just ordinary people's blogs

You can take any content from here, quite simply by including the source...
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 Oktober 2011

BUMI MAKIN PANAS

Peninggalan kaum 'Aad dan Tsamud. Dengan sejarah 2000 tahun, kaum ‘Aad dan Tsamud membangun sebuah kerajaan dengan bangsa Arab lainnya. Di Yordania, masih dapat dilihat contoh terbaik dari pahatan batu bangsa-bangsa ini. Di dalam Al Quran, kaum-kaum itu juga disebutkan dengan keahlian mereka memahat batu..

BERHALA KESOMBONGAN   I   Gusblero

Hari ini sebagai bangsa kita kembali diuji. Bukan oleh tantangan dari  luar berupa musuh yang menyerang, atau turunnya balapetaka yang tak terduga, namun oleh kesombongan diri kita sendiri yang kemudian tumbuh menyerupai berhala.

Wakil Rakyat membangun gedung, itu judul aslinya. Hal yang harusnya membuat kita bangga karena bisa membikin orang yang kian betah dan nyaman baik dalam kita bekerja maupun rehat ini, entah kenapa kemudian membuat saya sebagai satu dari bagian bangsa Indonesia ini merasa tersinggung dan sangat terhina.

Orang membangun rumah, orang membangun gedung, adalah hal yang lumrah dan sesungguhnya juga boleh-boleh saja. Namun hal yang perlu diingat juga dunia adalah jagat makro yang secara spiritual harus memenuhi unsur keseimbangan sosial. Lalu bagaimana mungkin mereka yang menjadi umaro atau pemimpin dari bangsa kita ini justru lebih mengedepankan ambisi mendapatkan layanan yang lebih kepenak lebih greng dan lebih nyaman, diketika sementara masyarakat korban merapi belum lagi bisa mendirikan bangunan rumah sederhana secara tegak guna melindungi anak-anak mereka dan para lansia dalam menghadapi terpaan angina dan terjangan hujan, misalnya.

Sekali lagi orang membangun rumah atau gedung adalah juga hak. Namun ingatlah BAHKAN DENGAN BIAYA SENDIRI BANYAK KAUM DIMASA YANG JAUH KEMUDIAN DIBINASAKAN OLEH ALLAH KARENA PERILAKU HIDUP BERMEWAH-MEWAHAN DAN KESOMBONGANNYA? Apalagi ini.....uang rakyat?

Bagi ahli sejarah, sisa-sisa Pompei merupakan kesaksian yang mengguncang dari penyelewengan susila yang pernah berlaku di sana. Bahkan jalan-jalan raya kota Pompei, lambang kemerosotan moral dari Kekaisaran Romawi, menunjukkan kesenangan dan kenikmatan yang diperturutkan oleh kota ini..
 Hancurnya bangsa Sumeria, kaum ‘Aad, Tsamud, bangsa Pompei dan Mino, barangkali bisa menjadi sekian dari banyak contoh. Tidakkah kita bisa mengambil pelajaran?

Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. (QS. Qaaf, : 36-37)

Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan. (QS. Al A'raaf, 7: 74)

Dan lalu bagaimanakah sebenarnya tanggung jawab orang-orang pada sebuah negeri? Orang kuat, konon, orang yang bisa mendermakan harta kekayaannya untuk terciptanya keadilan sosial dan kemakmuran di sekelilingnya. Di tingkatan bawahnya adalah orang yang senang mendarma baktikan tenaga dan fikirannya untuk kemaslahatan bersama. Dan yang ketiga, ini yang terlemah, adalah orang yang membantu apa-apa yang diupayakan tingkatan pertama dan kedua itu dengan doanya. Pun begitu, meski pun doa ini merupakan yang terlemah diantara ketiganya, ia adalah pedangnya kaum beriman. Sik ora biso mbanda yo urun tenaga, sik ora iso mbanda ora iso urun tenaga yo urun saran lan pendonga.

Bentuk dari banyak korban Pompei yang memilukan terpelihara sebagai peringatan bagi generasi-generasi setelahnya..
Maka disinilah peran kita sebagai bangsa saat ini tengah diuji. Akankah kita membiarkan kesombongan serupa berhala itu tetap terjadi, dan kita melupakan kebutuhan lain yang lebih urgensi, atau kita bersegera tersadar dan lalu mengevaluasi kembali dan menyusun ulang segala hal yang perlu kita kedepankan untuk kejayaan bangsa dimasa mendatang. Jangan sampai bangsa yang kita niatkan akan menjadi besar dan menjadi mercu suar dunia dari sisi peradaban kebudayaan ini justru kemudian menjadi hancur karena ulah kita sendiri yang enggan saling mengingatkan.

Ketika Monas dibangun, ketika Istiqlal dibangun, ketika Kathedral dibangun, semua itu ada alasannya. Sebuah spirit yang bisa memberikan kebanggaan kita sebagai bangsa. Namun gedung DPR super megah seperti yang sekarang lagi direncanakan? Mohon maaf saya lebih menilainya sebagai berhala kesombongan yang layak untuk dihancurkan.

Alasan pembangunan gedung ini untuk kebutuhan yang bisa bertahan 30 sampai empat puluh tahun ke depan adalah alasan yang tidak mendasar. Bagaimana mungkin kita akan bisa nyaman menikmati warisan gedung seperti itu, sementara sumber daya anak bangsa sebagai fundamen ke depan berada dalam titik nadir peradaban? Orang-orang kehilangan mata pencaharian karena bencana. Orang-orang berkurang lahan karena mesin-mesin telah memenuhi industri. Lalu pendidikan menjadi mahal karena merasa bisa mencetak tenaga siap pakai, akibatnya bahkan orang-orang dikalangan bawah yang berniat menyekolahkan anaknya agar tak ketinggalan dari menulis dan membaca saja menjadi tak mampu menopang biaya.

Kemiskinan masih menjadi sumber ancaman utama runtuhnya sebuah bangsa. Dan wakil rakyat yang dibatasi masa jabatan selama lima tahun berupaya memanfaatkan waktu yang ada untuk menggelontor apapun keinginannya. Ini adalah perjuangan melawan lupa, bagaimana ditiap peristiwa bencana ketika masih sering kalang kabut karena kekurangan dana alokasi penanggulan bencana.

Ratu Puabi boleh jadi telah dikuburkan bersama kekayaan yang tak terhitung, namun itu tidak menyelamatkan jasadnya dari kehancuran hingga tinggal kerangka...

Dan begitulah kali ini leadership seorang pemimpin juga diuji. Selain terhadap Negara, pada sisi spiritual dirinya hendaknya juga ia memantapkan dan melegitimasi keinginannya: "Ya Allah, kalau Engkau meridhai saya membangun gedung ini, berilah saya jalan. Tapi bila engkau tidak ridha, jauhkanlah saya darinya."

Pun itu tak mudah. Karena musuh terbesar dari seorang manusia pada dasarnya adalah bayang-bayangnya sendiri, ketakutannya sendiri, yang terkadang menampak lebih besar dari keberadaannya sendiri. Di sini kita bisa belajar dari kearifan Silaban, seorang Kristen Protestan yang mengarsiteki pembangunan Masjid Istiqlal, tempat peribadatan utama dari sebuah bangsa bernama Indonesia dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia. "Oh, Tuhan! Kalau di MataMu itu benar, saya sebagai pengikut Yesus turut dalam sayembara pembuatan Mesjid Besar buat Indonesia di Jakarta. Tolonglah saya! Tunjukkan semua jalan-jalannya dan ide-idenya, supaya saya sukses. Akan tetapi Tuhan! kalau di MataMu itu tidak benar, tidak suka Tuhan saya turut maka gagalkanlah semua usaha saya. Bikin saya sakit atau macam-macam hingga saya tak dapat turut dalam sayembara", begitu doa Silaban minta petunjuk Tuhan.

Ya, Silaban. Dalam episode yang kali ini, dimasa yang jauh,  ia sungguh menjadi wakil rakyat saya yang sesungguhnya yang meneguhkan kekuatan diri saya sebagai seorang manusia...


NB: Seorang pemimpin hendaknya jangan abai terhadap situasi kronis dalam negeri, dan justru memprovokasi masyarakat untuk bertindak ‘mumpung’ dalam segala situasi yang ada. Sesudah kasus ‘yang tidak menjadi kasus’ pengadaan laptop "ajaib" seharga Rp 25 juta, biaya sebesar 1,8 triliun rupiah jelas bukan angka kecil untuk membangun gedung dengan 36 lantai. Biaya yang disebut-sebut mampu untuk mendirikan 30 ribuan bangunan sekolah dasar di negeri ini secara layak, dan juga menanggulangi pekerjaan rumah persoalan sosial yang masih banyak di negeri ini.

Jakarta, 31 Maret 2011

BUMI MAKIN PANAS

HANYA KARENA MEREKA TAK SEBERUNTUNG KITA?   
  Gusblero

Masih belajar untuk memahami perilaku wakil rakyat indonesia sekarang ini, bagaimana sebenarnya mereka melakukannya?

1.    Sebagai ilustrasi awal silakan simak REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Pimpinan dan anggota DPR RI dilarang ke pelacuran dan perjudian. Namun, mereka baru diperbolehkan ke tempat pelacuran dan perjudian untuk kepentingan tugas resmi sebagai anggota DPR. Itulah salah satu peraturan dalam  kode etik yang disetujui dalam rapat paripurna DPR RI di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Selasa (29/3). Tugas dinas apaaa???

2.    Sementara banyak nasib rakyat sekarat dan  terancam  masa depannya, DPR malah ngotot membangun gedung mewah. Klo yang ini mah udah jelas, ya untuk bermewah-mewahan! Mungkin untuk mewujudkan ruang privasi yg nyaman agar kondom tidak tercecer di mana-mana (spt dikisahkan om Radhar Panca dahana di Metro TV), nonton video bokep di ruang spa, dan membargaining konstituen di ranjang aspirasi libidonya??? Auk ah elap...itu baina-baina. Yang jg sulit dipahami adalah bagaimana kemudian anggaran pembangunan gedung itu bisa drop dari angka 1,8 triliun lalu jadi 1,2 triliun begitu saja, padahal dg maket pembangunan yg sama. 600 miliar itu trus tadinya buat apaaa???

Mungkin banyak anggota dewan kemudian tahu dan lalu cemburu, bahwa ternyata dr rangkaian kasus pajak sj sudah begitu banyaknya ternyata duit negara dikorup, lalu mereka latah dan harus mendapat bagiannya. So, mereka melakukan penggarongan terselubung? Lhah kalo emang begitu, kenapa tidak kita melakukan penggarongan itu bersam-sama saja? Ato mungkin ada baiknya negara ini kita jual sepenuhnya saja kepada siapa penawar tertinggi, lalu kita sama-sama pindah dan hidup di luar negeri???

Ada suatu masa ketika moral dianggap sebagai sebentuk kitab tak tertulis, mediasi bagi proses inisiasi manusia menuju pencerahan akan hidup yg lebih baik...ada masa ketika pamali dan tabu yang tumbuh sbg traktat justru kemudian lebih menyelamatkan dlm segala relasi sosial yg ada, ketimbang hukum yg penuh dg sanksi dan diwarnai jual beli....pada sesi ini kita melihat moral masih berdiri dengan karakternya yang kuat dan benar-benar menolak dosa....bahwa kejahatan thd nilai-nilai moral adalah juga kejahatan terhadap Tuhan...

Tapi itu duluuuu. Dan hari ini di dunia yg sama....dalam kurun jauh yg sungguh berbeda kita menganggap semua kejadian2 itu...seluruh kisah2 moralistik itu...tetap berdiri hanya sebagaimana bentuknya kisah yg tak meninggalkan pelajaran apa-apa....

Dan yang paling ironis, kita melakukannya dengan pemikiran bahwa hal itu tak membuat dampak apapun terhadap hidup, karena kita tak selamanya melakukannya. Padahal, entah selamanya ataupun tidak, kita tetap melakukannya. Seperti dalam kitab kebaikan tertulis “BARANGSIAPA SETIA DALAM PERKARA-PERKARA KECIL, IA JUGA SETIA DALAM PERKARA-PERKARA BESAR. DAN BARANGSIAPA TIDAK BENAR DALAM PERKARA-PERKARA KECIL, IA TIDAK BENAR JUGA DALAM PERKARA-PERKARA BESAR...” (Lukas 16:10)

So, semenit atau bertahun-tahun bukanlah alasan kita untuk melakukan dosa. Dan sangat berdampak pada masa depan dan panggilan kita, karena Tuhan takkan mempercayakan suatu perkara yang besar, jika menjaga kekudusan atas diri kita saja tak bisa kita lakukan....

Sy teringat kasus Anis Matta. Lalu isu itu belum juga reda muncul kelakuan parno Arifinto dalam sidang, yg kemudian secara jitu oleh Metro TV diberi tajuk Sidang Pariporno. Lalu bagaimana sy bisa percaya ato tidak percaya. Dalam Matius 6:22-23, “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu;  jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.” Jelas sekali menyebutkan bahwa terang atau gelap hidup kita bergantung pada apa yang kita lihat, jika kita melihat setumpuk dosa tak akan ada masa depan untuk kita. (mohon maaf meski sy muslim, namun sy merasa lebih nyaman menggunakan ayat-ayat ini utk membandingkan hukum causa).

Banyak kesalahan sudah yg dilakukan para anggota dewan, pun begitu mereka tetap arogan, dan menganggap kritikan hanya sebatas ketidaksamaan kedudukan dg mereka yg sekarang : MEREKA HANYA TAK SEBERUNTUNG KITA???

Ya. Banyak memang kelas masyarakat tak beruntung di negeri ini. Mereka yg menyuarakan pendapat dianggap menghambat program, mereka yang mengingatkan satu dan lain hal dianggap hanya refleksi kecemburuan. Hingga mengingatkan anggota DPR yang sekarang itu ibarat menambal selembar kertas usang yang sudah rusak dan layak dibuang. Mo direkatkan bagaimana, mo ditambal bagaimana....lagi????

Vox populi vox dei? Taik kucing! Mereka yang berkuasa justru kini lebih memilih memegahkan diri...maaf!!!

 _________________________________________________________________
* 9 April 2011, ditulis dipagi hari saat wajah presiden sudah hilang sama-sekali dari layar tivi....

Senin, 03 Oktober 2011

WALANGSUNGSANG

Dalam kitab Tantu Pagelaran disebutkan pada mulanya pulau Jawa tidak berpenghuni dan dalam keadaan khaotis, karena pulau Jawa selalu bergoncang (bandingkan dengan batu apung yang bergoncang di atas permukaan air). Oleh karena itu, pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapnya, sehingga tidak bergoncang lagi. Gunung tempat Batara Guru mengatur keadaan yang khaotis ini adalah Gunung Dihyang (Gunung Dieng).

Proses pengaturannya berjalan sebagai berikut: para Dewa mengangkat puncak gunung Mahameru (Gunung Semeru) dari India dan ditempatkan di sebelah barat pulau Jawa. Namun yang terjadi adalah, bahwa pulau Jawa terjungkit dan sebelah timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh karena itu para dewa memindahkannya ke sebelah timur, tetapi dalam perjalanan pemindahan gunung itu ke sebelah timur, gunung tersebut berceceran di sepanjang jalan, sehingga terjadilah gunung Lawu, Wilis, Kelud, Kawi, Arjuna, Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi.

Tahun 1423 Masehi di keraton Pajajaran lahirlah Walangsungsang. Ia adalah putra dari Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Prabu Siliwangi) Raja Pajajaran IX dengan Nyi Mas Subanglarang atau Subang Rencanakan, putri dari Ki Gedeng Tapa Mangkubumi Singapura atau Martasinga. Ia juga mempunyai adik yang bernama Rara Santang dan Rajasangara.

Sang Pamanah Rasa mempersunting Nyi Mas Subanglarang setelah terlebih dahulu mengalahkan Raja Sakti Mandraguna dari wilayah Cirebon, yakni Amuk Murugul. Dengan demikian, baik dari Silsilah ibu maupun ayah, Walangsungsang masih keturunan Niskala Wastukancana. Lengkapnya Pangeran Walangsungsang bin Prabu Siliwangi bin Raja Mundingkawati bin Angga Larang bin Banyak Wangi bin Banyak Larang bin Susuk Tunggal bin Wastu Kencana bin Lingga bin Linggahiang bin Ratu Sari Purba bin Raja Ciung Wanara. Dan sebelum menikah dengan Nyi Subanglarang Sang Pamanahrasa telah beristrikan Kentring Manik Mayangsunda, serta memperoleh putra bernama Surawisesa.

Subanglarang sebelum dipersunting Sang Pamanahrasa terlebih dahulu telah memeluk agama Islam. Ia pun alumnus dari Pesantren Quro Kerawang yang didirikan oleh Syeikh Maulana Hasanuddin bin Yusuf Sidiq Al Sinni. Menjadi tidak mengherankan jika putra-putrinya memeluk agama Islam dan direstui oleh Sang Pamanahrasa.

Bahwa memang ada cerita tentang keluarnya ketiga bersaudara tersebut keluar lingkungan istana Pakuan disebabkan ada perselisihan tahta antara Subanglarang dengan Kentring Manik Mayangsunda. Namun ada pula yang menceritakan bahwa keluarnya Walangsungsang dari lingkungan Pakuan bersama adiknya, Nyi Mas Rarasantang dilakukan dengan seijin ayahnya, sedangkan Rajasangara tetap berada dilingkungan Pakuan. Untuk kemudian tahta Pajajaran diteruskan oleh Surawisesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Bahkan ketika masih menjadi Prabu Anom Surawisesa, pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis (1512 M) disebut-sebut perjanjian ini merupakan kali pertama yang didokumentasikan dengan baik.

Walangsungsang bersama adik-adiknya meminta izin kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan Singapura (Cirebon). Alasan Walangsungsang dan adik-adiknya yang utama dikemukakan secara terus terang kepada ayahnya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya, merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putera-puteri Maharaja. Mereka merasa haus akan ilmu pengetahuan, terutama dibidang keagamaan. Ketika ibunya masih hidup, mereka ada yang membimbing, tetapi ketika ibunya telah wafat, di Pakuan tidak ada orang yang bisa dijadikan guru mereka. Tidak Ada lagi penenang batin yang memadai bagi mereka.

Sri Baduga Maharaja, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan mertuanya (Prabu Susuktunggal) masih dibawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat maklum atas keinginan ketiga puterinya itu. Dengan berat hati ia hanya mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara dimohon tetap tinggal di Pakuan.

Tentang Rajasangara ini mungkin pada suatu waktu menimbulkan penafsiran yang berbeda, terutama ketika ia diindetifikasi sebagai Kiansantang. Padahal nama Rajasangara sangat jarang disebut sebut dalam sejarah lisan dan kalah tenar dibandingkan dengan Kiansantang. Namun sangat sulit mencari sejarah yang ditulis resmi tentang Kiansantang. Catatan lain Rajasangara ini setelah wafatnya kemudian dikebumikan di daerah Godog – Garut.


Walangsungsang setelah sampai di Cirebon, kemudian ia pergi menuju Gunung Dihyang di Padepokan Ki Danuwarsih, masuk wilayah Parahiyangan Bang Wetan. Ki Danuwarsih adalah seorang Pendeta Budha yang menjadi penasehat Keraton Galuh, ketika Ibukota Pemerintah masih di Karang Kamulyan Ciamis. Sulit dibayangkan bagaimana keteguhan Sang Pangeran yang muslim, berguru kepada seorang Pendeta yang secara lahiriah masih beragama Budha.

Mungkin saja secara hakiki sang Danuwarsih sudah Islam meskipun tingkah lakunya masih Hindu-Budha. Tetapi yang Jelas kedatangan Putra Sulung Prabu Siliwangi di Padepokan Gunung Dihyang disambut suka cita oleh pendeta Danuwarsih. Dan untuk menyempurnakan kegembiraan tersebut, sang Guru menikahkan putri satu-satunya yang bernama Endang geulis. Darinyalah lahir seorang putri yang bernama Nyai Mas Pakungwati yang kelak kemudian hari menjadi permaisuri Kanjeng Sunan Gunung jati.

Ki Danuwarsih adalah anak seorang pendeta Budha, Ki Danusetra yang berasal dari Gunung Dihyang (dieng), kemudian menjadi pendeta di Keraton Galuh, ketika ibukota Kerajaan Galuh masih di Karang Kamulyan, Ciamis.

Tempat tinggal Ki danuwarsih, menurut naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4, hanya diterangkan di Parahiyangan Bang Wetan (Kecamatan Paninggaran), dimana terdapat beberapa situs, diantaranya makam keramat Embah Wali Tanduran ; makam Pajajaran di bukit Sigabung, dan makam Pajajaran di Pacalan Kampung Sebelas.
 

Pada saat dilakukan penelitian, sesepuh dan rakyat di Paninggaran, tidak pernah mengetahui asal usul nama daerahnya. Ada yang mengatakan Paninggarang itu berasal dari kata “menginggar-inggar” (penuh kegembiraan). Dalam bahasa Sunda sangat jelas bahwa arti dari kata paninggarang adalah pemburu dalam bahasa Indonesia.

Setelah diterangkan bahwa paninggaran itu artinya pemburu, para sesepuh menerangkan, sesungguhnya Embah Wali Tanduran itu dulunya seorang pemburu. Bahkan orang tua mereka (penduduk asli Paninggaran), semuanya mahir berburu. Mereka membuktikannya dengan memperlihatkan tombak-tombak pusaka dan panah pusaka peninggalan leluhurnya, yang khusus hanya digunakan untuk memburu.

Makam Embah Wali Tanduran sebenarnya bukan makam, tetapi pasarean atau patilasan, bekas Pangeran Cakrabuana. Begitu juga yang disebut makam Pajajaran di bukit Sigabung, adalah pasarean tempat pangeran Cakrabuan menyepi. Kalau makam Pajajaran yang berada di Pacalan Kampung Sebelas, itu tempat tinggalnya Pangeran Cakrabuana. Tentu masyarakat tidak akan berani merusak batu-batu yang berada disana, karena suka bertemu dengan harimau putih dari Pajajaran.

Sementara patilasan-patilasan (situs) Pangeran Cakrabuana banyak terdapat tersebar di beberapa kecamatan. Setelah melihat peta Kabupaten Pekalongan, patilasan-patilasan tersebut dapat dihubung-hubungkan melalui garis lurus, terbentang antara Gunung Dieng (Dihyang) sampai Cirebon.

Berdasarkan identifikasi mungkin saja Walangsungsang pernah tinggal di padepokan agama Budha di dataran tinggi Dieng. Atau pada waktu itu dataran tinggi Dihyang (Dieng) masih termasuk wilayah “Parahiyangan bang Wetan”. Kalau indentifikasi tersebut “benar”, mungkin ketika Walangsungsang, Endang Geulis, dan Rara Santang, pulang ke Cirebon, melalui jalur dan melewati Paninggaran.
Dan sepanjang hidupnya, Walangsungsang juga dikenal dengan beberapa nama sebagai berikut :
  1. Gagak Lumayung (julukan ketika menjadi Pendekar).
  2. Pangeran Cakrabuana (julukan setelah berhasil menyelesaikan ilmu cakrabirawa warisan dari Mbah Kuwu Sangkan dan babat tanah Cirebon).
  3. Somadullah (julukan karena mampu menyelesaikan pendidikannya di Samodra Pasai dan Jazirah Arab).
  4. Abdullah Iman (julukan yang diberikan sang Guru sekembalinya ia menunaikan ibadah Haji di Tanah Suci Mekkah).
  5. Sri Mangara (julukan ketika ia di anggkat menjadi kuwu Cirebon menggantikan sang mertua Ki Gde Alang-alang).
  6. Syeikh Mursyahadatillah (julukan setelah menghabiskan hari-hari tuanya untuk kerja da'wah).