just ordinary people's blogs

You can take any content from here, quite simply by including the source...
Tampilkan postingan dengan label dieng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dieng. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Oktober 2011

SYAIR-SYAIR SERAYU


DI ATAS SERAYU   l   Gusblero

Di atas kali Serayu sambil membayangkan wajahmu
Aku melihat langit terhampar di pucuk angsana
Maka di sinilah aku akan menuliskan sajak-sajakku
Sajak dari lumut meranggas di batu-batu
Sajak dari pokok rebung meretas di akar bambu
Sajak-sajak dari gairahku menjujusi cintamu

Cinta yang bermula dari pertimbangan rasa
Dari apa yang kupercayai sebagai ning
Cinta yang dibakar dengan banyak godaan
Dengan apa yang kuyakini sebagai nong
Cinta yang lebur dalam tungku smaradahana
Dalam apa yang lalu kita hikmahi sebagai gung

Berkali-kali aku berfikir
Berkali-kali aku mengeja
Berkali-kali kita memecahkannya

Berkali-kali aku ning
Berkali-kali aku nong
Berkali-kali kita menge-gung-kannya

Berkali-kali kutak habis berfikir
Berkali-kali kutak habis mengeja
Berkali-kali kita tak habis-habis memecahkannya

Seperti yang terjadi kali ini
Di atas kali Serayu aku ning
Dengan kapal dari puisi kertas kukirimkan rasa nong-ku
Di manakah kamu kini, gung-ku?

Langit di alam merdeka
Dan aku bebas meraup cinta dari segala sumbernya
Tapi tidak dari mata airmu

Kamu adalah pawang bagi segenap gairahku
Kamu adalah nelayan bagi seluruh pelayaranku
Apa jadinya hidupku bila tidak segera kujumpai kamu

Angin mengalir
Kakiku menyentuh di dasar kali

Aku terkenang dalam dingin seperti inilah dulu kita bertemu
Di puncak Sindoro dalam kabut membekap tubuhmu
Dan aku harus berterima kasih kepada alam
Karena walau kamu juara matematika
Toh kamu tidak akan bisa mengendalikan cuaca

Dari alam yang ning
Kamu merapat di bahuku nong
Langit terbuka hatiku terbuka
Jiwa kita sama-sama terbuka
Dan kita gung di balik cakrawala

Dalam suasana he-ning
Kukecup keningmu yang no-nong
Dan tanganmu mencengkeram erat di pung-gung-ku

Cinta yang memancar
Seperti Serayu yang terus mengalir
Mencairkan kepenatanku
Menghadapi hidup yang tak gampang
Hanya kamu yang kupunya

Ya ya ya bersama kamu
Di atas kali Serayu ini cinta tidak pernah menjadi drama
Di atas batuan kali yang rebah bagai punggung pualam
Kita sering berbincang bagai telenovela

Alam yang he-ning
Keningmu yang no-nong
Sungguh panorama a-gung yang tiada terkira

Maka begitulah Serayu telah menjadi bagian-bagian dari hidupku
Bagian dari ruang menumpahkan rinduku
Bagian dari kesaksian hidupku menuntaskan kejenuhanku
Bagian dari ning bagian dari nong bagian dari gung-ku

Januari 2009

________________________________________________________________________
Poem : Gusblero  -  Syair-syair Serayu
Ilustrasi : Elena Dudina - Fantasy Art

Senin, 03 Oktober 2011

WALANGSUNGSANG

Dalam kitab Tantu Pagelaran disebutkan pada mulanya pulau Jawa tidak berpenghuni dan dalam keadaan khaotis, karena pulau Jawa selalu bergoncang (bandingkan dengan batu apung yang bergoncang di atas permukaan air). Oleh karena itu, pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapnya, sehingga tidak bergoncang lagi. Gunung tempat Batara Guru mengatur keadaan yang khaotis ini adalah Gunung Dihyang (Gunung Dieng).

Proses pengaturannya berjalan sebagai berikut: para Dewa mengangkat puncak gunung Mahameru (Gunung Semeru) dari India dan ditempatkan di sebelah barat pulau Jawa. Namun yang terjadi adalah, bahwa pulau Jawa terjungkit dan sebelah timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh karena itu para dewa memindahkannya ke sebelah timur, tetapi dalam perjalanan pemindahan gunung itu ke sebelah timur, gunung tersebut berceceran di sepanjang jalan, sehingga terjadilah gunung Lawu, Wilis, Kelud, Kawi, Arjuna, Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi.

Tahun 1423 Masehi di keraton Pajajaran lahirlah Walangsungsang. Ia adalah putra dari Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Prabu Siliwangi) Raja Pajajaran IX dengan Nyi Mas Subanglarang atau Subang Rencanakan, putri dari Ki Gedeng Tapa Mangkubumi Singapura atau Martasinga. Ia juga mempunyai adik yang bernama Rara Santang dan Rajasangara.

Sang Pamanah Rasa mempersunting Nyi Mas Subanglarang setelah terlebih dahulu mengalahkan Raja Sakti Mandraguna dari wilayah Cirebon, yakni Amuk Murugul. Dengan demikian, baik dari Silsilah ibu maupun ayah, Walangsungsang masih keturunan Niskala Wastukancana. Lengkapnya Pangeran Walangsungsang bin Prabu Siliwangi bin Raja Mundingkawati bin Angga Larang bin Banyak Wangi bin Banyak Larang bin Susuk Tunggal bin Wastu Kencana bin Lingga bin Linggahiang bin Ratu Sari Purba bin Raja Ciung Wanara. Dan sebelum menikah dengan Nyi Subanglarang Sang Pamanahrasa telah beristrikan Kentring Manik Mayangsunda, serta memperoleh putra bernama Surawisesa.

Subanglarang sebelum dipersunting Sang Pamanahrasa terlebih dahulu telah memeluk agama Islam. Ia pun alumnus dari Pesantren Quro Kerawang yang didirikan oleh Syeikh Maulana Hasanuddin bin Yusuf Sidiq Al Sinni. Menjadi tidak mengherankan jika putra-putrinya memeluk agama Islam dan direstui oleh Sang Pamanahrasa.

Bahwa memang ada cerita tentang keluarnya ketiga bersaudara tersebut keluar lingkungan istana Pakuan disebabkan ada perselisihan tahta antara Subanglarang dengan Kentring Manik Mayangsunda. Namun ada pula yang menceritakan bahwa keluarnya Walangsungsang dari lingkungan Pakuan bersama adiknya, Nyi Mas Rarasantang dilakukan dengan seijin ayahnya, sedangkan Rajasangara tetap berada dilingkungan Pakuan. Untuk kemudian tahta Pajajaran diteruskan oleh Surawisesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Bahkan ketika masih menjadi Prabu Anom Surawisesa, pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis (1512 M) disebut-sebut perjanjian ini merupakan kali pertama yang didokumentasikan dengan baik.

Walangsungsang bersama adik-adiknya meminta izin kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan Singapura (Cirebon). Alasan Walangsungsang dan adik-adiknya yang utama dikemukakan secara terus terang kepada ayahnya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya, merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putera-puteri Maharaja. Mereka merasa haus akan ilmu pengetahuan, terutama dibidang keagamaan. Ketika ibunya masih hidup, mereka ada yang membimbing, tetapi ketika ibunya telah wafat, di Pakuan tidak ada orang yang bisa dijadikan guru mereka. Tidak Ada lagi penenang batin yang memadai bagi mereka.

Sri Baduga Maharaja, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan mertuanya (Prabu Susuktunggal) masih dibawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat maklum atas keinginan ketiga puterinya itu. Dengan berat hati ia hanya mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara dimohon tetap tinggal di Pakuan.

Tentang Rajasangara ini mungkin pada suatu waktu menimbulkan penafsiran yang berbeda, terutama ketika ia diindetifikasi sebagai Kiansantang. Padahal nama Rajasangara sangat jarang disebut sebut dalam sejarah lisan dan kalah tenar dibandingkan dengan Kiansantang. Namun sangat sulit mencari sejarah yang ditulis resmi tentang Kiansantang. Catatan lain Rajasangara ini setelah wafatnya kemudian dikebumikan di daerah Godog – Garut.


Walangsungsang setelah sampai di Cirebon, kemudian ia pergi menuju Gunung Dihyang di Padepokan Ki Danuwarsih, masuk wilayah Parahiyangan Bang Wetan. Ki Danuwarsih adalah seorang Pendeta Budha yang menjadi penasehat Keraton Galuh, ketika Ibukota Pemerintah masih di Karang Kamulyan Ciamis. Sulit dibayangkan bagaimana keteguhan Sang Pangeran yang muslim, berguru kepada seorang Pendeta yang secara lahiriah masih beragama Budha.

Mungkin saja secara hakiki sang Danuwarsih sudah Islam meskipun tingkah lakunya masih Hindu-Budha. Tetapi yang Jelas kedatangan Putra Sulung Prabu Siliwangi di Padepokan Gunung Dihyang disambut suka cita oleh pendeta Danuwarsih. Dan untuk menyempurnakan kegembiraan tersebut, sang Guru menikahkan putri satu-satunya yang bernama Endang geulis. Darinyalah lahir seorang putri yang bernama Nyai Mas Pakungwati yang kelak kemudian hari menjadi permaisuri Kanjeng Sunan Gunung jati.

Ki Danuwarsih adalah anak seorang pendeta Budha, Ki Danusetra yang berasal dari Gunung Dihyang (dieng), kemudian menjadi pendeta di Keraton Galuh, ketika ibukota Kerajaan Galuh masih di Karang Kamulyan, Ciamis.

Tempat tinggal Ki danuwarsih, menurut naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4, hanya diterangkan di Parahiyangan Bang Wetan (Kecamatan Paninggaran), dimana terdapat beberapa situs, diantaranya makam keramat Embah Wali Tanduran ; makam Pajajaran di bukit Sigabung, dan makam Pajajaran di Pacalan Kampung Sebelas.
 

Pada saat dilakukan penelitian, sesepuh dan rakyat di Paninggaran, tidak pernah mengetahui asal usul nama daerahnya. Ada yang mengatakan Paninggarang itu berasal dari kata “menginggar-inggar” (penuh kegembiraan). Dalam bahasa Sunda sangat jelas bahwa arti dari kata paninggarang adalah pemburu dalam bahasa Indonesia.

Setelah diterangkan bahwa paninggaran itu artinya pemburu, para sesepuh menerangkan, sesungguhnya Embah Wali Tanduran itu dulunya seorang pemburu. Bahkan orang tua mereka (penduduk asli Paninggaran), semuanya mahir berburu. Mereka membuktikannya dengan memperlihatkan tombak-tombak pusaka dan panah pusaka peninggalan leluhurnya, yang khusus hanya digunakan untuk memburu.

Makam Embah Wali Tanduran sebenarnya bukan makam, tetapi pasarean atau patilasan, bekas Pangeran Cakrabuana. Begitu juga yang disebut makam Pajajaran di bukit Sigabung, adalah pasarean tempat pangeran Cakrabuan menyepi. Kalau makam Pajajaran yang berada di Pacalan Kampung Sebelas, itu tempat tinggalnya Pangeran Cakrabuana. Tentu masyarakat tidak akan berani merusak batu-batu yang berada disana, karena suka bertemu dengan harimau putih dari Pajajaran.

Sementara patilasan-patilasan (situs) Pangeran Cakrabuana banyak terdapat tersebar di beberapa kecamatan. Setelah melihat peta Kabupaten Pekalongan, patilasan-patilasan tersebut dapat dihubung-hubungkan melalui garis lurus, terbentang antara Gunung Dieng (Dihyang) sampai Cirebon.

Berdasarkan identifikasi mungkin saja Walangsungsang pernah tinggal di padepokan agama Budha di dataran tinggi Dieng. Atau pada waktu itu dataran tinggi Dihyang (Dieng) masih termasuk wilayah “Parahiyangan bang Wetan”. Kalau indentifikasi tersebut “benar”, mungkin ketika Walangsungsang, Endang Geulis, dan Rara Santang, pulang ke Cirebon, melalui jalur dan melewati Paninggaran.
Dan sepanjang hidupnya, Walangsungsang juga dikenal dengan beberapa nama sebagai berikut :
  1. Gagak Lumayung (julukan ketika menjadi Pendekar).
  2. Pangeran Cakrabuana (julukan setelah berhasil menyelesaikan ilmu cakrabirawa warisan dari Mbah Kuwu Sangkan dan babat tanah Cirebon).
  3. Somadullah (julukan karena mampu menyelesaikan pendidikannya di Samodra Pasai dan Jazirah Arab).
  4. Abdullah Iman (julukan yang diberikan sang Guru sekembalinya ia menunaikan ibadah Haji di Tanah Suci Mekkah).
  5. Sri Mangara (julukan ketika ia di anggkat menjadi kuwu Cirebon menggantikan sang mertua Ki Gde Alang-alang).
  6. Syeikh Mursyahadatillah (julukan setelah menghabiskan hari-hari tuanya untuk kerja da'wah).