just ordinary people's blogs

You can take any content from here, quite simply by including the source...

Minggu, 09 Oktober 2011

DAUN GUGUR DI MANGGARAI

DAUN GUGUR DI MANGGARAI (Tiga) l Gusblero

terserak....

"Permisiii...!"
"Yaa.... !"

Rembang petang di perkampungan. Sebuah langkah terdengar pelan mendekat arah pintu. Lampu di teras rumah itu cukup temaram. Tak berapa lama pintu pun terbuka.

"Asalamu'alaikum Bu."
"Wa'alaikum salam. Oo...Nak Kunthing to."
"Iya Bu ...e Dik Tinah ada?"
"Ada...ada, ayo masuk dulu."
"Biar saya tunggu di luar Bu."
"Ayooo masuk dulu, ntar diculik Mumun loh."
"Ah Ibu."

Di dalam ruang lampu menyala terang bende¬rang. Di dalam rumah itu banyak menyimpan benda¬-benda antik yang secara sekilas saja orang bisa lang¬sung menebak penghuninya pasti dari daerah Jawa.

"Permisi Bu."
"Ayo silahkan masuk. Tinaah...!"
"Ya Buu...!" terdengar suara dari ruang sebelah dalam.
"Ada Nak Kunthing nih...!"
"Ada anak bunting...?! Siapa Bu...?"

Kunthing malah terpingkal-pingkal mendengar pertanyaan Tinah tadi. "Dik Tin itu memang agak gila kok Bu." Sebentar kemudian Tinah keluar dari dalam ruangan, masih dengan penutup kepala laiknya orang mau mandi.

"Lho kamu ini gimana to Tin?"
"Tadi saya pas sedang mau mandi. Lha denger teriakan Ibu saya langsung lari ke sini."
"Ya sudah, temuin tuh Mas kamu."
"Lalu anak bunting tadi? Siapa Bu?"
"Nak Kunthing! Anak bunting anak bunting kupingmu kuwi njepiping!"
"Oalah kirain."

Tinah duduk di lantai yang dilandasi karpet. Ketika kemudian tinggal mereka berdua yang ada dalam ruang tamu itu Tinah segera menggeser duduknya mendekati Kunthing. Keduanya lalu berbicara berbisik-bisik.

"Ada apa Mas?"
"Dik Tin ada acara tidak malam ini?"
"Paling-paling nanti nonton sepakbola."
"Nonton sepakbola?!"
"Lha iya biar sehat."
"Ada-ada saja kamu Dik Tin."
Yaaahhh..."

"Mau nggak saya ajakin nonton musik?"
"Nonton musik? Di tipi?"
"Yo tidak to. Nonton musik di lapangan."
"Di lapangan? Biasanya kan buat maen bola?"
"Bukan. lni maen musik."
"Emang musik apaan?"
"Musik dangdut dangdut dut dut dut!"
"Maen musik dangdut satu lapangan? Gimana sih?"
"Oalaah piye to iki...!"
"Kamu mau nggak saya ajak keluar...?"
"Ke mana?"
"Zangyangan. Pacaran! Pacaran!"
"Oh iye iye, aku bilang sama lbu dulu ya?"
"Ho'oh!"
"Emmm, tapi Tinah mandi dulu ya Mas?"
"lya, tapi jangan kelamaan ya Dik Tin."
"Ndak Mas. Sambil nunggu Mas boleh baca-baca."
"Baca-baca apa Dik Tin?."
"Di pojokan itu ada buku."
"Buku apa Dik Tin?"
"Primbon bahasa Jawa."
"Primbon?"
"Disitu ada resep biar cepet kaya Iho Mas."
"Wuadhuh wuadhuh! boleh itu Dik Tin."□
 ............................................................................................................................

dinding kelabu.....


Swan menerawang di dalam kamarnya. Malam terasa sunyi di tengah kesendirian. Swan tidak begitu mengerti bagaimana begitu mudahnya seseorang beralih perasaan. Atau barangkali kehidupan di metropolis yang derap lajunya begitu pesat merubah seseorang bisa dengan begitu gampangnya membuat ringan perasaan?

Swan terisak. Luka itu tak bisa ditutup-tutupinya. la sudah tidak bisa lagi menggambarkan bagaimana sekarang luka itu terkoyak-koyak. Di langit-langit kamar tergambar lagi segala kebersamaan yang telah dijalaninya bersama Rain. Tragis dan memilukan hati.

"Sebagai seorang perempuan aku telah melampaui garis-garis batas petualanganku. Begitu banyak mimpi-mimpi baru yang tumbuh dalam kehidupanku, walau sesungguhnya aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya aku impikan. Hldupku mengalir, seperti surya menerbitkan pagi, seperti angin menggulirkan awan.
Aku perempuan, yang barangkali tengah terjebak dalam sebuah halusinasi. Lelaki itu telah memberiku banyak kenangan. Mengajariku banyak hal, tentang kenyataan hidup yang sebenarnya. Juga tentang harapan, dusta, serta kesakitan bagi seorang perempuan lugu dan payah sepertiku."


Rain dan Rose, dua berkawan. Bagaimana mungkin seorang kawan tega menghianati sahabatnya, dan lalu bagaimana mungkin seorang kekasih mengingkari pasangannya?

Kehidupan sudah menjadi sedemikian aneh. Sebuah aturan hukum sudah bisa ditabrak-tabrak oleh mereka orang-orang berpunya, lalu di mana masih ada ruang tersisa bagi keberadaan moral yang ujudnya tak terlihat oleh kejernihan mata? Swan melenguh. Ribuan bintang nampak berdenyar-denyar saling bertubrukan di seputar kepalanya.

"Aku tentu saja tetap harus bertahan. Kedatanganku ke kota ini tidak hanya untuk sekadar merutuki nasib yang sejauh ini belum berpihak kepadaku. Aku tentu saja tetap harus bisa bertahan.
Hidup memang tidak mudah, ini tentu bagi siapa saja. Separah apa pun aku telah melangkah. Ini tidak boleh menjadi langkah surut. Aku akan kembali menggenggam takdirku, walau kenyataan sekarang ini ada yang sungguh sangat membebaniku. Apa lagi yang kini tersisa dari seorang perempuan sepertiku?"

.....................................................................................................................

bumi retak....


Jelang suatu petang Swan menyendiri di sebuah kafe. Duduk di kursi meja paling sudut Swan memesan soft drink. Pengunjung kafe pada saat itu belum terlihat ramai, sekilas hanya nampak dua tiga pasangan yang tengah asyik berbincang-bincang, namun Swan tidak mempedulikannya. Pandangan Swan terarah ke ruang pentas di mana nampak seorang dara tengah bernyanyi. Ketika itulah seorang pengunjung laki-laki mendekatinya.

"Sendirian?" Swan diam saja.
"Boleh saya duduk di sini?"

Swan tak menanggapi. Namun laki-laki itu ternyata ngotot, ia segera menarik kursi yang ada di depan Swan, bahkan mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan.

"Nama saya...?!" Laki-laki itu sepertinya mau mengenalkan diri, namun Swan keburu menyergahnya.
"Maaf, saya lagi kepingin menyendiri !"
"Oks, kalau gitu maafkan saya."

Laki-laki itu meminta maaf sambil membungkukkan badannya, lalu segera pergi bergabung dengan para pengunjung lainnya. Swan tidak menggubrisnya. Baginya akan nampak seperti perempuan murahan kalau dia meladeni hal-hal seperti itu.

Swan termenung. la masih menundukkan muka menatap geliat warna lampu yang terpantul dalam gelas, ketika tiba-tiba disadarinya Rose sudah ada di dekatnya.

"Tak baik menjadi orang kelewat sensitif."

Swan menoleh. Swan nampak terkejut, namun dengan sedikit ketus tanpa mengindahkan kehadiran Rose ia menjawab sekenanya.

"Huh, apa pedulimu?"
"Perasaan yang kelewat sensitif bisa membunuh¬mu."
"Maksudmu, aku harus bersyukur dengan ulah kalian?"
Rose tidak menggubris sindiran Swan. la terus berkata dengan rasa percaya diri yang tetap tinggi.

"Rain mencintaimu."
"Hmm...."
"Semuanya hanya kesalahpahaman."
"Apakah aku harus tidak mempercayai penglihatanku sendiri?!"
"Kami benar-benar hanya bercanda. Segalanya terjadi begitu saja."
"Maksud kamu, aku harus menerima peristiwa ilu sebagai kenyataan dalam pergaulan hidup yang bisa diterima?"
"Look, Swan. Ini zaman modern, segala sesuatunya tidak bisa selalu dikaitkan dengan hati, juga emosi." Swan tak geming, Rose buru-buru meneruskan.
"Di dalam lingkup kerja kami hal-hal seperti itu sudah bisa dianggap lumrah. Kami memang bersalah, aku memang bersalah, namun Rain sungguh-sungguh mencintaimu."
"Bedebah lu !"

Swan menampar gelas yang terletak di depannya. Beruntung Rose sigap mengelak. Gelas yang nyaris mengenai tubuh tamu yang ada di dekatnya. Kafe sedikit ricuh, namun Swan tak peduli. la meninggalkan selembar uang pada bartender lalu langsung pergi. Rose mengejarnya.

Swan berjalan dengan langkah-langkah cepat di sepanjang pinggir jalan. Rose mengikuti di sampingnya.

"Kamu harus pahami posisi Rain sebagai idola."
"Dengan begitu aku harus menerima diri menjadi orang yang kalah?!"
"Ada saat-saat seseorang menjadi milik umum, ada saatnya pula seseorang bicara privasi."

Swan berhenti melangkah. la menatap wajah Rose lekat-lekat dengan tatapan yang membara.

"Apa kamu kira aku bego? Apa kamu kira aku tidak tahu mana yang privasi mana yang bukan?"
"Maksudku tidak begitu."
"Katakan padaku Rose katakan padaku, apakah kamu menikmatinya?"

Rose hanya terdiam tak bisa menjawabnya. Swan kembali melangkah, Rose segera mengikutinya.

"Aku betul-betul minta maaf, Swan."

Swan terus melangkah. Rose terus mengikutinya.

"Kamu harus percaya Swan, sebenarnya kami nggak ada hubungan apa-apa."

Swan terus melangkah.

"Yang kamu lihat itu hanya permainan, dan kamu...!"

Swan berhenti, ia memotong ucapan Rose.

"Kamu puas khan?! Kamu merasa puas khan dengan apa yang telah kamu lakukan?!"

Swan mendesak Rose. Rose melangkah mundur.

"Kamu ingin mengatakan bahwa hubungan sex tidak perlu melibatkan hati...hah?! Dan kamu ingin meyakinkanku sebetapa pun Rain mencintaiku, namun sesungguhnya ia tidak memiliki hati?! Kamu juga ingin mengharapkan aku bisa menerima semua ini begitu saja, hingga kamu tidak punya resiko? Dengar Rose, aku bukan tempat sampah! Aku bukan perempuan bebal seperti kamu! Enyah!"

Swan terus mengumpat-umpat seraya mendorong tubuh Rose minggir hingga terjengkang di jalanan. Swan tak peduli. la berlari sedikit ke tengah jalan langsung menyetop taksi. Sementara itu Rose hanya bisa terdiam, memandang dari kejauhan melihat Swan pergi.

Bulan sabit bulan setengah tiang. Di atas langit cahayanya nampak mengapung di antara gugusan mega-mega yang berwarna kelabu. Udara kosong dan asap knalpot tak membekaskan apa-apa, seakan nyinyir menatap lakon cinta anak manusia, bagi sekeping hati yang tengah luka dirundung gerimis.□
................................................................................................................

langit hampa....


Rain tercenung. HP yang digenggamnya berkali-kali nyaris dibantingnya. la merasa telah kehilangan Swan, benar-benar kehilangan. Dalam tiga hari bela¬kangan ini ia telah mencoba menghubungi Swan, namun tak sekalipun Swan mau meladeninya. Rain benar-benar merasa down.

Bahkan dalam pertunjukan terakhirnya ia kehilangan kontrol. Perasaan bersalah itu terasa terus menghantuinya. la merasa telah mendapatkan sebutir mutiara yang kemudian hilang lagi ditelan ombak lautan hanya dikarenakan tingkahnya yang iseng. Rain merasa marah pada diri sendiri.

Betapa bodohnya ia sebagai lelaki. Masih jelas terngiang-ngiang dalam kepalanya ucapan kemarahan King, bos dari perusahaan rekamannya.

"Hei Rain, ape lu udah bosan makan nasi dari musik? Trus lu mau ape? Kerja nyang bener dong. Lu ngancurin sekali aja pentas lu itu alamat karier lu bakal ancur-ancuran! Trus kalo udah begini siapa nyang rugi? Lu rugi, gue apalagi! Kalo emang lu udah males jadi artis, ngapain juga gue bela-belain? Gue denger-denger penyebabnya malahan cuman soal sepele, soal cewek. Monyet banget lu Rain? Ya udah. Pendek kate lu nggak usah mikirin musik sepanjang elu belum bisa ngebenerin sikap elu sendiri!"

Ya, ngebenerin sikap. Baru kali ini Rain merasa betapa dirinya telah terlalu jumawa sebagai seorang lelaki. Kesombongan karena seringnya dikelilingi perempuan segudang telah melaburinya dari kenyataan bahwa ia sudah seharusnya menentukan satu pilihan. Dan jawaban dari semua itu hanya ada pada Swan. Swan, ya Swan seorang.

"Perempuan itu telah meracuniku dengan sebentuk cinta kasih yang tidak aku ketahui muaranya. la serupa bidadari yang telah menggamitku dari lembah sunyi menuju pantai kebahagiaan.
Seperti Jaka Tarub dalam kisah pewayangan, betapa bodohnya aku telah menyebabkan hilangnya selendang.
Perempuan itu tentu saja tak hadir hanya untuk sekadar saling mencurahkan kasih sayang. la telah menaburiku dengan sebentuk cahaya, pengertian, dukungan, dan kesetiaan. Lalu bagaimana mungkin bisa sedemikian bodohnya aku mengingkarinya?"

..........................................................................................................................

geliat warna.....


Swan memasuki lobi hotel. Kepada seorang resepsionis yang tengah bertugas Swan menunjukkan undangan yang ia bawa. Resepsionis itu kemudian rnenunjuk ke satu arah. Swan kembali berjalan. Sesudah melewati banyak sekali ruangan akhirnya sampai juga Swan di sebuah ballroom penyelenggaraan pentas busana.

Nampak kilau lampu gemerlap dan berkilatan ditimpa jepretan blitz dari para fotografer yang lengah mengabadikan gambar. Di atas stage dua puluh lampu sorot menyala garang menciptakan efek pencahayaan yang spektakuler dan glamour. Lalu puncak dari semua itu adalah penampilan dari para model memamerkan rancangan busana yang paling up to date.

Swan menatap sekeliling ruangan. Pentas itu begitu meriahnya. Seorang petugas panitia kemudian menyambutnya, lalu setelah melihat undangan yang dibawa Swan ia mengantar Swan menuju kursinya.

Pentas terus berjalan. Di atas stage para model terus bergaya dan beraksi. Dentuman beat live music yang menambah semarak suasana. Di sebelah samping stage nampak para pengamat mode terlihat begitu antusiasnya mengulas mode yang ditampilkan.

Kompetisi mode, barangkali beginilah gaya hidup sebagian masyarakat ibukota untuk mengukuhkan sikap prestige terhadap budaya yang dimilikinya.

Swan tercenung. Pun ia ikut larut serta menyimak seluruh pertunjukan yang tergelar di hadapannya, namun sesungguhnya ia tidak tahu harus berkomentar apa. Dan lalu, tiba-tiba saja seorang peragawan telah berhenti tepat di hadapannya. Peragawan itu menatapnya. Hati Swan bergetar.

Peragawan itu seolah memberikan senyum kepadanya, hingga membuat Swan merasa salah tingkah. Swan gemetar, ia segera mengambil sapu tangan untuk menghapus keringat yang tiba-tiba mengalir di dahinya. Namun belum lagi hilang kecamuk di hatinya, mendadak terdengar sebuah suara yang berbisik di telinganya. Wajah Swan sedikit menegang, samar-samar ia mengenal suara itu. Benar saja, ketika Swan menoleh, Rose ternyata sudah ada di sampingnya.

"Lelaki itu tertarik padamu..."
"Hmmh...”
"Kamu lihat, dunia ini luas kan? Kenapa kamu masih larut dalam perasaan yang nggak karuan juntrungnya?"

Swan tidak mempedulikan ucapan Rose. la justru balik bertanya.

"Kenapa kamu selalu mengikutiku?"
"Mengikutimu? Siapa yang mengikutimu?"
"Kamu."
"Aku ikut panitia di sini."
"Jadi, undangan itu?!"
"Ya, aku yang mengusulkannya."
"Huh!"
"Sudahlah..."

Mengetahui semua ini adalah bagian dari ulah Rose, Swan hanya bisa menghela nafas. Sementara pertunjukan berlanjut, Swan berpikir keras. Nampaknya tak ada untungnya bersitegang dengan perempuan 'prof' seperti Rose.

"Siapa laki-laki tadi?"
"Sun, anak baru di Post Model."
"Nampaknya kamu tahu banyak hal ya?"
Mendengar pertanyaan Swan, Rose tertawa lirih. "Hihihi...aku ratu yang paling tahu dunia hiburan di kota ini."
"Juga termasuk korbannya?!"
"Hihihi...sudahlah. Lambat laun kamu juga akan mengerti bagaimana sih cara orang harus hidup di kota ini."
"Dasar ulat!"
"Ssst... ikut aku yo!"

Swan ingin bertanya, namun belum lagi sempat berpikir Rose sudah menarik tangannya. Swan tak bisa mengelak. Keduanya lalu berjalan merangsek di antara riuh pengunjung menuju satu ruang yang ternyata Swan baru tahu kemudian kalau itu ruang rias model dan untuk berganti kostum.

Di ruangan itu orang-orang bergerak dengan cepat untuk berdandan dan mengganti busana. Nampak juga seorang laki-laki 'kemayu' yang sepertinya pimpinan model terus berteriak-teriak memberikan instruksi. Swan melihat ke satu sudut. Ketika itu Sun tengah membetulkan letak dasi di kerah lehernya dengan dibantu seorang juru rias.

Sejurus kemudian Rose dan Swan masuk. Melihat kemunculan Rose mulut si 'kemayu' itu langsung nyerocos.

"Hei ratu bantal. Elu salah masuk kamar deh, kite orang lagi kerja!"
"Hihihi...miss ember, jaga dulu jangan sampai rnuncrat ke mana-mana tuh air ludah. Gue cuman mo kenalin nih cewek ame Sun."
"Kuda nil kaya' Sun elu trus kasih umpan. Giliran ike kapan nih...."
"Lho, bukannya kemarin gue udah bawain brekelai yang elu bilang kaya' James Brown?"
"Idih...James Brown apaan, James Watt ! Orang¬nye ngisep rokok mulu kaya' kereta api, giliran gue nyang pengin ngisep udah teler."

Mendengar percakapan dua orang itu semua orang yang berada dalam ruangan jadi tertawa ngakak.

"Oke deh Mak, lain kali gue bawain yang masih pentil."
".Sekarang ade kaga'?"
"Elu mau sekarang?"
"lye. Mana?"
"Ade tuh, di pohon mangga! Hahaha...!"
"Sialan lu ! emangnya ike kampret."
"Udahan ah, eh...Sun, gue mo kenalin nih temen gue.'

Rose menarik lengan Swan yang mukanya nam¬pak gelagapan untuk lebih mendekat pada Sun. Sun mendongak memperhatikan wajah Swan yang kemerah-merahan. Sedetik kemudian Sun berdiri sarnbil menyisihkan tangan juru rias yang masih sibuk menata penampilannya.

"Bentar dulu ya Mak, ngormatin orang."
"Alah...lagak lu, paling-paling deh."
"Sebentar ini Mak."
"lye, tapi lu kan masih harus tampil satu sesi lagi."
"lye-iye, aku juga tahu."

Sun segera beranjak ke arah Swan, tangannya diulurkan untuk memberikan salam perkenalan.

"Sun."
"Swan.”
Keduanya saling bertatapan. Tak ada yang bisa menerka hati siapa sebenarnya yang lebih dulu tergetar. Namun belum lagi keduanya sempat memu¬lai pembicaraan, juru rias sudah menimbrungnya.
"Udah...udah, nanyain soal KTP, hobi dan ukuran pakaian dalamnya entar-entar aja. Lu sekarang sudah musti tampil lagi."
"Oke Mak. Swan, ntar kita ketemu lagi ya."

Sun masih sempat berbicara kepada Swan. Pandangannya terlihat begitu mengharapkan. la sempat melambaikan tangannya sebelum tubuhnya kembali hilang di ruang pentas.□
.............................................................................................................................

malam biru....


Swan melangkah keluar dari ballroom. Kemeriahan telah berlalu. la merasa hinggap lagi dalam dimensi kesendirian yang sunyi dan sepi. Kakinya terus melangkah. Swan hanya bisa memalingkan muka sambil menggigit bibirnya melihat sepasang anak muda tengah berangkulan mesra keluar dari pintu salah satu lift.

Hidup Swan sepertinya selalu penuh dengan kejutan dan perubahan demi perubahan. Seperti juga ketika dia tengah termenung menyusuri anak tangga hotel, tiba-tiba terdengar teriakan seseorang memanggilnya.

"Swan…!”

Swan menoleh. Dari kejauhan nampak Sun yang sedikit terengah-engah berlari ke arahnya. Jaketnya melambai-lambai, membungkus T'Shirt putih yang menyembunyikan dadanya yang bidang.

"Kamu mau kemana?" tanya Sun sesudah sampai di dekat Swan.
"Pulang," jawan Swan pendek.
"Kenapa tidak mau menunggu. Kita janji untuk bertemu kan?"
"Emm...ya, tapi apa harus secepat ini?"
"Lhah, aku kan baru tahu namamu. Di mana tinggalmu, apa hobimu dan apa binatang kesukaan¬mu aku kan belum tahu?"

Swan tersenyum mendengar perkataan itu. Sun yang merasa sudah mendapat angin ikut melangkah di samping Swan.

“Aku mau pulang," ujar Swan.
"Ke mana hamba harus mengantar Tuan Puteri pulang?" tanya Sun. Badannya dibungkukkan laiknya seorang hulubalang kerajaan.
“Aku bisa pulang sendiri."
"Tidak. Tuan puteri tidak boleh pulang sendiri."
"Kenapa aku tidak boleh pulang sendiri?" Swan mulai mengimbangi canda yang dilakukan Sun.
"Karena hamba bisa merasa berdosa sekali."
"Kenapa harus merasa berdosa?"
"Karena membiarkan tuan puteri jalan sendiri."
"Lalu...?"
"Itu bisa berbahaya."
"Kenapa bisa berbahaya."
"Nanti Tuan puteri bisa dimakan srigala atau singa, bahkan raja singa yang badannya besar sekali."
"Hahaha...!"

Tak bisa mengelak, tak bisa menolak. Swan kemudian menerima ajakan Sun. Mobil segera meluncur menyusuri jalan-jalan di ibukota yang tidak pernah tertidur.

"Jadi, apa kegiatanmu sehari-hari?"
"Aku penulis."
"Asyik dong, bisa memaki-maki orang seenaknya lewat tulisan?"
"Ya tidak begitu. Aku kan bukan jurnalis."
"Hahaha...! Sudah banyak yang kamu tulis?"
"Belum."
"Sudah nulis tentang orang-orang Jakarta?"
"Belum juga. Aku tidak selalu menulis tentang orang kok."
"Lantas nulis tentang apa?"
"Kadang-kadang cacing, sampah, kadang juga tentang gelandangan."
"Nah itu kan juga termasuk orang?"
"Orang-orang yang kadang cuma dianggap sebagai orang-orangan."
"Hahaha...! Kamu nggak takut sama cacing?"
"Memang kenapa?"
"Perempuan biasanya paling takut sama cacing."
"Kenapa harus takut sama cacing?"
"Biasanya begitu."
"Salah besar! Perempuan itu takutnya sama tukang perkosa."
"Huahaha...!"

Mobil terus melaju, melewati banyak tikungan dan perempatan. Kilau lampu hias yang berpendaran di sepanjang jalan raya menambah gemerlap malam yang penuh dengan taburan bintang di angkasa.

"Kamu sendiri sudah berapa lama jadi model?"
"Baru juga satu tahun. Awalnya sih cuma iseng."
"Iseng-iseng jadi ketagihan ya?"
"Hahaha...!"
"Sekarang kamu masih merasa iseng nggak?"
"Ya nggak lah."
"Enak dong jadi model?"
"Emang kenapa?"
"Orang ngeceng kok dibayar."
"Bisa dibilang begitu sih."
"Memang ada susahnya?"
"Ya kalau pas tidak ada job."
"Lalu kalau nggak ada job kamu ngapain?"
"Ya kalau pas ada ya bisnis, kalau tidak ya nongkrong di sanggar."
"Nongkrong ya? Enak nggak nongkrong di sanggar?”
"Minimal bisa nambah teman."
"Temen nongkrong?"
"Huahaha...!"
"Kamu tidak tertarik jadi model?"
"Hihihi....!"
"Kenapa tertawa?"
"Aku nggak pantes jadi model."
"Siapa bilang?"
"Aku."
"Hahaha...!"

Mobil terus melaju. Melewati banyak tikungan dan perempatan.

"Kamu pantas jadi model."
"Kamu aja yang udah model kadang kesulitan job.”
"Tapi kamu punya daya tarik."
"Narik delman ‘ngkali."
"Aku serius."
"Kedengarannya kok seperti intervensi?"
"Hahaha...ya nggak, aku kan cuma kasih saran."
"Aku milih nulis sajalah."
"Khan bisa juga sambil ikutan model."
"Aku nggak mau ikut-ikutan."
"Coba dulu deh."
"Kok ngotot banget sih?"
"Aku cuma ngomong kamu pantes jadi model."
"Begitu ya?"
"Lha iya lah."
"Model iklan obat nyamuk?"
"Ndak...ndak, model gadis keras kepala."
"Huahaha...!"

Tak berapa lama kemudian kendaraan itu telah sampai di mulut gang tempat tinggal Swan. Swan segera turun. Beberapa kendaraan ojek nampak menyongsongnya, namun dengan halus Swan menolaknya.

"Thanks, Sun." sebelum pergi Swan masih sempat mengucap salam.
"Ntar aku kontak ya." jawab Sun seperti tak menghiraukan ucapan Swan.
"Ya, sampai jumpa," ucap Swan. Namun Sun belum juga beranjak pergi.
"Semoga mimpi indah."
"Ya, kamu juga."
"Eh, HP kamu jangan dimatiin ya?"
"lya iya."
"Serius?"
“lya iya…”
"Janji?"
"lya iya. Aku berjanji, satu Ketuhanan Yang Maha Esa..."
"Hahaha.... !"
"Ya udah deh. Goodnight."
"Goodnight."

Akhirnya Sun melambaikan tangannya. Dan segera saja mobil berwarna biru milik salah satu model ternama itu hilang ditelan keramaian lalu lintas di ibukota.□

bersambung.............
___________________________________________________________________
DAUN GUGUR DI MANGGARAI, GUSBLERO © 2000
Naskah ini pernah diterbitkan Focus Grahamedia (2006)
Jl. Sepakat II No. 73 Cilangkap – Cipayung, Jakarta Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar