusaha mencari alamat Salim.
“Saya
orang Indonesia.” Jawab Cokek dengan sopan.
“Tapi
kamu Cina khan?” Tanya laki-laki itu lagi. Melihat dari sipit-sipitnya,
sebetulnya Cokek tidak sangsi lagi bahwa laki-laki yang mencegatnya kali ini
sebetulnya juga orang Cina.
“Saya
orang Jawa.” Jawab Cokek tidak kurang tegasnya. Ia tidak merasa ada yang salah
dengan jawabannya. Walau pun ia memang mempunyai darah keturunan dari Cina,
namun ia enggan mengakuinya, apalagi ketika kemudian ia mengetahui laki-laki
yang telah menghamili ibunya itu tidak mau menunjukkan tanggung-jawabnya
sedikitpun.
“Kamu
seperti orang Cina.” Laki-laki itu mendengus, namun tak lama kemudian pergi
meninggalkan tempat itu dengan langkah sedikit sempoyongan.
“Dasar
Cina mabuk.” Ujar Cokek sambil membenahi tasnya.
Begitulah
perbedaan etnis kadangkala menjadi sesuatu yang krusial dalam perilaku hidup
kemasyarakatan di Jakarta. Walau pun itu tidak murni betul, karena
gesekan-gesekan yang kemudian meletup menjadi satu konflik horizontal tidak
menutup kemungkinan pada awalnya justru dipantik oleh sekawanan kelompok sesama
etnis yang kebetulan saling mempunyai muatan kepentingan yang sama di dalam memperebutkan
lahan atau wilayah perekonomian.
“Nampaknya
kamu suka sekali dengan pesta ya?” Tanya Om Surya sebelum keduanya melangkah.
Mendengar perkataan Om Surya, Cokek hanya tersenyum. Hidup yang sungguh
menyenangkan, baru juga tujuh bulan hidup di Jakarta sudah memiliki jabatan.
Cokek saat ini menjadi asisten unit produksi, Willy membantu di bidang
property, dan Hendra menjadi fotografer agen Surya. Keajaiban hidup yang
sepertinya tak gampang ditukar dengan nilai apapun. Barangkali itu pulalah yang
menyebabkan Cokek menaruh rasa hormat yang sangat mendalam terhadap Om Surya
yang usianya telah menginjak kepala tujuh. Sementara itu Salim putra Om Surya
sendiri tengah sibuk menekuni pendidikan yang lebih tinggi lagi di Amerika.
Jakarta
di malam pergantian tahun. Sejenak keduanya berdiri di muka pintu hotel. Om
Surya membetulkan letak jas, Cokek memperhatikannya sekejap. Keduanya lantas
saling memandang, lalu tertawa. Wajah keduanya nampak riang ketika berjalan
memasuki pintu hotel.
bersambung........
___________________________________________________________
COKEK©Gusblero, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar