just ordinary people's blogs

You can take any content from here, quite simply by including the source...
Tampilkan postingan dengan label cerita roman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita roman. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Oktober 2011

DAUN GUGUR DI MANGGARAI

DAUN GUGUR DI MANGGARAI (Delapan) l Gusblero

queen of the ocean...........

 

Tujuh

"Priiiiit………….!"

Peluit ditiup, bola dipukul, bola melenting ke angkasa. Ini adalah service Swan yang kedua.

"Awas, gue yang ambil!"
"Melebar!"
"Pukul! Kasih pinggir!"
"Hei, ambil!"
“Ups…! “
"Smash!"
"Horee.........!"

Sore yang cerah. Swan, Rose dan beberapa temannya nampak tengah asyik main volley pantai. Mereka semua adalah teman-teman ngerumpi sepermainan Rose dan Swan. Pekerjaan mereka nyaris berlainan semua. Namun satu hal mereka mempunyai kesamaan istimewa, jika hari libur tiba mereka mempunyai pilihan hobi yang sama: pelesir.

Mereka main volley juga tidak pakai rencana. Hanya pas kebetulan main-main di pantai, terus mereka melihat ada orang jualan bola saja lalu mun­cullah ide-ide norak tapi kreatif di kepala mereka. Posisi saat ini sementara 1- 2 unggul tim Swan. Mereka semua terlihat menikmati sekali permainan itu. Lalu saat istirahat tiba mereka duduk-duduk kembali saling bergerombol.

"Tampilan kamu yangg cemen kaya' tukang jamu nggak tahunya bisa mukul bola juga ya," olok Rose kepada Swan.
"Jelas dong. Mosok kalah sama bantalan preman kaya’ elu!"
"Semprul...!"
"Gini-gini dulu aku pernah mau dipanggil ke Pelatnas Sea Games Iho, tapi aku ogah."
"Kenapa?"
"Orang cuma suruh ngerokin atlit!"
"Jadi 'elu ya nyang dulu mau ngembat kerjaan gue?”
“Hahaha...!"

Tengah keduanya saling bercanda tiba-tiba terdengar HP berbunyi.

"Punya lu, Swan," celetuk Rose seraya menunjuk ke arah tas Swan.
"Ya, aku tahu." Swan segera mengambilnya.

Dilihatnya dari layar HP muncul nomor telepon lokal. Nyaris-saja Swan tak mengindahkannya kalau saja Rose tak memprovoknya.

"Halloouw...?!"
"Sore Swan, ini aku, Moon." Terdengar suara dari seberang pesawat.
"Tumben. Ada apa, Moon?"
"Lagi di mana kamu sekarang?"
"Latihan buat Olimpiade. Hahaha...! aku lagi main volley di pantai sama teman-teman."
"Volley pantai? Kaya' orang di Rio de Jenario saja, Swan."
"Emang rencananya aku mau ke sana kok!"
"Jadi TKI?”
"Sialan. Pelesir sama anak menteri dong. Hahaha...!"

Udara pantai di sore itu tidak begitu panas. Angin yang bertiup semilir mengeringkan sisa-sisa keringat yang menempel di sekujur tubuh. Dari kejauhan nampak beberapa nelayan tengah menyiapkan jala untuk menjaring ikan bila petang telah menjelang.

"Nggak biasanya kamu kontak-kontak aku, Moon."
"Lhah,….katanya aku disuruh sering-sering kontak?"
"Hahaha.... !"
"lni soal naskah kamu, Swan?"
"Ouw...! Gimana...gimana, Moon?"
"Aku mau nerbitin. Itu juga kalau belum kamu­ setorin ke penerbit lain."
"Bener nih, Moon?!" tanya Swan setengah memekik.
"Bences eh beneeerr…..Hahaha....!"
"Makasih, Moon. Ntar aku kelarin deh."
"Jadi, belum selesai?!"
"Alah, kurang dikiii….iit banget. Paling juga dalam tiga hari  ini kelar."
"Ntar ngacau lagi. Kurang bagian mananya sih?"
“Sebenernya sudah selesai sih, cuma belum mantep saja. Aku pengin nambahin beberapa dialog."
"Ya sudah. Kalau gitu aku tunggu tiga hari lagi di kantor ya?"
"lya deh."
"Oke, met ber-sport ria."
"Yess ..!"

Swan terlihat girang bukan kepalang. Swan masih terlihat tegak mematung mengamati handphone yang baru saja digunakannya, ketika kemudian secara tiba-­tiba ia mengacungkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas langit sambil berteriakk, Hooiii....iii ! I'm the queen of the ocean...!" lalu berlari-lari mengitari tempat itu seperti anak kecil dibelikan mainan seraya menciumi seluruh teman-temannya.

Kejadian itu tak pelak membuat teman-teman­nya yang masih asyik bergerombol di tempat lain yang terpisah menjadi berpaling menoleh ke arahnya sambil melongo dibuatnya.

"Kenapa dia?"
"Tau. Kesambet kali!" jawab Rose sekenanya.

Swan masih menari-nari. Lalu ketika ia melihat seluruh teman-temannya masih terlongong-longong bengong menatap ke arahnya, Swan malah justru tertawa. Keras-keras tertawa!□
.........................................................................................

fortunity.....


Jam sebelas siang hari, udara di ibukota panas­nya seperti tungku api. Di sepanjang jalan dan ping­giran perempatan banyak sekali orang berlalu-lalang, mereka seakan saling berpacu dan berlomba untuk mencapai pemenuhan kebutuhannya sendiri-sendiri. Sigap dan tanpa basa-basi. Barangkali orang-orang di kota besar memang sudah seperti mesin yang tahunya cuma tiga perkara: kerja, kerja dan kerja. Mereka sepertinya telah kehilangan budaya tegur sapa.

Swan menyeruak di antara para pejalan yang sesak memadati pusat perkotaan. Melewati sebuah tikungan dia nyaris menabrak orang. Orang itu melo­tot, tapi Swan cuma melengos dingin. Kantor pener­bitan milik Moon sudah nampak di depannya, Swan makin mempercepat langkahnya.

Sudah hampir dua minggu ini Swan terpaksa harus menyempatkari diri untuk bolak-balik ke kantornya Moon. Swan ingin terlibat total dalam penggarapan buku karyanya, hingga dalam penggarapan ilustrasinya pun dia ikut campur tangan.

Dalam hal ini dia harus merasa sangat berterima kasih kepada Moon yang telah mau bersusah-payah menghadirkan ilustrator terbaik saat ini untuk ikut menggarap bukunya. Di luar itu Moon ternyata juga telah berusaha total dengan memberikan rekomen­dasi yang sangat positif tentang karya Swan agar bisa mendapatkan hasil terbaik begitu buku ini siap di­launching melalui media.

Swan betul-betul merasa lebih hidup saat ini. Seluruh konsentrasi dan vitalitas kepenulisannya seakan terpacu untuk segera bisa menghasilkan kesuksesan. Duduk di salah satu bangku di ruang penerbitan itu Swan tersenyum menikmati keramah-tamahan sahabat-sahabat barunya. Sebuah ledakan kehidupan baru nampaknya telah siap diluncurkan.

Swan keluar ruangan. Langit yang telah berubah senja sebentar lagi akan menjadi kelam, lalu malam pun akan segera terjelang. Swan menatap langit luas. la telah siap kini, menantikan terbitnya bintang yang akan bersinar terang di antara gugusan galaksi Bima Sakti.□
........................................................................................................

kekuatan cinta.....


Pukul dua siang di sebuah perhotelan, kemeriahan Nampak di salah satu ballroom. Swan turun dari kendaraan lalu melangkah dengan tenang menuju pintu masuk.

Siang yang cerah, buliran angin yang lembut menggeraikan rambut di atas kacamata hitam. Swan tersenyum. Kepada beberapa orang yang telah bersiap-siap menyambutnya Swan menyampaikan tegur salam dan sapa.

Mereka kemudian berjalan menuju ruang panitia dimana Moon telah menunggu kedatangan Swan di sana. Keduanya lalu terlibat dalam sedikit pembicaraan sebelum pada akhirnya berjalan bersama-sama menuju ruang penyelenggaraan dengan diiringi beberapa rekan panitia.

“Are you ready, Swan?" Moon masih sempat bertanya kepada Swan beberapa langkah sebelum memasuki pintu ruangan.
“OK,” jawab Swan singkat seraya membetulkan roknya.

Ruangan itu berukuran sepuluh kali dua puluh meter luasnya. Terbagi untuk peserta dialog, serta meja moderator dan pembicara membelakangi panggung kecil tempat hiburan. Banyak sekali audiens yang sudah terlihat berkumpul di sana, terutama dari kalangan pers, televisi, serta pengamat budaya. Terlihat juga rombongan beberapa penggemar Swan dari kalangan dunia perfilman.

Saat Swan tiba memasuki ruangan serempak mereka sama-sama berdiri dan memberikan applausnya. Swan tersenyum. Ia berhenti sejenak, kemudian mengarahkan badannya kearah para pengunjung. Lalu sambil menyedekapkan kedua belah tangannya tepat di atas dada Swan memberikan penghormatan dengan menundukkan kepalanya untuk membalas applaus itu. Sejenak sesudah applaus itu mereda Swan melangkah dengan mantap menuju kursi yang telah dipersiapkan oleh panitia.

Moon rnengerling ke arah Swan. Ia merasa bangga. Swan yang merasa bisa menangkap isyarat itu memberikan senyumnya. Ruangan beranjak tenang. Ketika kemudian Swan sudah memberikan tanda kesiapannya dengan cara menganggukkan kepala, moderator mulai membuka acara.

“Hadirin yang terhormat…….rekan-rekan dari media pers, televisi, pengamat budaya, serta tak lupa pula pihak-pihak sponsor yang telah membantu terselenggaranya acara ini. Juga rekan-rekan dari kalangan pecinta seni sastra, dan utamanya para hadirin yang telah rela bersusah-payah mengikuti acara ini, puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, hari ini…………………………”

Swan menyimak dengan seksama kata-kata yang diucapkan secara runtut oleh moderator untuk mem­buka acara itu seraya mencoba untuk mengamati satu persatu seluruh pengunjung yang hadir untuk mengikuti acara itu. Di atas panggung tepat di bela­kang tempat posisinya duduk nampak sebuah alat musik organ tergeletak begitu saja menunggu artis yang masih dirahasiakan memainkannya saat sesi istirahat nanti.

"..............Sosoknya mungkin saya tidak perlu mem­perkenalkan lagi, karena beberapa waktu yang lalu sudah banyak sekali media massa yang telah sering mengeksposnya dibuat geger karena keterlibatannya dalam sebuah film produksi ………………”

Hadirin tertawa, bertepuk riuh dan tertawa. Swan tersenyum. Lampu ruang yang berwarna merah menyembunyikan rasa jengahnya.

"…………..... untuk menyingkat waktu, mari kita mulai dengarkan saja apa kata Swan tentang karya barunya ini yang sebentar lagi mungkin akan membuat geger kembali rekan-rekan hadirin semua ……………………….."

Sekali lagi hadirin tertawa, bertepuk riuh dan tertawa. Swan tersenyum. Lampu ruang yang ber­warna merah kembali berbaik hati menyembunyikan kegugupannya. Lalu setelah membetulkan sedikit posisi duduknya Swan mengambil mikropon yang sudah tersedia di depannya.

"Hadirin yang saya hormati………teman-teman pers media massa, baik cetak maupun elektronik, kalangan pengamat seni, dan banyak lagi………..pertama-tama saya ucapkan terima kasih dan………………….”

Swan berdehem kecil untuk menghilangkan sedi­kit ludah yang tiba-tiba saja terasa menghambat di tenggorokannya. Ruangan itu hening sekali, semua­nya nampak menyimak satu-persatu kata-kata yang diucapkannya.

"………..ini adalah abad baru, abad budaya, dan abad elektronik, juga abad bagi perkembangan pemikiran yang ingin serba maju, serba bebas, namun tanpa kehilangan rasa tanggung-jawab. Inovasi menjadi sesuatu yang bernilai kompetitif. Dan perkembangannya kemudian, ketika proses-proses inovasi memunculkan daya saing yang sebenarnya guna kelestarian hidup, maka terciptalah keseimbangan itu........."


Para pengunjung yang memadati ruangan itu nampak mulai tersihir dengan kata-kata yang diucap­kan Swan secara runtut dan perlahan-lahan. Swan tersenyum. Ujian pertama telah dilewatinya.

“…………kekuatan cinta, saya rasa bukan merupakan sesuatu yang naif apabila kita mau mempertahan­kannya. Hakikat cinta akan membentengi kita dari erosi moral, pengaruh budaya ‘easy love’, seks secara serampangan, juga penyakit omong-kosong yang selalu mem­buat kita merasa asyik untuk selalu berbuat main­-main…………..”              

Hadirin kian tercenung, suasana hening. Swan tersenyum. Angin dalam ruangan itu nampak ber­pihak kepadanya.

“……....buku ini adalah refleksi dari sebuah cinta, jadi ia akan bercerita banyak hal tentang cinta. Sebagai sebentuk wajah cinta yang sebenarnya, tentu saja ia juga tak akan luput dari yang namanya luka. Dari sinilah sebenarnya kita harus mulai belajar, bahwa substansi cinta akan bisa melahirkan eksistensi atau daya cinta yang sebenarnya justru ketika kita mau menerima apa adanya............”

Orang-orang terdiam, orang-orang nampak menunggu kalimat Swan selanjutnya. Ruangan hening. Swan tersenyum. Angin dalam ruangan itu telah digenggamnya.

“……….ada keterasingan yang menimbulkan penyiksaan. Cinta bisa saja menggantung. Tetapi wajah cinta yang sesungguhnya tidak akan pernah berpaling dan kehilangan harapan untuk suatu saat kembali bertaut, bersatu dan berpagut. Untuk kemudian bersama-sama merenda kembali hari-hari yang hilang, kenangan-kenangan yang mengambang, menuju satu biduk dalam samudera………..kebahagiaan !"

Seluruh hadirin bertepuk riuh, berdiri dan bertepuk riuh. Swan berdiri membalas penghormatan. Lampu dalam ruangan berwarna benderang, Swan tersenyum. Ujian itu telah dirampungkan.

Memasuki sesi dialog, Swan menjawab seluruh pertanyaan pengunjung dengan memuaskan. Kilatan lampu kamera yang berpendar menyilaukan terus mengabadikan momen-momen itu.

Jelang sesi hiburan para pengunjung bergantian mengambil hidangan yang telah disediakan oleh panitia. Mereka terus mengomentari acara itu sambil mencicipi makanan dan minuman. Lalu samar-samar terdengar suara organ mulai dimainkan.

Swan terhenyak. Lamat-lamat ia merasa menge­nal intro lagu tersebut. Swan menoleh ke arah panggung. Dada Swan berdegup kencang.

Benar saja. Saat asap dry ice berangsur hilang, sorot lampu di sudut panggung perlahan-lahan memunculkan sesosok tubuh yang sudah tak asing lagi baginya. Tak mungkin salah lagi: Rain!

Swan tak habis pikir bagaimana Rain bisa hadir dalam acaranya. Swan merasa kecolongan dan menyesal kenapa ia tidak menanyakan secara rinci siapa-siapa saja pendukung acara dalam peluncuran bukunya kali ini. Segalanya sudah terjadi. Kini, di tengah kerumunan banyak orang yang ia harapkan akan bisa memberikan dukungan bagi kesuksesan karyanya, ia diliputi perasaan yang membingungkan hati. Swan merutuk.

la hanya bisa pasrah mengikuti bait demi bait, satu demi satu lagu yang dilantunkan Rain dan.....astaga! betapa kurang-ajarnya lelaki itu. Dalam ke­sempatan itu Rain juga tak sungkan-sungkan men­yebutkan bahwa seluruh ide penciptaan lagu-lagu di album barunya dipersembahkan untuk satu nama: Swan!

Swan menunduk. Ditengah banyak suitan, aplaus dan teriakan heboh dari para pengunjung dalam ruangan itu, Swan hanya bisa tersenyum kecut, lalu perlahan-lahan mencari celah kesempatan untuk melarikan diri.

Swan merasa marah, ia merasa diakali. Ketika selintas dilihatnya Moon tengah berbicara dengan seorang pengunjung, Swan hanya menatapnya sekali, dengan mata berapi-api, lalu segera pergi meninggal­kan ballroom.□
................................................................................................

pasangan jiwa....


“Aneh juga. Dunia, barangkali memang tak cuma seluas daun kelor, namun kisah manusia, nampak jelas seperti berputar-putar dalam sebiji merica. Aneh juga, sesudah sebegitu jauh aku mencoba meninggal­kannya, semuanya bisa kembali hadir begitu saja. Aneh juga...aneh juga...!"

Ini adalah hari kedua sesudah launching buku karya Swan pertama kalinya. Siang yang panas, matahari nampak garang di atas kepala. Swan mema­suki kantor penerbitan. Ada rasa syukur dan bahagia bahwa bukunya laku terjual karena diminati banyak pembaca, namun satu hal yang masih mengganjal dalam hati Swan, bagaimana Rain bisa hadir dalam acara peluncuran bukunya saat itu. la mencari Moon, namun tak dijumpainya.

"Apakah Bapak tahu kemana Moon pergi, Pak?" tanya Swan kepada salah seorang karyawan yang tengah bertugas di ruang tamu.
"Bilangnya sih mau menemui Tuan Rain, Mbak." Jawab karyawan tersebut.
"Tuan Rain? Rain yang mana, Pak?" tanya Swan kembali dengan harap-harap cemas, semoga yang dimaksud dengan 'Tuan Rain' ini bukan Rain yang selama ini ia kenal.
"Ya, Tuan Rain yang penyanyi itu, Mbak," jelas karyawan itu.

Ups, astaga! Jawaban itu membuat jantung,di dada Swan berdebar-debar tak karuan.

"Bapak tahu ada urusan apa antara Moon dengan Rain, Pak?" Swan terus mencecar. Tiba-tiba terbersit rasa ingin tahu dalam hatinya yang tengah dilanda amarah.
"Ya mungkin soal urusan bisnisnya di sini, Mbak," karyawan itu menjelaskan.
"Bisnis? Memang Moon sama Rain punya bisnis barengan apa?" tanya Swan seraya mendekat.
"Lho gimana to Mbak ini? Ya mungkin bisnis soal buku Mbak," jawab karyawan itu sambil tersenyum.
"Buku saya? Maksud Bapak?" Mata Swan terbe­lalak. Kali ini ia betul-betul terkejut. Jawaban karyawan tadi membuat Swan serasa melihat hantu di siang bolong.
"lya buku Mbak. Tuan Rain itu kan yang menjadi bos penanggung buku karya Mbak," papar karyawan itu lugu.
"Jadi?! Jadi?!..." Mulut Swan ternganga. Swan merasa tak mampu untuk menyusun kata-kata.

Seandainya ada petir menyambar di siang bende­rang Swan mungkin tak akan seterkejut itu, namun keterangan dari karyawan tadi ibaratnya salju yang tiba-tiba saja melanda di kota Jakarta yang panas.

"Ada apa Mbak kok jadi gelisah begitu?" tanya karyawan tersebut yang nampaknya mulai menang­kap kebingungan yang terpancar di wajah Swan.
"Ndak apa-apa Pak, ndak apa-apa..." Swan men­coba menenangkan hatinya sendiri yang mulai berke­camuk tak karuan.
"Tapi Mbak..." karyawan itu melanjutkan.
"Sudahlah Pak. Terima kasih." Tanpa mengindah­kan kecemasan karyawan yang terus memanggilnya 'Mbak Mbak' itu, Swan segera beranjak pergi dari tempat yang telah membuat hatinya jadi tak menentu itu.□
..........................................................................................................

rendesvouz.....


Malam Minggu yang hingar di sebuah stadion. Lampu-lampu ribuan watt bersinar menerangi gelegar pentas dari arah sebuah panggung yang dikemas secara kolosal. Berjubel-jubel penonton memadati stadion menyaksikan pertunjukkan Rain malam itu.

Swan baru saja turun dari mobil yang dikemudi­kan Rose. la kelihatan tercenung, haruskah ia mene­mui Rain malam ini?
la masih berdiri mematung saat Rose yang sudah selesai memarkirkan mobilnya menarik lengannya untuk segera bergabung dengan kerumunan para penonton.

"Ayo! Mikirin apalagi?" celetuk Rose sambil terus menarik Swan yang seakan terpaku di tempatnya berdiri.
“Rose..."
"Heh?!"
"Aku..."
“Alaaah...!"

Lagu itu lagu rock. Lagu pertama yang dilantun­kan Rain untuk mengajak penonton langsung bergo­yang. Suasana hangat. Semua orang nampak ikut bergerak, menari-nari dan bergoyang. Swan merasa sedikit pusing berada di tengah-tengah para penonton yang terlihat begitu menggila. la nyaris menyerah, namun Rose terus memaksanya menembus lapisan para penonton itu mendekati panggung pentas.

Rock bergema!

Musik terus bergerak cepat menuju ke lagu kedua dan ketiga. Memasuki lagu yang keempat Rain mengajak para penonton untuk berdialog. Rain ter­lihat agak sedikit sentimental ketika harus mencerita­kan latar belakang proses penciptaan lagu-lagu barunya yang terangkum dalam albumnya yang kali ini. la berdiri di ujung panggung seraya menatap ke kejauhan seakan tengah membayangkan sesuatu. Lalu, tibalah momen itu………

Lagu keempat. Sebuah intro perlahan mengalun, nada sendu mengalir pilu. Penonton mulai menyala­kan lilinnya. Suasana syahdu. Hening dan mencekam. Swan merasa tersiksa. la mengenal dengan jelas lagu itu.......

…………………………………………
Daunan gugur di Manggarai
Luka terkubur duka berderai
Daun yang gugur di Manggarai
Rindu mengabur kubelai-belai

Segala mimpi telah menjadi
Kesukaan diri apa adanya
Biarkan nanti tetap abadi
Mengikat janji sumpah setia

Daunan gugur di Manggarai
Hatiku hancur kerna kulukai
Jangan tertidur Dinda aduhai
Dengarkan mazmur cinta kumulai
.................................

Swan menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. Rasanya tak sanggup lagi ia menahan runtuhnya air mata yang sudah mulai menggenang di kedua bola matanya. la mengeraskan rahangnya. Siksa ini sung­guh sudah tak tertanggungkan rasanya. Lalu akhirnya isak itu berderai juga. Beberapa penonton yang mengenalinya segera memberi ruang kepadanya, lalu beramai-ramai mendorongnya mendekati panggung seraya menyibakkan barisan penonton yang ada di depannya.

Kepiluan menggema!

Tepat di penghujung lagu Rain akhirnya bisa melihatnya. Rain melihat semua itu! Di antara barisan para penonton yang tengah tenggelam dalam nafas lagu yang sendu, nampak Swan tersedu menutupi wajahnya. Rain melihatnya! Lalu bagaikan seekor harimau yang telah menemukan kembali cinta kasihnya yang hilang Rain memekik. Meraung dan memekik. Teriakannya melengking memenuhi ruang stadion yang masih gegap gempita.

"Swaaannn... ! Swaaaannnn... !!"□
........................................................................................................

keajaiban kedua....


Rain termenung di taman kota. Senja bergerak memayungi Jakarta, orang banyak lalu-lalang menatap ke arahnya namun Rain tak peduli. Yang ia lakukan sekarang adalah persoalan hati, tak ada urusannya sama sekali dengan pertanyaan ‘mengapa' dan 'untuk apa'?

Terbayang lagi tergambar jelas di satu malam ketika ia bersama Swan di taman ini. "Kamu tahu apa yang tengah aku pikirkan saat ini?"

Bayangan itu saat ini seperti kembali menari-nari. "Aku tengah merenungkan satu keajaiban yang tumbuh di satu malam, ketika kamu hadir secara nyata dalam kehidupanku."

Ahh...Swan! "Kamu tahu apa yang tengah aku pikirkan saat ini?"

Rain seakan kian larut dalam memori. la terus memandang ke arah kolam. "Sejujurnya aku telah begitu lama menantikan terjadinya saat-saat seperti ini. Bagiku kamu telah hadir begitu lama di ruang-­ruang kalbuku, namun baru saat ini nampaknya segalanya rnenjadi pasti, Swan. Hingga malam ini... aku...aku…….."


Rain teringat kembali seluruh ucapannya waktu itu. Dan itu adalah malam-malam terindah yang telah memberikan kebahagiaan paling nyata kepada Rain. Namun kini?

Rain mendesah. Betapa bodohnya ia saat itu. Semua siksa itu semakin membuat Rain merasa sedih tatkala menatap sekelilingnya. Rerumputan yang bergoyang-goyang dan bunga kenanga yang kini tumbuh mekar seakan menambah lagi beban-beban luka yang kini semayam.

Rain merasa limbung. la nyaris tak kuat menahan semuanya.

"Apa yang kamu lihat saat ini?"

Sebuah suara lembut tiba-tiba terdengar mengoyak lamunannya. Rain tersentak. Di kedua bola mata­nya yang nyaris padam perlahan menampak binar keharuan. la menoleh ke belakang, di bibirnya yang terasa kering ia mengeluarkan senyum. Lalu nampak­lah bayangan itu. Swan yang tengah menatapnya sambil tersenyum.

"Kamu," jawab Rain singkat.

Tak kuasa lagi menahan rindu Rain segera berlari memeluk Swan yang telah menunggunya di sisi taman.□

S E L E S A I.......
___________________________________________________________________
DAUN GUGUR DI MANGGARAI, GUSBLERO © 2000
Naskah ini pernah diterbitkan Focus Grahamedia (2006)
Jl. Sepakat II No. 73 Cilangkap – Cipayung, Jakarta Timur

DAUN GUGUR DI MANGGARAI

DAUN GUGUR DI MANGGARAI (Tujuh) l Gusblero

soliloquy....

 

Enam

Jakarta di tahun baru. Langit bersinar cerah, keceriaan terpancar di wajah-wajah penduduk kota. Saat-saat kemeriahan seperti ini menjadi momen extravaganza bagi para impresarian untuk menggelar serangkaian pertunjukan yang bersifat kolosal serta didukung oleh sponsor-sponsor besar guna mema­sarkan produk-produknya.

"Kita jalan-jalan saja yuk," ajak Rose kepada Swan.
"Apa kamu nggak lagi sibuk ‘ngamen', Rose?" ujar Swan.
"Nggak lah, di album Rain yang baru ini aku kan ‘puasa'."
"Masa iya sih?"
"Keterlaluan banget. Jadi kamu belum pernah denger albumnya ya?"
"Hihihi.... ! Belum."
"Nggak kuat beli? Minta aku kasih?"
"Nggak juga. Aku cuma lagi ati-atiiii.... banget ngerawat kuping."
"Sialan...!"
"Hahaha....!"

Sore itu Rose selesai belanja dari sebuah swalayan. Udara Jakarta yang cerah membuat Rose menunda pulang ke rumah, lalu langsung menuju ke kontrakan Swan.

"Enaknya kita kemana ya, OTB? Hahaha...!"
"Sialan lu. Nonton bola saja yuk?"
"Kamu gila apa, bisa-bisa kita dijarah massa."
"Dijarah? Sembako kali."
"Eh Swan, kamu itu sekarang udah bisa dibilang ngetoo..op banget loh, jadi nggak usah yang aneh-­aneh deh."
"Cuma nonton bola kok dibilang aneh-aneh?"
"Terserah. Tapi aku nggak tanggung-jawab klo ada apa-apa."
"Tanggung jawab? Apa urusannya?"
"E..eh masih nanya lagi. Kamu pura-pura bego apa memang kurang waras sih? Fans-fans kamu itu, bisa aja mereka langsung ngerubutin."
"Ngerubutin? Emang ada apa?"
"Sebodo ah. Ada nenek-nenek diperkosa!"
"Lhah, di mana?"
"Ntar kalau kamu sudah tua tapi lagaknya masih keganjenan saja!"
"Hahaha...marah ya? Ngambek ya? Duile... yang namanya ratu bantal."
"Sialan lu!"

Swan merasakan udara saat itu mengalir begitu sejuknya. la menoleh menatap Rose yang masih terlihat sewot. Swan menghela nafas. la merasa beruntung mempunyai teman seperti Rose yang telah mengenalkannya pada segala macam bentuk rupa dan aneka gaya kehidupan di ibukota. Swan menge­nangkan betapa diawal-awal pertemanan mereka dulu ia sempat menganggap Rose sebagai lintah asmara yang telah memporak-porandakan hubung­annya dengan Rain.

Saat-saat itu tentulah ia masih seorang perem­puan narsis yang sangat tidak memahami bagaimana sebenarnya perilaku dan cara bergaul orang-orang metropolitan, apalagi kalangan selebritis. Mengingat semua kejadian itu Swan jadi tertawa.

"Ngapain kamu ketawa kaya' orang gila?" ujar Rose.
"Hihihi...aku merasa lucu aja," jawab Swan masih sambil tertawa.
"Lucu? Memangnya ada nenek-nenek pakai bikini?"
"Bukan. Nenek-nenek latihan Tae kwon do. Hahaha...!"
“Gila lu...!"
"Aku cuman lagi nginget-nginget kapan dulu kita mulai akrab."
"Terus?"
"Dulu aku sempat berpikir negatif sama kamu."
"Terus?"
"Ternyata aku salah."
"Terus?"
"Kamu ternyata tidak seburuk yang aku kira."
"Terus?"
"Ternyata kamu lebih gila dari perkiraanku semula! Teruus…… teruuuss, kaya' tukang parkir saja kamu!”
"Hihihi...marah ya? Ngambek ya? Duilee...yang namanya OTB."
"Sialan...!"

Mobil terus melaju melintas di keramaian kota. Keriangan dan tawa terus saling berpadu di sepanjang jalan raya. Desing knalpot menderu-deru saling bersaing dengan sesama pengendara tak ada habis­-habisnya.

"Cowok tuh...!" teriak Swan sambil menunjuk arah di samping jalan.
"Siapa bilang kambing!" jawab Rose ketus. "Hihihi...biasanya kamu paling getol kalau liat cowok semiran?"
"Ya liat-liat dulu semirnya."
"Semir gimana maksudnya?"
"Ya semir rambut apa semir sepatu."
"Hihihi...kalau rambutnya disemir pake semir sepatu trus gimana?"
"Ya kakinya yang di atas trus kepalanya yang di bawah."
"Jadi akrobat dong?"
"Otaknya di dengkul! Hahaha...!"
"Berarti otaknya ada dua dong. Hahaha...!"
"lya, kaya' kamu."
"Kok kaya aku?"
"lya kaya' kamu. Otak satunya ada di kepala trus satunya lagi kamu taruh di pantat. Hahaha...!"
"Sialan !"
"Ya iya, satunya untuk berpikir dan satunya lagi..."
"Satunya apa?"
"Yang satunya? Untuk digilir!. Hahaha...!"
"Kucing!"

Mobil melaju mobil menderu. Canda berpacu tawa dituju. Diiringi lagu yang terdengar keras memekakkan telinga mobil menghilang di balik tugu.□
........................................................................................................

cermin terbelah.....


Sudden death in Sabath! Hari Sabtu yang mendebarkan, hari yang ditunggu laiknya pengadilan. Setelah hinggap selama tiga bulan lebih di kamar gunting Badan Sensor Film Nasional, akhirnya film Swan siap juga untuk diluncurkan. Gonjang-ganjing perihal film ini yang memang sengaja diekspos seba­gai satu bagian strategi untuk menunjang sisi marke­ting juga sudah dilakukan jauh-jauh hari.

Premiere film perdana Swan dilakukan di awal April dengan menumpang idiom April Mop yang diharapkan juga akan mampu menopang sensasi. Nampaknya semua sudah diperhitungkan dan diper­siapkan sedini dan secermat mungkin untuk mendu­kung kesuksesan film ini. Sedikit persoalan yang kemudian muncul justru terkait dengan mental dan keberanian dari Swan untuk menonton aktingnya sendiri. Di sinilah dominasi peran dari seorang teman seperti Rose yang kemudian menjadi menentukan.

"Rasa-rasanya aku nggak ada nyali, Rose," keluh Swan saat hendak menghadiri premiere.
"Ini jerih payah lu, Swan. Sudah sewajarnya apapun hasilnya kamu sendiri yang paling berhak pertama kali tahu."
"Ya, tapi..."
"Kalau misalnya ada perubahan gimana?"
"Perubahan?!"
"Misalnya tampilan kamu yang nggak sesuai aslinya? Atau kasus seperti Sun tempo hari ?"
"Hmmh..."
"Udahan. Ayo!"

Rose yang, justru tergopoh-gopoh menggamit lengan Swan untuk segera memasuki mobil jemputan yang akhirnya membawa keduanya seperti terbang menuju gedung theater di pusat kota.

Di depan loket masih banyak antrian penonton yang berjubel untuk mendapatkan tiket pertunjukan. Ketika Rose dan Swan sampai di lokasi itu para pengunjung yang melihatnya menyambutnya dengan memberikan aplausdan tepuk tangan yang membuat dada Swan kian terasa mekar dan berdebar-debar.

Keduanya mendapatkan tempat duduk di barisan muka, sejajar dengan para kritikus film, juga orang­-orang media. Lalu jelang ketika film hendak diputar Swan masih terlihat nampak belum mampu tenang benar mengatasi ketegangannya, Rose kian mende­katkan badannya ke arah Swan. Sebelah tangannya yang lembut meraih jari-jari tangan Swan yang terasa gemetaran dalam pangkuannya.

Film pun segera diputar. Segalanya berjalan normal-normal saja, segala sesuatunya nampak berjalan seperti biasa. Tak ada yang aneh, semua sesuai urut-urutan dalam skenario yang pernah Swan baca. Juga suspense yang kemudian muncul di per­tengahan cerita, serta pernak-pernik bahasa cinta.

Rose melirik. la melihat walaupun nampaknya Swan telah berhasil mengatasi ketegangannya, namun tak urung adegan demi adegan yang tampil di atas layar besar itu masih membuat Swan deg-degan layaknya anak yang baru menunggu kelulusan SMA. Rose tersenyum. Menyadari bahwa sahabatnya itu tengah memperhatikannya, Swan menjadi sedikit kheki lalu segera mencubitnya.

Nyaris sampai di penghujung dua pertiga film roman itu terasa sekali orang-orang mulai menahan nafas. Adegan itu seperti adegan paling romantis yang muncul dalam film nasional sepanjang tahun-tahun belakangan ini. Hening sekali ruangan. lbarat kata, jika sebatang jarum pun terjatuh dalam gedung pertunjukan saat itu, suaranya pasti akan terdengar.

Adegan terus berjalan mendekati akhir dari sebuah drama. Tegang dan klimaks. Romans yang panas tinggal meledak menunggu saatnya. Dada Swan berdegup kencang. laa merasa, jika ia mengingat kisah cerita sesuai skenario film yang ada seharusnya ketegangan dalam film itu sudah diakhiri. la sungguh tidak mengerti dari mana datangnya adegan tam­bahan.

Lalu ledakan itu datang juga tanpa diduga-duga. Mata Swan nyaris melotot, kedua kelopaknya terlihat berkaca-kaca. la tak tahu harus menangis, menjerit atau harus bersikap entah bagaimana. Di atas layar lebar, diantara lima ratusan pasang mata pengunjung yang memadati gedung. pertunjukan itu terpampang jelas bagaimana Swan memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya yang penuh dan telanjang. Mulus dan menantang.

Jantung Swan terasa beku dan seakan hendak copot dari tempatnya. Swan merasa pening bukan kepalang. Bagaimana mungkin adegan seperti itu bisa ada sementara ia merasa tidak pernah melaku­kannya? Swan merasa telah dieksploitasi.

Tidak kuat lagi. Swan berdiri, lalu segera berlari blingsatan mencari barisan tempat duduk kru film. Di hadapan para pengunjung yang mendadak heboh dengan tindakannya, Swan menuding kepala sutra­dara sambil berteriak-teriak, "Dusta! Dusta!" mem­buat para penonton saling pandang.

Rose segera menyusulnya. Di antara keremangan gelapnya gedung pertunjukan itu ia masih bisa melihat kaki Swan yang terhuyung-huyung lemas tanpa tenaga. Beruntung Rose bisa segera menangkapnya.□
.......................................................................................................

sedingin arca....


Jakarta di larut malam. Udara dingin kian terasa membekukan hati yang tengah tidak memiliki perasaan apa-apa. Swan menatap sudut keremangan kota dari jendela rumah kontrakan tingkatnya yang terbuka.

Lampu-lampu merkuri, billboard-billboard yang beraneka warna terlihat menyala-nyala di antara bangunan-bangunan pertokoan dan gedung-gedung bertingkat yang membentengi kota dengan dingin dan angkuhnya.

"Ibukota, bagaimana mungkin aku bisa melupa­kan luka atas perlakuan orang-orangmu terhadapku? Benar ternyata, seperti pepatah mengatakan, suka duka akan terus berputar dalam lingkaran tanpa sudut yang tak pernah jelas di mana muara dan kapan datangnya.


Hidup, sungguh menuai banyak pilihan. Aku, perempuan, penulis yang terjebak dalam pekatnya belantara nasib pencarian jati diri. Aku tak tahu kini bisakah aku kembali, atau masih sanggupkah aku untuk menempuh duniaku yang apa adanya?


Di dalam hari-hari yang pasti akan segera ber­ganti, di antara waktu-waktu yang akan terus terus bergulir, di sisa serpih dunia yang tidak pernah mau menunggu orang-orang yang berpikiran ragu-ragu, aku bertanya-tanya: Bisakah aku kembali...?"

Swan terisak. Bagaimana mungkin kedamaian hanya bisa didapatkan pada saat ia menulis, semen­tara kesuksesannya selama ini justru lahir dari dunianya sebagai seorang artis? Swan tercenung. la meraup lembaran kertas yang terbuang percuma di atas meja, meremas-remasnya, kemudian melempar­kannya keluar jendela.□
...............................................................................................................

hitam putih.....


Lima menit lepas dari pukul sembilan. Hujan yang masih mengguyur ibukota sepanjang pagi itu mem buat orang-orang merasa segan untuk keluar rumah. Swan masih nampak tertidur pulas di atas sofa di samping meja tamunya yang penuh kertas bercece­ran, sementara suara berisik dari pesawat televisi yang masih menyala entah sejak dari kapan tak sedikitpun mengusik lelapnya.

Moon hanya bisa mengelus dada melihat semua itu. Pagi ini dia memang berniat mengunjungi Swan. Sesudah mengucap salam namun tak ada jawaban, dia terkejut mengetahui pintu rumah Swan sama sekali tidak terkunci. Aneh dan tak masuk diakal pintu rumah seorang artis yang tengah beranjak namanya tak terkunci dan tanpa pembantu.

Moon mendesah. Betapa banyak perubahan hidup yang telah dialami Swan. Pertama kali perem­puan itu datang, Moon mengenalnya sebagai sosok seorang perempuan idealis yang sangat mengagung­kan estetika. Namun kini nampaknya semua itu telah berubah. Poster-poster film, guntingan klip iklan, foto­foto bercampur dengan naskah-naskah tulisan nam­pak bertebaran di mana-mana. Moon merasa kasi­han, dan ia juga tahu barangkali penyebab dari semua ini adalah kasus Swan sebagai seorang artis yang merasa telah dieksploitasi.

Moon memandang sekeliling ruangan, lalu sambil menjumput setumpuk naskah yang berisi tulisan­-tulisan tangan Swan dia berjalan menuju kursi yang terletak di sudut ruang. Kembali ia menghela nafas, lalu perlahan mulai membaca tulisan-tulisan dalam kertas yang sudah dipegangnya.

"Dalam hidup ada banyak cerita bagi suka dan duka untuk bisa safing berbagi, untuk bisa saling mengisi. Namun berapa persen sesungguhnya dari hidup ini harus terisi kedukaan untuk bisa menunjuk­kan bahwa hidup ini memang seadil-adilnya? Juga, berapa persen sesungguhnya dari hidup ini boleh mendapatkan kesukaan untuk bisa memberikan gambaran bahwa kegembiraan yang kita nikmati ini sudah apa adanya?


Betapa seringnya kita memilih diri untuk bisa berubah-ubah peran sekehendak hati, setiap waktu. Bisa saja kita kemarin menjadi lawan, kemudian kini kita sudah berkawan. Lalu esok, entah kita akan ber­ubah menjadi apalagi, Seorang kekasih? Teman? Atau menjadi seteru kembali? Atau perlahan-lahan kita akan memilih berubah menjadi dewa yang seakan­-akan bebas menentukan apa yang akan terjadi dengan nasib kita semua?


Dunia ternyata terus berevolusi tidak perlu menunggu dalam hitungan abad, windu, tahun, bulan, bahkan hari-hari. Di zaman yang sangat ketat dengan segala hal yang sifatnya kompetitif ini, dunia berevolusi dalam hitungan detik.


Dunia bahkan berevolusi dalam sepersekian detik ketika perubahan pola pikir dan logika manusia dimulai. Di atas semua itu yang tersisa hanyalah symbol-simbol kasih sayang, kekuatan cinta, yang tak hancur dan tak lekang karena goresan waktu yang terus menerpa seiring kisah perjalanan manusia…... "


Moon terperangah. la merasa terkejut dengan apa yang ia temukan dalam tulisan-tulisan Swan. Atau sejujurnya semua ini adalah refleksi dari kenyataan hidup yang selama ini dialami Swan?

"Fana….. fana dan maya. Kebanyakan dari kegem­biraan ternyata selalu berumur lebih pendek diban­ding penderitaan yang harus kita alami sepanjang perjuangan kita dalam mengatasi tugas-tugas mulia sebagai seorang manusia.


Saat kita larut dalam suka, nampak semua hadir bagai halusinasi. Sahabat-sahabat baru datang, berbagai idiom dikibarkan. Selebihnya senyap, karena kita tahu kekuasaan yang dimiliki tak akan pernah abadi. Kebersamaan juga tak akan pernah abadi, kecuali mereka-mereka yang menampakan wajah cinta melalui ketulusan hati yang tak ternodai. Sebetapa pun suasananya, sebetapa pun adanya..... "

"Eh ...kamu, Moon?"

Moon tersentak. la sampai tak sadar Swan sudah menggeliat bangun dan kini tengah memandang ke arahnya. Sejenak Moon menatap ke arah Swan. la melihat perempuan itu nampak kecapaian, matanya masih kuyu dan rambutnya awut-awutan.

"Iya. Sudah bangun kamu?"
"Belum begitu. Hihihi...ada-ada saja kamu, Moon. Masa-orang tidur bisa omong-omongan?"

Mendengar celoteh Swan, Moon jadi tersenyum. Swan perlahan bangun lalu menggaruk-garuk kepala­nya seraya melongok ke arah jam di dinding.

"Ups, ternyata sudah siang. Kamu sudah lama, Moon?"
"Baru juga satu jam."
"Satu jam? Yang bener saja, Moon? Kok nggak ngebangunin aku?"
"Kamu pules banget kaya' kucing sih."
"Hihihi...aku capek banget, Moon. Semalem abis nglembur nulis," ucap Swan sambil berdiri.
"Kamu harus lihat tulisanku yang baru, Moon," Swan melanjutkan.

Dengan langkah masih sempoyongan Swan ber­jalan mengitari ruangan. Nampaknya ia tengah men­cari-cari sesuatu.

"Di mana ya? Perasaan semalem aku taruh di sini."
"Ini yang kamu cari, Swan?" tanya. Moon.
"Mana?" jawab Swan sambil mendekat ke arah Moon.
"Ini," Moon memperlihatkan kertas-kertas yang masih dipegangnya.
"Iya, iya. Kamu sudah membacanya?"
"Sebagian."
"Bagaimana menurut kamu?"
"Bagus. Kamu banyak sekali kemajuan. Sudah ada tawaran?"
"Belum. Kamu tertarik?" tanya Swan sambil menggaruk punggungnya.
"Aku baru lihat sebagian."

Moon nampak menggeliatkan badannya untuk mengusir pegal-pegal. Swan berjalan masuk ke dalam. Di ambang ruang makan ia bertanya kepada Moon. Mulutnya menguap, tanda kantuknya belum hilang benar.

"Kamu mau minum apa, Moon?"
"Nggak usah repot-repot, Swan."
"Aku bikinin kopi ya? Sekalian. Aku nggak bisa ngapa-ngapain sih kalau bangun tidur belum minum kopi,”
"Terserah kamulah, Swan."
"Santai aja, Moon. Kamu boleh baca tulisanku sesuka hati."

Swan. Perubahan pada perempuan itu sungguh sangat drastis. Saat ini Swan terlihat begitu ‘no comment' terhadap sesuatu yang prinsipil. Perem­puan itu nampaknya sudah menemukan jati dirinya.

"Semalem Rose juga ke sini. Sampai malem, mungkin juga sampai pagi. Aku malah nggak tahu dia pulang jam berapa," ucap Swan sambil menyorong-kan minuman.
"Minum dulu, Moon. Mumpung masih hangat."

Tanpa menunggu ditawari dua kali Moon lang­sung mencicipi kopi yang telah dibuatkan Swan. Betul, hangat dan nikmat.

"Trus, apa kesibukanmu sekarang?" tanya Moon.
"Ya masih seperti dulu, plus sesekali main iklan" jawab Swan sambil meraih remote control untuk menyalakan CD player di sudut ruangan.
"Main filmnya?" mata Moon menyelidik.
"Kapok, Moon. Takut kasus lagi," jawab Swan seraya menggulung rambutnya.
"Baru pertama saja sudah mutung," olok Moon sambil senyum.
"Aku pengin kembali nulis, kembali ke dunia lamaku," jawab Swan tanpa mempedulikan komentar Moon.
"Aku lihat tulisan kamu makin bagus."
"Artinya?"
"Kita lihat saja nanti, Swan. Eh, kamu sudah ketemu Rain? Kabarnya dia sudah balik dari pentas di luar negeri."
"Ah, Moon..." Swan menyergah.
`Ya sudah, aku balik dulu. Ntar kalau ada sesuatu aku kabari," ujar Moon sambil melangkah keluar pintu.
"Nggak main-main dulu?"
"Aku ada acara. Eh, tulisan kamu cepat kelarin ya?"
"OK, Moon."

Swan mengantar Moon sampai hilang dari tikun­gan. Gerimis masih turun perlahan. Swan mengge­liatkan badannya, mulutnya kembali menguap. Ups! Hari-hari tidur kembali dimulai.□
........................................................................................................
hari tak bernama....


Swan menutup pintu. la terlihat merenung, me­langkah gontai dalam ruangan. Disebutkannya nama Rain membuat segala kenangan yang nyaris terkubur kembali terbayang. Ada getaran rasa yang tiba-tiba saja memukul-mukul sangat keras di dalam dadanya. Swan mendesah, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas pembaringan.

"I feel the beat, aku merasakan ada debaran di jantungku. Rain, kenapa nama yang satu ini selalu menjadi persoalan bagiku dalam menjalani semua­nya? Cinta telah datang dengan begitu mudahnya, cinta yang fana namun mempesona. Aku tak peduli…….


Taburan seribu kenangan tidak boleh menjadi satu langkah sesal yang akan memberatkan langkahku. Namaku Swan, aku penulis. Yang telah terjadi biarlah terjadi. Aku akan menggenggam kepastianku, aku akan tetap menulis…..."

Di luar rumah gerimis mulai reda. Swan menim­buni tubuhnya dengan selimut dan bantal. la mencoba meredakan sebuah gejolak rasa yang terus berdentum-dentum dalam jiwanya. Namun tak mampu, sia-sia semua itu ditolaknya. Swan merintih, ia merasa tersiksa, "Rain ...ah Rain....!"□

bersambung........
___________________________________________________________________
DAUN GUGUR DI MANGGARAI, GUSBLERO © 2000
Naskah ini pernah diterbitkan Focus Grahamedia (2006)
Jl. Sepakat II No. 73 Cilangkap – Cipayung, Jakarta Timur

DAUN GUGUR DI MANGGARAI

DAUN GUGUR DI MANGGARAI (Enam) l Gusblero

serpih....

 

"OTB baru kok ngelamun sih?" Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan lamunan Swan. Saat itu Swan tengah melihat televisi, pintu depan tak terkunci.
"Eh ...kamu Rose," Swan sedikit gelagapan.
"Lagi ngelamunin apa?" Rose tak kuasa menahan gelinya.
"Enggak...aku tadi habis baca-baca. Capek, trus ngeliat tivi. OTB baru tadi kamu bilang? Apaan sih?"
"Orang Terkenal Baru! Hahaha....!"
"Bisa aja kamu, Rose. Dari mana kamu tahu aku ada di rumah? Atau kebetulan memang lagi mau ke sini?"
"Pas kebetulan lewat aja, lalu langsung ke sini."
"Ada berita baru?"
"Cuma mau ngucapin selamat."
"Kan kemarin-kemarin sudah ngucapin selamat."
"Ya, tapi kan untuk iklan kamu. Yang ini untuk beritamu yang di surat kabar."

Swan bangun dari tempat duduknya. la menuangkan segelas minuman warna strawberry kepada Rose. Keduanya berdiri saling berhadapan.

"Surat kabar? Berita apa? Mana. ….mana?"
"Tentang komentarmu pas shooting. Hot banget!"
"Perasaan aku nggak pernah diwawancarai?"
"Sun bilang kamu deg-degan?"
"lha iya lah, tapi...."
"Sun yang diwawancarai. Dia banyak ngomongin kamu."
"Ah, kok bisa gitu sih dia?"
"Ini ibukota, Swan."
"Mana surat kabarnya? Kamu bawa enggak?"
"Ketinggalan di studio. Yang jelas nih, orang ngebaca pasti ada something-somethingnya antara kamu dan Sun."
"Tapi apa hak dia ngomong-ngomong tentang aku segala."
"Kali-kali untuk menarik perhatianmu atau barangkali kalian telah..."
“Shit !"

Swan memotong ucapan Rose. Ia segera menyalakan HPnya untuk mengontak Sun. Non aktif, tak ada nada sambung. Swan membuka T'Shirtnya, lalu melemparkan T'Shirt kotor itu begitu saja ke keranjang cucian. la berjalan menuju kamar ganti.

"Kamu mau kemana?" tanya Rose.
"Mau nemuin Sun. Dia harus menjelaskan semua ini.
"Jangan over, Swan. Kamu harus tenang."
"Tenang bagaimana?"
"Kalau kamu memang merasa ada, yang nggak pas, kamu kan bisa counter lewat media."
"Udahlah, kamu masih temanku bukan?"
"Tentu saja. Tapi apa memang perlu begini?"
"Ya harus!"

Swan tak habis pikir, popularitas ternyata masih sangat membutuhkan tumbuhnya konflik di tengah segala pernak-pernik gosip dan basa-basi. Shit! Sebagai seorang perempuan yang merasa masih memegang prinsip-prinsip serta idealisme ia menganggap apa yang telah dilakukan Sun itu tidak boleh dibiarkan. la seorang penulis yang masih menolak disebut artis apalagi selebritis jika pada akhirnya hanya akan membuat hidupnya menjadi bahan gunjingan dan cemoohan gratis.□
......................................................................................................

lompatan jejak...


Benar juga lagu unggulan milik Rain kemudian menjadi single hits di mana-mana. Nyaris melebihi perkiraan sebelumnya, album Rain yang dikeluarkan bertepatan dengan dimulainya tahun baru itu menuai sukses penjualan yang sangat luar biasa. Prestasi ini kemudian disusul dengan kesibukan grup Rain untuk mengadakan aksi promo tour ke seluruh Nusantara.

Nama Manggarai mendadak menjadi perbincangan. Berkat popularitas lagu ini kemudian bahkan melebarkan stigma kota Jakarta yang selama ini hanya dekat dengan nama-nama seperti Blok M, Pulo Gadung, Tugu Monas dan beberapa wilayah besarnya menjadi berkembang.

Sukses album Rain kali ini selain memberikannya kesuksesan juga menganugerahinya Platinum untuk kategori musik rock terbaik dan juga jumlah penjualan album terbanyak dalam sepekan pertama. Rain nampaknya telah berhasil bangkit dari rasa frustrasinya. Tepuk sorak sorai membahana dan jalinan komunikasi dengan para penggemarnya di setiap kali aksi pentasnya telah membangkitkan rasa percaya diri yang luar biasa pada diri Rain.

Sepertinya demikian. Namun benarkah semua itu akan tetap terus bertahan, serta mampu mengisi kekosongan hati Rain saat malam menjelang dan sunyi menutup diri? Nampaknya hanya Rain yang sanggup menjawab serta menjelaskan semua itu.□
.........................................................................................

tawanan cinta..


“Apakah kamu mau memaafkanku?"

Sebuah SMS diterima Swan di pagi hari ketika ia baru bangun dari tidurnya, pengirimnya Sun. Swan hanya mendengus, lalu menaruh HP itu di samping¬nya begitu saja tanpa membalasnya.

Sesudah kejadian tempo hari dan sesudah ia merasa puas melampiaskan kedongkolannya atas sikap Sun yang asal ngomong saja kepada media Swan merasa sudah tidak ada gunanya lagi ia menimbang-nimbang perasaan dengan orang yang bernama Sun.

Swan tidak ingin terjebak dalam kesalahan yang sama hanya untuk sekadar pemenuhan kebutuhan perasaan yang menggebu-gebu jika inti sesungguhnya hanya sekadar untuk pelampiasan diri. Pun diakuinya pada saat itu ia juga merasa telah ikut terbakar.

Dunia saat ini nampak tengah terbuka lebar-lebar bagi apapun keinginan yang hendak dilakukannya. Popularitas yang baru digenggamnya menawarkan banyak pilihan keajaiban yang tinggal menunggu untuk disentuhnya, terserah ia mau memilih yang mana. la harus mampu mengalihkan perasaan kesepian dan hampa tanpa kehadiran cinta di antara hari-hari-nya. la harus menjadi perempuan mandiri yang tidak akan gampang terkecoh situasi, lalu terlibat dalam romans semu semata di dunianya yang kini.

Swan melenguh. Di antara sekian persoalan hidup yang terasa menghantuinya tiba-tiba sekelebatan muncul wajah Rain. Ahh.………..!□

...............................................................................................

dunia gemerlap....


Siang hari di sebuah hotel yang terletak di jantung ibukota, Swan dan beberapa orang perfilman nampak duduk di satu meja.

"Coba kamu pelajari lagi, Swan."
"Tema besarnya saya sudah tahu, ceritanya memang menarik."
"Lalu?"
"Apakah adegan telanjangnya memang perlu?"
"Itu bumbu perfilman, Swan. Selain untuk menarik minat penonton juga untuk menjaga keutuhan cerita."
"Apa tidak bisa diganti?"
"Sesuatu yang bisa mengembangkan fantasi penonton itu perlu."
"Ehm...saya rasa saya tidak mampu melakukannya."
"Yaahhh...!"
"Oke oke! Seandainya kita buat sesederhana mungkin?" .
"Bagaimana?" tanya Swan.
"Shoot dari belakang saja, secara siluet."
"Jadi adegan itu tetap ada?"
"Sebagian saja, lagian nanti tubuh kamu dibloking efek pencahayaan:"
"Satu adegan?"
"Ya,”
"Emhh...."
"Bagaimana?"
"Aku pikir...."
"Satu adegan saja."
"Baiklah."
"Deal !"

Seluruh orang yang ada dalam ruangan itu kemudian bersalam-salaman. Semuanya bersorak, menandai pekerjaan berat dari babak baru kehidupan Swan yang akan segera dimulai. Swan tercenung. la merasa kian jelas menatap masa depannya. Dan walaupun masih ada tersisa sedikit kegamangan dalam hati, Swan merasa yakin bahwa satu keberhasilan lagi telah siap menunggu untuk ditaklukkan.

Swan mendengus. la melambaikan tangannya dengan riang kepada seluruh orang-orang perfilman yang hadir di tempat itu, lalu segera masuk ke dalam mobil yang sekejap kemudian telah membawanya menghilang.□

.....................................................................................................

jingga merona....


"Aku masih sangsi, apa yang sesungguhnya aku Inginkan? Nasib telah memberiku pekerjaan sebagai insan perfilman. Namun benarkah aku sungguh-sungguh menginginkannya? Atau barangkali semua Ini hanya sebentuk pelarian dari keinginanku sendiri yang sebenarnya tak kunjung pernah aku pahami?"

Swan menjalani syuting perfilman di minggu-minggu berikutnya. Saat ini nama Swan betul-betul telah mengorbit menjadi topik pembicaraan di mana-mana hanya karena selintas iklan dan sebuah film yang belum lagi selesai dalam pembuatannya.

"Camera .. . !Action !"

Dada Swan berdegup kencang. la adalah seorang penulis yang sedikit banyak juga memahami arti kata tuntutan peran demi menjaga keutuhan cerita. Namun berbugil ria di hadapan sekian pasang mata orang-orang yang terus mengawasi gerak-geriknya? Semua itu benar-benar merupakan pengalaman baru yang mau tidak mau membuat Swan tetap saja merasa tegang, pening dan berkeringat.

Dia sadar apa yang akan ditangkap kamera hanyalah bagian atas dari tubuh belakangnya yang setengah telanjang, walaupun begitu ia merasa betapa pekerjaan ini telah menuntutnya terlalu banyak pengorbanan.

Rooooollll...! Camera ... !Action !"

Swan mengeraskan hatinya, otot-otot di rahang dagunya menegang. la tahu kini perjuangan hidup membutuhkan pengorbanan lebih dari sekadar harga diri.

Sinar lampu berwarna merah kuning yang menghambur dan menyorot dari arah depan dan atas tubuhnya terasa panas. la berharap seluruh kru akan mampu menyelesaikan adegan ini dalam satu sudut pengambilan gambar yang sempurna agar tidak perlu mengulanginya berulang kali.

Mata Swan memicing. Teriakan aba-aba dari sutradara yang terus memberikannya pengarahan dirasakannya sudah mulai tak terdengar lagi di kedua telinganya kini.

Pikiran Swan terasa membeku. la masih sempat mengawasi pergerakan satu demi satu kamera yang terasa kian menggerayangi seluruh tubuhnya dari segenap arah dan sisi. Lalu, puncak ketegangan itu muncullah.

Setengah meter dari hadapannya seorang aktor yang tengah berendam di bak mandi merentangkan kedua lengannya. Kedua kaki Swan gemetar. la sangat tidak yakin jika laki-laki itu tidak ikut menikmati ketelanjangannya.

Swan melangkah perlahan, kamera menyapu seisi ruangan.
Swan menyentuh bak mandi, kamera tertahan.
Swan melepaskan gaunnya, kamera tegang.
Swan melempar pakaian, kamera terbakar.
Swan merebahkan badan, kamera bergoyang-goyang.
Swan bergerak menggoyang, kamera terguncang!

Sempurna. Fantastis dan sempurna!

“Cut!”

bersambung..........
___________________________________________________________________
DAUN GUGUR DI MANGGARAI, GUSBLERO © 2000
Naskah ini pernah diterbitkan Focus Grahamedia (2006)
Jl. Sepakat II No. 73 Cilangkap – Cipayung, Jakarta Timur

DAUN GUGUR DI MANGGARAI

DAUN GUGUR DI MANGGARAI (Lima) l Gusblero

satu punggung dua muka...

 

Musim penghujan di ibukota. Malam yang temaram ditingkahi rintik-rintik gerimis yang membekaskan embun di kisi-kisi jendela. Swan menghela nafas menatap kelebatan bayangan yang lalu lalang dalam pikirannya. Terlintas kembali segala kenangan yang telah dilaluinya bersama Rain. Bernyanyi, diskusi, menulis puisi dan jalan-jalan bersama. Silih berganti bayangan kenangan manis itu datang memenuhi ruang kepalanya. Swan melenguh.

Swan merasa gelisah. la merasa tak tahu harus berbuat apa. Dingin dinding kamarnya yang berwarna jingga masih menyimpan foto terakhirnya bersama Rain kala berliburan di pantai. Semua itu masih dipajangnya. Namun ia juga merasa kali ini semua kenangan dan saksi-saksi bisu itu tak menimbulkan perasaan apa-apa.

la telah merasakan sakit yang cukup lama. Cinta dan pengkhianatan. Semua itu menempatkannya dalam situasi kebingungan karena terjebak dalam sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba saja hadir yang ia sendiri tidak mampu menjabarkannya apa. Sebuah kegelisahan, dan kebingungan yang disebabkan oleh…....adegan ciumannya bersama Sun.

" Kesepian telah membunuhku. Apakah aku salah, jika dalam sunyi pengembaraanku aku temukan tempat persinggahan bagi asmara yang tak kuyakini pasti dl mana ujungnya. Kekalahanku sebagai seorang perempuan yang tanpa da ya, sendiri dan…..kesepian.
Aku merasa kembali melihat langit pagi dengan sinarnya yang membakar, walaupun aku sendiri belum meyakini apakah aku akan sanggup lindap di bawah bayangannya.
Aku merasa sejauh ini telah terkecoh oleh nasib yang sungguh malang yang akhirnya memaksaku untuk menikmatinya. Entahlah. Perjalanan ini terasa menyiksaku. Namun di luar kesadaranku, petualanganku ini ternyata telah menagih hasratku kembali untuk mengulanginya lagi. Aku perempuan, terkapar, lunglai tanpa daya."

........................................................................................................

selubung maya...

Lima

"Selamat pagi Nona."
"Selamat pagi Mbak."
"Pagi Swan."
"Pagi Neng.¬"
"Pagi……….”

Begitulah sapaan salam selamat pagi yang kemudian terdengar tiap-tiap kali Swan terlihat melintas di sembarang jalan. Ini adalah pagi yang kedua puluh sesudah iklan parfum dengan model Swan ditayangkan. Swan sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa perubahan sosial yang terjadi di lingkungannya akan berdampak secepat itu. la merasa agak kikuk, risih dan tak tahu harus berkomentar apa. Ternyata benar seperti apa yang sudah sering dikatakan orang, sihir televisi ternyata bisa menciptakan perubahan yang sangat fantastis hanya dalam tempo sekejap saja.

Swan adalah seorang penulis yang selama ini pergulatan hidupnya lebih intens dituangkan dalam tulisan. Harus diakui perubahan hidup yang sekejap ini juga menimbulkan culture shock yang tak mudah bagi dia untuk melewatinya. Kenyataan ini juga berpengaruh pada keluarga tempat di mana ia tinggal, yang kemudian memaksa Swan harus pindah mencari kontrakan sendiri karena dengan banyaknya tamu yang datang membuat kehidupan budhenya menjadi merasa tidak nyaman.

Di hari pertama sesudah iklan itu terpampang di layar kaca saja sudah banyak teman-teman dan orang-orang di sekeliling rumah tinggalnya yang berbondong-bondong datang mengerumuninya. Umumnya mereka datang meluangkan waktu untuk sekadar menanyakan berbagai hal ini itu seputar bagaimana ia dulu menjalani testing, syuting, dan segala pernak-pernik proses lainnya.

Pada akhirnya, jujur Swan merasa malu sendiri, karena pada dasarnya kesempatan yang diperolehnya hanya didasarkan pada suatu hal yang sifatnya seperti iseng-iseng belaka, yang bahkan tidak bertautan sama sekali dengan dunianya selama ini sebagai seorang penulis.

Swan merasa mendapatkan satu anugerah yang tak pernah disangka-sangkanya. la telah mencoba menulis berbagai karya agar namanya bisa dikenal orang, namun ternyata perjuangan dan kegigihannya selama ini nyaris luput dan terlewatkan dari perhatian orang. Tentu saja kemudian Swan menjadi terkejut dan bengong bukan kepalang ketika ia mendapati kenyataan bahwa nilai popularitasnya saat ini justru ditentukan dari sekilas penampilan dalam iklan yang kepayahannya tidak seberapa.

"Tiga minggu sampai di hari ini orang telah mencatat keberhasilan hidup seorang perempuan lugu yang selalu membaca dunia dengan tergagap-gagap. Tentu saja harus aku syukuri, walau sejujurnya aku tak yakin benar dengan apa yang saat ini telah aku miliki.
Jika sudah begini segalanya bisa menjadi lebih menenteramkan, paling tidak aku bisa mempunyai redikit waktu untuk berlari dan menghindar dari sekadar cinta yang penuh kepura puraan."

................................................................................................................

buah bibir.....


Sayuuurrr....! Sayuuurrr......!

Pukul delapan pagi hari Kunthing menghentikan gerobak sayurnya tepat di depan rumah majikan Tinah. Tak berapa lama dia menata dagangan para pelanggan segera berdatangan. Tinah termasuk satu di antaranya.

"Sudah jualan lagi, Mas Kunthing. Kemarin-kemarin ke mana?"
Ada...ada saya jualan, Bu Prapto."
"Jualan ke mana?"
"Ya jualah biasa."
"Habis di jalan?"
"Ya begitulah."
"Lauknya mana?"
"Lagi nggak bawa stok, Bu."
"Emangnya kenapa? Habis di jalan juga?"
"Kemarin-kemarin saya bawa daging ayam, orang pada takut flu burung. Saya bawa jeroan kambing, orang-orang takut kena antraks. Saya bawa balungan sapi, giliran orang takut sapi gila. Saya bawa ikan pindang saja, orang bilang bekas makan daging orang yang kena tsunami. Ya sudah saya stop dulu to Bu, daripada maunya jualan daging malahan saya sendiri yang jadi gering."
"Mas Kunthing itu kalo jualan yang bener to. Masak mau libur dua hari nggak ngasih woro-woro dulu?"
"Lhah saya ini tetep jualan, Dik Tin. Tapi apa nggak boleh to kalo Mas Kunthing ini juga mulai mikir¬-mikir soal penglarisan?"
"Maksud Mas Kunthing ini gimana? Aku kok ndak ngerti."
"Menurut buku Primbon, Dik Tin. Hari pasaran Wage itu Mas Kunthing harus berjualan ke arah barat, Kliwon ke selatan, lhah baru pasaran Legi arahnya lagi ke sini?"
"Primbon yang mana?"
"Lha yang dulu Dik Tin suruh baca."
"Itu kan cuma buku?"
"Tapi itu warisan leluhur, pepeling dari nenek moyang kita sejak dari zaman dulu kala."
"Lantas, laku enggak dagangannya?"
"Ya belum, namanya juga baru nyoba."
"Itu namanya Gatotkaca, Mas."
"Gatotkaca, apa maksudnya?"
"Gagal total kakehan cangkem!"

Sayuuuurrr ! Sayuuuurrrr...!

"Eh Dik Tin, ndoro ayu Swan ada nggak?"
"Ngapain nanya-nanyain jeng ayu segala?"
"Aku pengin ketemu sebentar."
"Ya sana di kontrakannya yang baru."
"Kontrakannya yang baru? Lhoh Ihoh Ihoh... tunggu dulu Dik Tin, apa ndoro ayu Swan sudah pindah?"
"Mangkanya jangan kebanyakan baca Primbon. Jeng ayu pindahan saja sampe tidak tahu."
"Namanya juga ikhtiar supaya bisa cepet kaya to, Dik Tin."
"Memangnya kalo sudah ketemu jeng ayu trus mau ngapain?"
"Mau minta fotonya ndoro ayu, Dik Tin. Siapa tahu nanti dagangan Mas Kunthing jadi ikut-ikutan laris."
"Memangnya jeng ayu juga jualan sayur?"
"Yo tidak. Tapi dia kan lagi laris, fotonya ada di mana-mana."
"Ya sudah. Mas Kunthing tinggal ngambil satu aja kok."
"Itu kan sticker, Dik Tin, gambar tempel."
"Trus, gimana dong?"
"Entar kalo ndoro ayu pas ke sini Dik Tin maintain ya?"
"lya deh. Trus apa lagi?"
"Ya sudah."
"Trus, belanjaannya dapat kortingan nggak?"
"Yaahh Dik Tin, menurut pakar ekonomi kita harr..."
"Sudah sudah... aku dadi mumet dhewe!"
"Eh eh satu lagi, Dik Tin."
"Apa?"
"Ndoro ayu bisa sukses begitu apa dia juga manut Primbon?"
"Primbon?! Emang tukang sayur?"
"Semprul...!"

Sayuuuurrr ! Sayuuuurrrr....!

...........................................................................................................

lirih.....


Rain menekan perasaannya. Kali ini aku tidak boleh gagal lagi, ucapnya. Parameter nada merambat pelan di layar equalizer, ketegangan terasa sedikit memuncak di ruang studio rekaman malam itu. Ini adalah usaha Rain yang kesebelas kalinya untuk menyelesaikan sebuah lagu yang diharapkan nantinya akan bisa menjadi single hits.

……………………………
Daunan gugur di Manggarai
Luka terkubur duka berderai
Daun yang gugur di Manggarai
Rindu mengabur kubelai-belai
Segala mimpi telah menjadi
Kesukaan diri apa adanya
Biarkan nanti tetap abadi
Mengikat janji sumpah setia
Daunan gugur di Manggarai
Hatiku hancur kerna kulukai
Jangan tertidur Dinda aduhai
Dengarkan mazmur cinta kumulai

……………………………

"Cut! Fine!"

Semua yang ada dalam studio bersorak gembira. Rain, Rose dan seluruh teman-teman musisi Rain menarik nafas lega. Mereka saling berjabatan tangan, satu album baru kini telah dirampungkan.

Sementara semua orang tengah asyik menyimak ulang hasil rekaman tadi, Rain menyelinap keluar balkon studio rekaman. Malam telah menjangkau pagi, suara kereta api terdengar dari arah utara. Rain membuang puntung rokok sambil mendesiskan sebuah nama yang tidak begitu jelas kedengaran suaranya.□

bersambung...............
___________________________________________________________________
DAUN GUGUR DI MANGGARAI, GUSBLERO © 2000
Naskah ini pernah diterbitkan Focus Grahamedia (2006)
Jl. Sepakat II No. 73 Cilangkap – Cipayung, Jakarta Timur

DAUN GUGUR DI MANGGARAI

DAUN GUGUR DI MANGGARAI (Empat) l Gusblero

menikam tertikam....

Empat

" Take five!"

Musik mengalun dari dalam ruangan sebuah studio rekaman. Di bilik rekaman nampak Rain dengan headphone terpasang di atas kepalanya mencoba menembangkan lagu barunya.

Suaranya mengalun sendu mengimbangi irama musik yang bergerak pelan. la terus bernyanyi, mendekati bagian reffrain...

"Cut!"

Semua orang yang ada di studio bungkam. Rain terlihat menunduk, wajahnya kuyu sepertinya tak ada tenaga.

"Ada apa, Rain?"
"Nggak tahu kenapa, gue ngerasa sulit in."
"Mau ulangi lagi?" Rain hanya terdiam.
"Baik, kita break dulu saja."

Rose mendekati Rain yang baru keluar bilik. la nampak akan merangkul Rain, namun dengan lembut Rain melengos.

"Gue nggak apa-apa kok. Sori banget. Rasanya gue cuma butuh sedikit waktu untuk menyendiri." Mendengar jawaban Rain itu Rose hanya bisa menghela nafas.□
................................................................................................................

waktu jeda....


Rain memukul jok mobil, sementara tangan yang satunya lagi seperti hendak meremuk-remukkan handphone. la terus merutuk, membuat temannya yang tengah memegang stir hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Shit!"
"Barangkali ia sudah ganti nomor, Rain."
"Entahlah Tom, tapi gue rasa tidak. la mempunyai banyak sekali relasi, hingga nggak mungkin akan semudah itu dia mengganti nomor."
"Atau barangkali dia tengah di luar kota? Kamu sendiri yang bilang dia bisa ngilang begitu saja buat nyari ilham."
"Bisa juga begitu."
Keduanya terdiam. Mobil masih melaju pelan menyusuri jalan.
"Sekarang kita ke mana?"
"Terserah elu aja deh."
"Ke diskotik?"
"Boleh."
"Atau lihat premiere film baru?"
"Boleh."
"Atau nglongokin anak-anak di Festival?"
"Boleh."
"Lu ini gimana sih Rain, dari tadi cuma bilang bolah-boleh mulu?"
"Ya terserah elu lah."
"Lhah, elu maunya apa?"
"Gue cuma pengin tidur."□
..................................................................................................................

sunyi yang mematikan....


"Kesunyian telah mengelabuiku. Hari-hari tanpamu telah memberikan banyak sekali pelajaran kepadaku. Harus aku akui selama ini aku selalu terjebak dalam banyak kesenangan, hingga sesungguhnya aku tidak menyadari apa yang sebenarnya aku cari.
Saat ini aku merasa tengah terombang-ambing dalam sejuta lautan penyesalan. Aku merasa telah terlalu buta untuk menangkap cinta kasihmu yang begitu menyilaukan. So, apa pun yang sesungguhnya telah aku lakukan kepadamu Honey, berikanlah kepadaku ampunan.
Now I'm feel like dying, Honey. I'm goin' down, aku telah terjatuh dan perlahan-lahan akan teng¬gelam, dan lebih dari itu hanya kamu yang sanggup menyelamatkanku, Swan..."


Air menggenang di kolam taman kota. Sedari sore hujan turun begitu derasnya. Lalu lintas di perkotaan menjadi macet total karena terhalang banyaknya air dalam gorong-gorong yang tumpah menggenangi jalan raya.

Hujan yang membadai, gelegar petir saling bersahutan. Sementara itu dari titik horizon yang cukup jauh nampak Rain berjalan terhuyung-huyung meninggalkan taman kota yang tetap kukuh dan membaja dihempas angin dan hujan begitu lebatnya.□
.................................................................................................................

yang tersembunyi...


Swan baru saja selesai membenahi kamarnya ketika tiba-tiba HP miliknya menyala. Waktu masih pagi, suara anak-anak sekolah juga masih kedengaran melintas dari arah samping rumahnya.

"Hallo."
"Pagi Swan. Lagi ngapain kamu?"
"Biasa, benah-benahin kamar. Tumben, mruput banget kamu Rose?"
"Ada acara nggak ini hari?"
"Belum tahu nih."
"Ikutan aku aja yo?"
"Kemana?"
"Post modeling."
"Ngapain?"
"Ya maen aja."
"Laah...."
"Daripada nyanun."
"Ntar deh aku pikir-pikir dulu."
"Aku samperin ya."
"Emm...coba nanti deh."

Derap kehidupan di ibukota sudah dimulai sejak dini hari. Di segenap sudut jalan, barisan orang-orang yang hilir mudik saling berpapasan menuju ke tempat kerjanya masing-masing sudah bagaikan kerumunan semut-semut yang merayap-rayap ke seantero kota.

Kota-kota bergerak menjadi ladang gedung-gedung pencakar langit yang tidak mentolerir lagi sisi-sisi kemalasan manusia. Kehidupan di kota menjadi sebuah roda sistem yang terus dipacu untuk menghasilkan kejayaan, nama besar dan serentetan jejak prestasi yang fenomenal dan monumental.

Siang hari Rose dan Swan tiba di Post Modelling. Di dalam studio sudah nampak beberapa orang tengah latihan gaya dipandu oleh Sys.

"Selamat siang," Rose mengucap salam. Dari tempat latihan Sys merespon salam Rose dengan melambaikan tangan. Lalu sesudah meninggalkan instruksi kepada salah satu anak buahnya Sys bergegas menemui Rose dan Swan.

"Halouw...apa kabar Rose?" sambut Sys.
"Lama enggak kelihatan. Sibuk bikin album baru sama Rain?"
"Ya kurang lebih begitulah."
"Kapan launchingnya?"
"Belum tahu Om. Ini juga lagi digarap."

Swan tercenung. Entah kenapa setiap kali disebut-sebut nama Rain jantungnya masih juga terasa berdebar-debar. la ingin mengenyahkan nama itu, namun sepertinya nama itu telah terpatri begitu dalam di hatinya, sedalam sumur tanpa dasar.

"Kenalin teman saya ini Om?"
"Oh iya. Siapa namanya?" Sys mengulurkan tangannya ke arah Swan.
"Swan," jawab Swan.
"Swan? Beautiful name! beautiful name!"
"Dia ini penulis Om," jelas Rose.
"O bagus sekali! Sudah banyak karyanya?"
"Masih amatir Om," kali ini giliran Swan yang menjawab.
"Hahaha...! Bisa aja. Sudah orangnya cantik, pinter lagi. Apalagi yang dipusingkan? Tertarik jadi model?"
"Model, Om? Modal-madil kali."
"Hahaha...! Om serius nih, aku rasa kamu pasti mampu. Feeling Om kamu bahkan bisa menjadi seorang model yang hebat."
"Makasih lah, Om. Kehidupan di ibukota masih terlalu mengagetkan saya."
"Tapi kamu belum pernah mencoba kan?"
"Nggak dululah, ntar saya ketagihan, Om. Hahaha...!"
"Kamu pantas untuk mencoba Swan. Kebetulan sekali saat ini salah satu sponsor tengah mencari model baru untuk promo produknya."
"Om jangan maksa gitu dong, ntar kalau saya mau gimana," Swan masih menimpalinya dengan sikap bercanda untuk mengalihkan cerita.
"Aku kontak teman yang butuh model itu sekarang ya?"
"Om...!”
"Sudah. Kamu coba saja."

Swan terperangah. la menoleh ke arah Rose yang sedari tadi malah cuma tersenyum-senyum melihatnya.

"Bagaimana ini Rose?"
"Apa juga aku bilang."
"Memang kamu pernah bilang apa?"
"Kamu itu punya karakter bintang."
"Jadi semua ini memang sudah rencana kamu?"
"Aku kan sudah bilang sama kamu, Swan."
"Kapan?"
"Pas kita nonton pentas busana."
"Kok aku tidak tahu?"
"Kamu nggak mau dengar sih."
"Seingatku kamu nggak pernah ngomong gitu deh."
"Aku ngomong, tapi kamu nggak dengar."
"Kapan?"
"Ya waktu itu."
"Di mana?"
"Dalam hati."
"Sialan."
"Hihihi....!"

Kebekuan antara Rose dan Swan nampaknya sudah mulai mencair secara bertahap. Keduanya saling ledek dan ketawa cekikian. Situasi heboh itu sampai membuat beberapa anak studio yang lagi latihan menolehkan muka. Melihat hal itu Rose justru makin tambah cekikikan, lalu mengajak Swan keluar ruangan. Di luar ruangan keduanya tambah tergelak dalam obrolan saling canda.

"Kamu memang gila, Rose."
"Gila gimana?"
"Tawaran itu, Rose?"
"Kamu mau kan?"
"Aku nggak berani."
"Kamu harus mencoba."
"Tapi aku nggak bisa."
"Ini akan banyak manfaatnya."
"Misalnya?"
"Kalau kamu ngetop, itu akan mendongkrak tulisanmu."
"Mungkin juga sih."
"Kamu harus yakin."
"Memangnya aku nggak yakin?"
"Lhah tadi, katanya nggak mau?"
"Siapa bilang?"
"Kamu kan?"
"Jadi kamu nggak yakin kalau aku bisa?"
"Sialan!"
"Hahaha..." Kali ini Swan yang tergelak melihat muka Rose yang sewot. Tak lama kemudian keduanya terlibat lagi dalam canda yang tak habis-habisnya.□
.........................................................................................................................

merapuh......


Swan mengawali profesi barunya dengan menjadi model iklan sebuah produk parfum. Tak banyak kendala baginya menghadapi situasi dan lingkungan yang baru, kecuali hanya pada satu adegan dimana dia harus melakukan satu adegan ciuman dengan seseorang yang walau hanya selintas dalam benak pernah melintas di hatinya: Sun.

Pada sesi ini dia terpaksa harus mengulanginya berkali-kali. Dalam hati ia merasa ada sesuatu yang salah ketika ia harus melakukan adegan ciuman itu dengan Sun. Tak dipungkirinya bahwa Sun menam¬pakkan sesuatu yang positif bagi dirinya sesudah perpisahannya dengan Rain. Namun bahwa ia harus melakukan adegan ciuman di muka umum untuk kemudian diabadikan dan akan ditonton masyarakat banyak secara berulang-ulang tak urung membuatnya merasa malu dan gemetaran.

"Kamu gemetar, Swan?" tanya Kapra sebagai pimpinan produksi.
"Ndak apa-apa kok."
"Kita break dulu?"
"Terserah. Mungkin nanti bisa lebih baik."
"OK. Break...! Kita akan mulai sepuluh menit lagi!"

Swan berjalan menepi ke sudut taman. Sun yang sedari tadi ikut menyimak pembicaraan mengikutinya dari belakang.

"Ada yang salah, Swan?" tanya Sun.
"Aku baik-baik saja, Sun."
"Apa kamu merasa malu melakukannya denganku?" tanya Sun lagi.
"Entahlah."
"Sebenarnya aku juga merasa aneh."
" …………….….." Swan tidak menjawab.
"Ini tidak seperti biasanya."
"……………..…." Swan masih terdiam.
"Sejujurnya, harus aku akui...emh...sebenarnya aku berharap kamu bisa menjadi lebih dari sekadar seseorang yang bisa dekat denganku."

Swan mendongakkan wajahnya ke arah Sun. la melihat sinar ketulusan di sana. Sorot tatapan Swan yang tajam membuat Sun merasa tak berkutik.

"Mungkin benar begitu, Swan. Aku mengharapkanmu lebih dari sekadar menjadi seorang partner." Dengan sedikit nada tertahan akhirnya Sun bisa menyelesaikan ucapannya.

Situasi di lokasi syuting mendadak terasa menjadi lebih sunyi. Sun hanya terlihat menunduk. Harus diakui ia merasa malu namun juga puas sekali. la merasa beruntung sudah bisa mengungkapkan seluruh perasaan yang selama ini terpendam di hatinya.

Hening. Hanya desiran angin yang bertiup menerbangkan daun-daunan. Lalu perlahan terdengar suara Swan sedikit mendesah.

"Entahlah Sun. Aku cuma nggak begitu yakin dengan apa yang tengah aku jalani."

Sun hanya terdiam. la melihat ke arah langit, lalu perlahan menatap ke arah Swan. Swan yang semula menunduk juga memandang ke arah Sun.

"Tapi saat ini kita tengah bekerja, Swan."
"Aku tahu, Sun."
"Dan kita dituntut profesionalisme."

“....………......"

Hening. Swan tak menjawab.
"Kamu keberatan?"

“....………......"

Hening . Swan masih diam.

"Mungkin sebaiknya kita biarkan semua mengalir begitu saja."
"Ya, Sun."
"Walau dengan berat hati, mari sejenak kita lupakan perasaan."

“Ahh... ….!" Swan mendesah.
"Kenapa, Swan?" tanya Sun dengan hati-hati.
"Apakah aku telah melukaimu, Sun?"
"Tidak, Swan. Apakah justru aku yang menyakitimu?"
"Tidak."
"Kalau begitu, mari kita mulai lagi."
"OK!"

Senja yang benderang di sebuah taman. Semua kru akhirnya bersiap-siap lagi untuk melakukan adegan pengambilan gambar. Bunga-bunga mekar di dalam taman, di silir angin keharumannya yang semerbak terasa menebar di seluruh penjuru arah.

"Camera action!"

Panorama langit di atas senja itu berwarna lembayung. Ada dua ekor burung gereja tiba-tiba hadir meramaikan suasana dengan suaranya yang melengking-lengking dalam telinga.

Mata Swan terpejam, ia seolah merasa menjadi buta. Seluruh sarafnya terasa menegang namun tak ada tenaga. la tak bisa lepas kini. Tubuhnya terasa lemas, beruntung kedua lengannya telah menggelayut di pundak Sun.

Lalu ketegangan itu muncul. Swan menahan denyar sejuta bintang yang tiba-tiba terasa menggumpal di dalam kepala. la merasa sedikit pening. Swan seolah telah menjadi buta, lalu tahu-tahu sebuah bibir yang lembut telah mengulum bibirnya. Sia-sia menolaknya.

Tubuh Swan sedikit merejang. Namun tak tahu apakah ingin menolak atau menelannya, Swan membalas ciuman itu. Tak kuasa meronta. Swan membalas ciuman itu sepenuh nafas, sepenuh perasaan yang meluap dari dalam dadanya.□

bersambung..............
___________________________________________________________________
DAUN GUGUR DI MANGGARAI, GUSBLERO © 2000
Naskah ini pernah diterbitkan Focus Grahamedia (2006)
Jl. Sepakat II No. 73 Cilangkap – Cipayung, Jakarta Timur