DARAH DAGING
Kantor periklanan itu terletak di
gedung paling atas dari bangunan bertingkat lima yang masih terletak di wilayah
segitiga emas ibukota. Tepatnya dalam sebuah ruangan berukuran delapan kali
delapan meter persegi yang baru bisa dicapai sesudah menaiki lift,
berbelok-belok melewati tiga gang yang di kiri kanannya penuh dinding kaca,
lalu dari jarak sekitar tiga meter baru akan nampak sebuah pintu yang di
sampingnya tertulis “Director’s Room”.
Cokek tercenung. Ia duduk bersandar di
kursi dengan kaki terjulur, wajahnya terangkat ke arah dinding tempat sebuah
lukisan tentang pemandangan alam pedesaan tergantung. Gambar dua pegunungan
terhampar di cakrawala dengan sungai berkelok-kelok di suatu pagi penuh embun
yang nyaris tersaput terbitnya sang surya sungguh menjadi kilas nostalgia yang
tak mungkin dilupakannya. Ia tersenyum.
Alunan musik ruangan yang mengalun
dari Windows Media Player yang
terletak di sebelahnya membuatnya sejenak terlupa dengan agenda kerja yang
telah disusun oleh sekretarisnya.
Gling gling!
Gling gling! Theee…eettt….!
Kereta api melaju dari arah
Purwokerto menuju Jakarta. Bunyi suara lokomotif memecah kesunyian di
lembah-lembah dan sabana. Siang hari, matahari tepat di titik kulminasi.
Panasnya yang nyalang membuat atap gerbong sepanas tungku.
Beberapa anak muda yang berada
dalam satu rombongan bernyanyi-nyanyi diringi gitar. Barangkali mereka adalah
remaja-remaja kota yang baru saja menghabiskan lebaran di salah satu kampung
halaman temannya. Tentu saja mereka belum mengerti betapa akan kerasnya
kehidupan yang harus mereka hadapi nanti ataupun beban orang tua yang harus
ditanggung hingga mereka bisa menikmati hidup ini sambil tetap terus bersenda-gurau
dan bernyanyi-nyanyi.
“Di mana Cokek?” Tanya Willy
kepada Hendra yang baru datang dari gerbong sebelah.
“Tadi sih duduk di atas atap.”
Jawab Hendra sambil mencari posisi di dekat Willy.
“Memangnya kamu darimana?”
“Jalan-jalan di gerbong. Cuci
mata.”
“Dapat?”
“Apanya?”
“Obat matanya?”
“Nggak. Nggak ada sih.”
“Masa iya?”
“Nggak ada!”
“Atau kamu yang buta?” Willy
tertawa.
“Sebetulnya ada…”
“Tapi…?”
“Mereka penginnya kerja. Jadi
maunya dapat juragan.”
“Nah loh. Menyerah?”
“Habisnya mau ngapain?” Jawab
Hendra sambil membuang udara ke samping.
“Hahaha….!”
Cokek adalah seorang laki-laki blasteran peranakan Cina dan Jawa.
Keluarganya aslinya berasal dari Purworejo. Ia dilahirkan oleh seorang
perempuan bunting yang baru 12 tahun kemudian memberitahukan kepadanya siapa
sebenarnya ayah kandungnya. Ia adalah anak seorang perempuan desa yang bekerja
sebagai buruh rumah tangga pada sebuah keluarga Tionghoa. Ibunya yang bernama
Juwarni pulang kembali ke dusun dua belas bulan sesudah ia mulai bekerja dengan
membawa kandungan berisi janin yang telah berusia tujuh bulan di dalam
perutnya.
Kepulangan Juwarni yang disertai
kehamilan itu tentu saja membuat geger seisi dusun, karena sejauh ini semua
orang tahu selama ini Juwarni belum menikah dengan siapapun. Kondisi ini tak
pelak membuat kehadiran Juwarni kemudian menjadi bulan-bulanan bahan gunjingan
dan cercaan, sampai-sampai ia harus melahirkan Cokek secara sembunyi-sembunyi.
Begitulah riwayat Cokek, sedari kecil ia telah tumbuh dalam tempaan hidup yang
sangat keras.
Di dalam darah mudanya Cokek
merasa ada sesuatu yang terus menggelegak menuntut jawaban. Ia adalah anak
alam, yang dibesarkan dan diasuh oleh nalurinya sendiri untuk mempertahankan
kehidupan. Ia adalah sosok seorang anak manusia yang tidak pernah mengenali kasih
sayang orang tua. Cokek tak pernah tahu kepada siapa ia wajib memanggil ayah,
sementara ibu yang telah melahirkannya pun hanya membekalinya dengan ‘hidup’,
sudah itu tak pernah perduli ia mau berbuat apa.
Pemberontakan untuk mencari
jawaban atas keresahan jiwanya selama ini tak pernah memuaskan. Ia terus
mencari dan terus saja mencari, terlibat dalam pergulatan hidup yang penuh
kehampaan tanpa pernah tahu sesungguhnya seberapa batas sesuatu itu bisa
disebut baik atau buruk, benar atau salah. Repotnya lagi ia juga tidak pernah
tahu sampai seberapa jauh seharusnya ia boleh melakukan sesuatu, ataupun juga
sampai kapan seharusnya ia berhenti melakukan sesuatu.
Cokek tidak pernah merasa puas
dengan jawaban dari orang-orang karena sejauh ini ia tidak pernah merasa pasti
bisa mendapatkan gambaran bagaimana suatu hal bisa dikatakan bagus, demikian
pula halnya bagaimana sesuatu itu bisa dikatakan buruk atau melenceng.
Dua belas tahun sesudah ia
dilahirkan Cokek baru mengetahui siapa sebenarnya ayahnya. Sialnya, karakter
hidupnya yang tumbuh secara liar tak memberikan kepada Cokek sedikit pun
pendidikan bagaimana seharusnya bersikap bilamana nanti ia bertemu ayahnya.
Cokek betul-betul anak alam.
Ia hanya diam tak bergeming
ketika juragan cengkeh yang bernama Kwan Tje Leng itu mencoba merengkuhnya. Ia
justru memandang jijik dan berapi-api kepada laki-laki yang telah menelantarkan
ibunya tersebut.
“Jadi…?! Kamu anaknya Warni?”
Tanya juragan Cina berumur enam puluhan itu.
“Ya.”
“Kamu…?!”
“Ya!”
“Siapa namamu?”
“Bah!”
Cokek meludah. Bahkan terhadap
darah dagingnya sendiri ada seorang laki-laki yang tidak mengetahui nama
keturunannya. Mata Cokek terasa panas. Baru kali ini ia merasa begitu menderita
dilahirkan ke dunia ini.
“Kamu…. bajingan!” Suara Cokek
terdengar parau dan terbata-bata. Bulu kuduk semua orang yang melihat drama itu
merinding. Namun Cokek tak peduli. Ia hanya memandang ke arah wajah Kwan Tje
Leng sekilas sekali lagi, lalu menendang dengan kerasnya sebuah keranjang
berisi cengkeh yang terletak di hadapannya hingga tumpah ruah dan berantakan.
Cokek mendengus. Bersama Willy kemudian ia langsung membalikkan badan dan pergi
tanpa mengucapkan permisi.
***
Hari itu juga Cokek, Hendra dan
Willy berangkat menuju Jakarta. Itu adalah lebaran di hari yang ke sepuluh.
Seperti biasa tradisi arus balik penumpang menuju kota-kota besar selalu
diiringi dengan migrasi besar-besaran orang-orang dari daerah untuk mencoba
mengadu peruntungan. Biasanya mereka terpancing karena cerita para tetangga
mereka sendiri yang ketika mudik menceritakan betapa meriahnya kehidupan di
kota-kota besar yang konon gampang memberi nilai lebih untuk membayar keringat
mereka daripada cuma menjadi petani di sawah atau tukang bangunan lokal.
Lalu yang muda-muda juga tidak
ketinggalan membius kerabat maupun teman-teman mereka sendiri dengan berbagai
cerita dan pengalamannya berbaur dengan budaya metropolitan yang gemerlap dan
menakjubkan. Tidak perduli apakah itu sekedar gambaran dari sebuah halusinasi
atau kenyataan yang sebenarnya sungguh-sungguh membingungkan seperti yang
selama ini sering nampak di layar kaca televisi.
Gling
gling! Gling gling! Theee…eettt….!
Kereta api masih melaju menuju
Jakarta. Di beberapa stasiun kecil yang dilewatinya sesekali berhenti untuk
menaikkan para penumpang. Tak perduli apakah tempatnya masih cukup memadai
untuk ditambahi atau tidak, di tiap-tiap stasiun pemberhentian mereka selalu
menaikkan penumpang.
“Di Jakarta kamu harus hati-hati
Sus, meskipun kamu tinggal di rumah Om sendiri tapi Om Chandra kan tidak bisa
menjagamu setiap hari.” Ujar seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan
kepada seorang gadis yang duduk di depannya.
“Iya Sus. Apalagi kesibukan Om
kamu sebagai salah satu karyawan di perusahaan swasta tentu saja tak bisa
ditanyakan lagi. Tantemu sering bercerita kalau Om kamu itu kadang bahkan
sampai nggak pulang saking sibuknya ngurusi tugas-tugas kantoran.” Timpal
perempuan yang nampaknya ibu dari gadis itu.
“Iya Ma, iya Pa, Susan pasti
akan selalu ingat-ingat pesan mama dan papa.” Jawab gadis itu mantap seraya
memandang wajah kedua orang tuanya.
Gadis itu bernama Susan Wong. Ia
adalah anak tertua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Usianya dua
puluh dua tahun. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan program D3 jurusan
publisistik. Lalu dengan bekal rekomendasi dari Om Chandra ia mendapatkan
pekerjaan sebagai tenaga lapangan di perusahaan yang sama tempat dimana Om
Chandra bekerja.
Tentu saja Om Chandra tidak
asal-asalan begitu saja memberikan rekomendasi. Diluar wajah Susan yang memang
cantik dan terasa menarik bagi siapapun yang melihatnya, Om Chandra juga bisa
melihat potensi serta kecakapan dalam diri keponakannya itu. Kurang lebih
setahun yang lalu ia telah berkunjung ke rumah keluarga itu, dan saat itu ia
juga melihat sendiri prestasi keponakannya itu baik dalam menekuni pelajaran di
kampus maupun ketika mengikuti kegiatan-kegiatan ekstra.
Gling
gling! Gling gling! Theee…eettt….!
Cokek tersenyum-senyum sendiri
sambil memandang di kejauhan. Rumpun-rumpun padi yang siap dipanen nampak
bersinar keemasan membentang di sepanjang perjalanan. Ia berdiri mematung di
dekat pintu gerbong, matanya sesekali melirik ke arah Susan. Dalam hati Cokek
mengagumi kecantikan paras Susan yang walau terlihat lelah namun wajahnya masih
tetap menampilkan sudut-sudut garis kecantikan yang sangat tegas. Selain itu
dari sikap duduk serta cara bicaranya terhadap orang tua juga menunjukkan Susan
mempunyai kepribadian seorang gadis yang tidak murahan. Ahh….
Membayangkan gadis seperti itu
suatu saat akan bisa dikenalnya sungguh membuat Cokek menjadi merasa lebih
bersemangat lagi untuk menjadi orang yang sukses dimasa depan. Cokek kembali
tersenyum-senyum. Ketika ia menoleh ke arah rombongan keluarga Susan, gadis itu
kebetulan juga tengah menatap ke arahnya. Jantung Cokek tergetar, gadis itu
terlihat agak kaget, lalu seperti hendak berusaha menutupi kecanggungannya ia
segera berpaling ke arah jendela menatap pemandangan alam yang terhampar di
luar kereta.
***
Kereta api mencengkeram
kuat-kuat pada lajur pemberhentian di stasiun Jatinegara. Bunyi suara rem
menderit keras mengoyak kesunyian malam jelang waktu masuk di azan Isya. Cokek,
Willy, Hendra dan juga para penumpang lainnya turun dari kereta. Udara di luar
agak basah, Jakarta habis diguyur hujan.
Cokek masih berdiri di
antara bangku-bangku ruang tunggu para penumpang. Nampaknya ia masih menunggu
seseorang yang tak kunjung kelihatan batang hidungnya, berkali-kali wajahnya
melongok-longok. Sementara itu kedua orang temannya hanya menggeleng-gelengkan
kepala melihat kelakuan Cokek.
“Ayo, tunggu apa lagi,
Kek?” Tanya Willy tak sabar.
“Nanti dulu, bentar dikit
kenapa sih?” Jawab Cokek masih sembari celingukan.
“Hei….!”
“Pake mata dong….!”
“Ngehe’ lu!” Seorang laki-laki muda yang secara tiba-tiba tidak
sengaja menabrak tubuh Cokek mengumpat. Ia mengumbar makian dengan sumpah
serapah trade merk Jakarta yang
sangat amburadul.
“Salah kamu juga sih,
Kek.” Ujar Hendra menyadarkan.
“Iya, tapi dia kan juga
punya mata.” Jawab Cokek tak mau kalah.
“Ya udah. Kita jalan lagi yuk.”
Ucap Willy.
“Baiklah. Kalau jodoh juga
nggak akan kemana.” Kata-kata yang meluncur dari mulut Cokek itu nampaknya
lebih tepat ditujukan untuk menghibur diri karena kegagalannya melihat lagi
wajah Susan.
Cokek mendesah. Ia baru
saja tengah bersiap-siap mengangkat tas ranselnya, ketika tiba-tiba ia merasa
ada yang tidak beres dengan dompet di saku celananya.
“Dompetku….?!”
“Ada apalagi, Kek?” Tanya
Willy.
“Laki-laki itu?!” Cokek
tidak menjawab pertanyaan Willy. Matanya jelalatan menatap ke arah pintu peron.
“Copeeee….eeetttttt!”
Tiba-tiba Cokek berteriak
seraya berlari mengejar laki-laki yang tadi menabraknya. Hendra dan Willy pun
segera bergegas mengejar di belakangnya.
Mendengar teriakan Cokek,
laki-laki yang tadi menabrak Cokek itu urung melewati pintu peron. Ia segera
berlari menyusuri rel kereta. Wajahnya terlihat pias karena banyak juga
orang-orang yang kemudian melihat ke arahnya.
Cokek terus mengejarnya.
Laki-laki itu terus berlari menyusuri jalan di pinggiran rel yang gelap. Pada
sebuah tanah yang cukup tinggi laki-laki itu melompati pagar berduri, copet itu
masuk perkampungan. Cokek tidak menyerah. Jakarta di satu sudut perkampungan,
jalan-jalannya terlihat becek, sumpek dan berbau apek.
Laki-laki itu menerobos
taman sebuah halaman. Buntu. Laki-laki itu kembali melompati pagar, ia menuju
sebuah gang. Cahaya malam remang-remang. Ia nyaris bertabrakan dengan dua orang
pejalan. Terdengar suara perempuan menjerit. Laki-laki itu mendelik, ia
mengacungkan belati. Dua orang perempuan itu menyingkir. Copet itu kembali
berlari.
Melewati sebuah jembatan
yang terbuat dari bambu copet itu hendak menyeberang, namun terjatuh. Ia nyaris
tercebur ke dalam sungai. Tengah ia mencoba bangun, Cokek sudah berada di
dekatnya. Terlambat. Sebuah tinju tiba-tiba melayang di kepalanya.
Ia memohon ampun, namun
sebuah tendangan kembali bersarang di perutnya. Ia mengaduh, ia ingin memohon
ampun, namun tak sempat karena Cokek bertiga segera menghujaninya dengan
pukulan demi pukulan.
Jakarta di waktu malam.
Ada kriminalitas, namun tak menjadi catatan apa-apa, karena kriminalitas sudah
menjadi menu wajah buram metropolitan sehari-hari.
***
bersambung........
___________________________________________________________
COKEK©Gusblero, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar