just ordinary people's blogs

You can take any content from here, quite simply by including the source...

Minggu, 09 Oktober 2011

DAUN GUGUR DI MANGGARAI

DAUN GUGUR DI MANGGARAI (Empat) l Gusblero

menikam tertikam....

Empat

" Take five!"

Musik mengalun dari dalam ruangan sebuah studio rekaman. Di bilik rekaman nampak Rain dengan headphone terpasang di atas kepalanya mencoba menembangkan lagu barunya.

Suaranya mengalun sendu mengimbangi irama musik yang bergerak pelan. la terus bernyanyi, mendekati bagian reffrain...

"Cut!"

Semua orang yang ada di studio bungkam. Rain terlihat menunduk, wajahnya kuyu sepertinya tak ada tenaga.

"Ada apa, Rain?"
"Nggak tahu kenapa, gue ngerasa sulit in."
"Mau ulangi lagi?" Rain hanya terdiam.
"Baik, kita break dulu saja."

Rose mendekati Rain yang baru keluar bilik. la nampak akan merangkul Rain, namun dengan lembut Rain melengos.

"Gue nggak apa-apa kok. Sori banget. Rasanya gue cuma butuh sedikit waktu untuk menyendiri." Mendengar jawaban Rain itu Rose hanya bisa menghela nafas.□
................................................................................................................

waktu jeda....


Rain memukul jok mobil, sementara tangan yang satunya lagi seperti hendak meremuk-remukkan handphone. la terus merutuk, membuat temannya yang tengah memegang stir hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Shit!"
"Barangkali ia sudah ganti nomor, Rain."
"Entahlah Tom, tapi gue rasa tidak. la mempunyai banyak sekali relasi, hingga nggak mungkin akan semudah itu dia mengganti nomor."
"Atau barangkali dia tengah di luar kota? Kamu sendiri yang bilang dia bisa ngilang begitu saja buat nyari ilham."
"Bisa juga begitu."
Keduanya terdiam. Mobil masih melaju pelan menyusuri jalan.
"Sekarang kita ke mana?"
"Terserah elu aja deh."
"Ke diskotik?"
"Boleh."
"Atau lihat premiere film baru?"
"Boleh."
"Atau nglongokin anak-anak di Festival?"
"Boleh."
"Lu ini gimana sih Rain, dari tadi cuma bilang bolah-boleh mulu?"
"Ya terserah elu lah."
"Lhah, elu maunya apa?"
"Gue cuma pengin tidur."□
..................................................................................................................

sunyi yang mematikan....


"Kesunyian telah mengelabuiku. Hari-hari tanpamu telah memberikan banyak sekali pelajaran kepadaku. Harus aku akui selama ini aku selalu terjebak dalam banyak kesenangan, hingga sesungguhnya aku tidak menyadari apa yang sebenarnya aku cari.
Saat ini aku merasa tengah terombang-ambing dalam sejuta lautan penyesalan. Aku merasa telah terlalu buta untuk menangkap cinta kasihmu yang begitu menyilaukan. So, apa pun yang sesungguhnya telah aku lakukan kepadamu Honey, berikanlah kepadaku ampunan.
Now I'm feel like dying, Honey. I'm goin' down, aku telah terjatuh dan perlahan-lahan akan teng¬gelam, dan lebih dari itu hanya kamu yang sanggup menyelamatkanku, Swan..."


Air menggenang di kolam taman kota. Sedari sore hujan turun begitu derasnya. Lalu lintas di perkotaan menjadi macet total karena terhalang banyaknya air dalam gorong-gorong yang tumpah menggenangi jalan raya.

Hujan yang membadai, gelegar petir saling bersahutan. Sementara itu dari titik horizon yang cukup jauh nampak Rain berjalan terhuyung-huyung meninggalkan taman kota yang tetap kukuh dan membaja dihempas angin dan hujan begitu lebatnya.□
.................................................................................................................

yang tersembunyi...


Swan baru saja selesai membenahi kamarnya ketika tiba-tiba HP miliknya menyala. Waktu masih pagi, suara anak-anak sekolah juga masih kedengaran melintas dari arah samping rumahnya.

"Hallo."
"Pagi Swan. Lagi ngapain kamu?"
"Biasa, benah-benahin kamar. Tumben, mruput banget kamu Rose?"
"Ada acara nggak ini hari?"
"Belum tahu nih."
"Ikutan aku aja yo?"
"Kemana?"
"Post modeling."
"Ngapain?"
"Ya maen aja."
"Laah...."
"Daripada nyanun."
"Ntar deh aku pikir-pikir dulu."
"Aku samperin ya."
"Emm...coba nanti deh."

Derap kehidupan di ibukota sudah dimulai sejak dini hari. Di segenap sudut jalan, barisan orang-orang yang hilir mudik saling berpapasan menuju ke tempat kerjanya masing-masing sudah bagaikan kerumunan semut-semut yang merayap-rayap ke seantero kota.

Kota-kota bergerak menjadi ladang gedung-gedung pencakar langit yang tidak mentolerir lagi sisi-sisi kemalasan manusia. Kehidupan di kota menjadi sebuah roda sistem yang terus dipacu untuk menghasilkan kejayaan, nama besar dan serentetan jejak prestasi yang fenomenal dan monumental.

Siang hari Rose dan Swan tiba di Post Modelling. Di dalam studio sudah nampak beberapa orang tengah latihan gaya dipandu oleh Sys.

"Selamat siang," Rose mengucap salam. Dari tempat latihan Sys merespon salam Rose dengan melambaikan tangan. Lalu sesudah meninggalkan instruksi kepada salah satu anak buahnya Sys bergegas menemui Rose dan Swan.

"Halouw...apa kabar Rose?" sambut Sys.
"Lama enggak kelihatan. Sibuk bikin album baru sama Rain?"
"Ya kurang lebih begitulah."
"Kapan launchingnya?"
"Belum tahu Om. Ini juga lagi digarap."

Swan tercenung. Entah kenapa setiap kali disebut-sebut nama Rain jantungnya masih juga terasa berdebar-debar. la ingin mengenyahkan nama itu, namun sepertinya nama itu telah terpatri begitu dalam di hatinya, sedalam sumur tanpa dasar.

"Kenalin teman saya ini Om?"
"Oh iya. Siapa namanya?" Sys mengulurkan tangannya ke arah Swan.
"Swan," jawab Swan.
"Swan? Beautiful name! beautiful name!"
"Dia ini penulis Om," jelas Rose.
"O bagus sekali! Sudah banyak karyanya?"
"Masih amatir Om," kali ini giliran Swan yang menjawab.
"Hahaha...! Bisa aja. Sudah orangnya cantik, pinter lagi. Apalagi yang dipusingkan? Tertarik jadi model?"
"Model, Om? Modal-madil kali."
"Hahaha...! Om serius nih, aku rasa kamu pasti mampu. Feeling Om kamu bahkan bisa menjadi seorang model yang hebat."
"Makasih lah, Om. Kehidupan di ibukota masih terlalu mengagetkan saya."
"Tapi kamu belum pernah mencoba kan?"
"Nggak dululah, ntar saya ketagihan, Om. Hahaha...!"
"Kamu pantas untuk mencoba Swan. Kebetulan sekali saat ini salah satu sponsor tengah mencari model baru untuk promo produknya."
"Om jangan maksa gitu dong, ntar kalau saya mau gimana," Swan masih menimpalinya dengan sikap bercanda untuk mengalihkan cerita.
"Aku kontak teman yang butuh model itu sekarang ya?"
"Om...!”
"Sudah. Kamu coba saja."

Swan terperangah. la menoleh ke arah Rose yang sedari tadi malah cuma tersenyum-senyum melihatnya.

"Bagaimana ini Rose?"
"Apa juga aku bilang."
"Memang kamu pernah bilang apa?"
"Kamu itu punya karakter bintang."
"Jadi semua ini memang sudah rencana kamu?"
"Aku kan sudah bilang sama kamu, Swan."
"Kapan?"
"Pas kita nonton pentas busana."
"Kok aku tidak tahu?"
"Kamu nggak mau dengar sih."
"Seingatku kamu nggak pernah ngomong gitu deh."
"Aku ngomong, tapi kamu nggak dengar."
"Kapan?"
"Ya waktu itu."
"Di mana?"
"Dalam hati."
"Sialan."
"Hihihi....!"

Kebekuan antara Rose dan Swan nampaknya sudah mulai mencair secara bertahap. Keduanya saling ledek dan ketawa cekikian. Situasi heboh itu sampai membuat beberapa anak studio yang lagi latihan menolehkan muka. Melihat hal itu Rose justru makin tambah cekikikan, lalu mengajak Swan keluar ruangan. Di luar ruangan keduanya tambah tergelak dalam obrolan saling canda.

"Kamu memang gila, Rose."
"Gila gimana?"
"Tawaran itu, Rose?"
"Kamu mau kan?"
"Aku nggak berani."
"Kamu harus mencoba."
"Tapi aku nggak bisa."
"Ini akan banyak manfaatnya."
"Misalnya?"
"Kalau kamu ngetop, itu akan mendongkrak tulisanmu."
"Mungkin juga sih."
"Kamu harus yakin."
"Memangnya aku nggak yakin?"
"Lhah tadi, katanya nggak mau?"
"Siapa bilang?"
"Kamu kan?"
"Jadi kamu nggak yakin kalau aku bisa?"
"Sialan!"
"Hahaha..." Kali ini Swan yang tergelak melihat muka Rose yang sewot. Tak lama kemudian keduanya terlibat lagi dalam canda yang tak habis-habisnya.□
.........................................................................................................................

merapuh......


Swan mengawali profesi barunya dengan menjadi model iklan sebuah produk parfum. Tak banyak kendala baginya menghadapi situasi dan lingkungan yang baru, kecuali hanya pada satu adegan dimana dia harus melakukan satu adegan ciuman dengan seseorang yang walau hanya selintas dalam benak pernah melintas di hatinya: Sun.

Pada sesi ini dia terpaksa harus mengulanginya berkali-kali. Dalam hati ia merasa ada sesuatu yang salah ketika ia harus melakukan adegan ciuman itu dengan Sun. Tak dipungkirinya bahwa Sun menam¬pakkan sesuatu yang positif bagi dirinya sesudah perpisahannya dengan Rain. Namun bahwa ia harus melakukan adegan ciuman di muka umum untuk kemudian diabadikan dan akan ditonton masyarakat banyak secara berulang-ulang tak urung membuatnya merasa malu dan gemetaran.

"Kamu gemetar, Swan?" tanya Kapra sebagai pimpinan produksi.
"Ndak apa-apa kok."
"Kita break dulu?"
"Terserah. Mungkin nanti bisa lebih baik."
"OK. Break...! Kita akan mulai sepuluh menit lagi!"

Swan berjalan menepi ke sudut taman. Sun yang sedari tadi ikut menyimak pembicaraan mengikutinya dari belakang.

"Ada yang salah, Swan?" tanya Sun.
"Aku baik-baik saja, Sun."
"Apa kamu merasa malu melakukannya denganku?" tanya Sun lagi.
"Entahlah."
"Sebenarnya aku juga merasa aneh."
" …………….….." Swan tidak menjawab.
"Ini tidak seperti biasanya."
"……………..…." Swan masih terdiam.
"Sejujurnya, harus aku akui...emh...sebenarnya aku berharap kamu bisa menjadi lebih dari sekadar seseorang yang bisa dekat denganku."

Swan mendongakkan wajahnya ke arah Sun. la melihat sinar ketulusan di sana. Sorot tatapan Swan yang tajam membuat Sun merasa tak berkutik.

"Mungkin benar begitu, Swan. Aku mengharapkanmu lebih dari sekadar menjadi seorang partner." Dengan sedikit nada tertahan akhirnya Sun bisa menyelesaikan ucapannya.

Situasi di lokasi syuting mendadak terasa menjadi lebih sunyi. Sun hanya terlihat menunduk. Harus diakui ia merasa malu namun juga puas sekali. la merasa beruntung sudah bisa mengungkapkan seluruh perasaan yang selama ini terpendam di hatinya.

Hening. Hanya desiran angin yang bertiup menerbangkan daun-daunan. Lalu perlahan terdengar suara Swan sedikit mendesah.

"Entahlah Sun. Aku cuma nggak begitu yakin dengan apa yang tengah aku jalani."

Sun hanya terdiam. la melihat ke arah langit, lalu perlahan menatap ke arah Swan. Swan yang semula menunduk juga memandang ke arah Sun.

"Tapi saat ini kita tengah bekerja, Swan."
"Aku tahu, Sun."
"Dan kita dituntut profesionalisme."

“....………......"

Hening. Swan tak menjawab.
"Kamu keberatan?"

“....………......"

Hening . Swan masih diam.

"Mungkin sebaiknya kita biarkan semua mengalir begitu saja."
"Ya, Sun."
"Walau dengan berat hati, mari sejenak kita lupakan perasaan."

“Ahh... ….!" Swan mendesah.
"Kenapa, Swan?" tanya Sun dengan hati-hati.
"Apakah aku telah melukaimu, Sun?"
"Tidak, Swan. Apakah justru aku yang menyakitimu?"
"Tidak."
"Kalau begitu, mari kita mulai lagi."
"OK!"

Senja yang benderang di sebuah taman. Semua kru akhirnya bersiap-siap lagi untuk melakukan adegan pengambilan gambar. Bunga-bunga mekar di dalam taman, di silir angin keharumannya yang semerbak terasa menebar di seluruh penjuru arah.

"Camera action!"

Panorama langit di atas senja itu berwarna lembayung. Ada dua ekor burung gereja tiba-tiba hadir meramaikan suasana dengan suaranya yang melengking-lengking dalam telinga.

Mata Swan terpejam, ia seolah merasa menjadi buta. Seluruh sarafnya terasa menegang namun tak ada tenaga. la tak bisa lepas kini. Tubuhnya terasa lemas, beruntung kedua lengannya telah menggelayut di pundak Sun.

Lalu ketegangan itu muncul. Swan menahan denyar sejuta bintang yang tiba-tiba terasa menggumpal di dalam kepala. la merasa sedikit pening. Swan seolah telah menjadi buta, lalu tahu-tahu sebuah bibir yang lembut telah mengulum bibirnya. Sia-sia menolaknya.

Tubuh Swan sedikit merejang. Namun tak tahu apakah ingin menolak atau menelannya, Swan membalas ciuman itu. Tak kuasa meronta. Swan membalas ciuman itu sepenuh nafas, sepenuh perasaan yang meluap dari dalam dadanya.□

bersambung..............
___________________________________________________________________
DAUN GUGUR DI MANGGARAI, GUSBLERO © 2000
Naskah ini pernah diterbitkan Focus Grahamedia (2006)
Jl. Sepakat II No. 73 Cilangkap – Cipayung, Jakarta Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar