just ordinary people's blogs

You can take any content from here, quite simply by including the source...
Tampilkan postingan dengan label lubdaka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lubdaka. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Oktober 2011

LUBDAKA


Lumajang, 1260 Masehi (1338 tahun Caka). Lubdaka yang namanya menjulang antara Kalilusi dan gunung Penanggungan itu hidup menyepi di sebuah perdikan dengan puteranya. Mereka hidup bertani dan hanya memiliki seekor kuda betina kurus yang sehari-hari membantu mereka menggarap ladang mereka yang tidak seberapa. Pada suatu hari, kuda Lubdaka satu-satunya tersebut menghilang, lari begitu saja dari kandang menuju hutan.

Orang-orang di kampung yang mendengar berita itu berkata: "Wahai Lubdaka, malang benar nasibmu!".Mendengar komentar itu Lubdaka hanya menjawab, "Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu...?”

Fantastis. Keesokan harinya, ternyata kuda Lubdaka kembali ke kandangnya dengan membawa 100 kuda liar dari hutan. Segera ladang Lubdaka yang tidak seberapa luas dipenuhi oleh 100 ekor kuda jantan yang gagah perkasa. Orang-orang seluruh kampung berbondong datang dan segera mengerumuni kuda-kuda tiban yang berharga mahal tersebut dengan kagum. Blantik-blantik (makelar binatang) segera menawar kuda-kuda tersebut dengan harga tinggi dan lalu menjualnya ke kotaraja. Lubdaka pun menerima uang dalam jumlah banyak, dan hanya menyisakan seekor kuda jantan liar untuk kuda betinanya.

Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata: "Wahai Lubdaka, betapa beruntungnya dirimu!".Kembali Lubdaka hanya berujar singkat, "Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu...?”

Pagi hari berikutnya, Saka, anak Lubdaka yang beranjak remaja pun dengan penuh semangat berusaha menjinakan kuda barunya. Tanpa dinyana, ternyata kuda tersebut terlalu kuat, hingga mengakibatkan Saka terjatuh dan patah kakinya.

Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata dengan sedikit nyinyir: "Benar kamu Lubdaka. Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu...?”

Lubdaka tersenyum, dan kembali hanya menjawab, "Ya, kalian benar. Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu...?”

Pemuda itupun terbaring dengan kaki terbalut untuk menyembuhkan patah kakinya, dan nampaknya memang perlu waktu cukup lama hingga tulangnya yang patah itu akan bisa baik kembali seperti sediakala. Keesokan harinya, tiba-tiba datanglah Panglima Perang Kerajaan ke desa itu. Atas nama sang Raja memerintahkan seluruh pemuda untuk bergabung dalam pasukan raja untuk bertempur melawan musuh di tempat yang jauh. Seluruh pemuda di perdikan itu pun wajib bergabung, kecuali yang sakit dan cacat. Anak Lubdaka pun selamat dari keharusan ikut berperang karena dia cacat.

Orang-orang di kampung berurai air mata melepas putra-putranya, dan diantaranya berkata: "Wahai Lubdaka, alangkah jauh lebih beruntungnya nasibmu!".

Lubdaka hanya menjawab lirih, pandangan matanya jauh menembus batas langit: "Malang atau beruntung, dan apa yang akan terjadi pada diri kita, sesungguhnya siapa yang tahu...?”

Maka begitulah kawan. Kisah di atas, mengungkapkan suatu sikap yang sering disebut: non-judgement. Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan untuk memahami rangkaian kejadian yang telah diskenariokan Sang Maha Sutradara. Apa-apa yang kita sebut hari ini sebagai musibah, barangkali di masa depan baru ketahuan hikmahnya bahwa itu adalah sebuah berkah. Seperti Lubdaka, ia telah mampu berhenti untuk menghakimi dan menilai kejadian dalam kehidupan ini sekadar dengan istilah keberuntungan dan air mata, pengorbanan dan hilangnya harga diri...

(Gusblero l Murcaya Sang Mahapatih l Lubdaka l Imaginatif©2010)