PROLOG
Cokek
melangkah perlahan mendekat ke arah Febrina yang telah menunggunya di atas
pembaringan. Sinar lampu dalam ruangan yang berwarna kuning memoles kulit putih
Febrina menjadi serupa mentega, tergolek mulus dan menantang ke arahnya seperti
seekor ikan lumba-lumba. Tak ada lagi kata-kata.
Cokek
mencengkeram kedua pundak perempuan itu yang tampak tak berdaya. Febrina
melenguh, sebelah tangannya jatuh terkulai di tepian ranjang. Tubuh perempuan
mapan Febrina seperti pohonan berlumut yang basah dan licin ketika Cokek
menaikinya. Derai-derai keringat, dengus desah suara nafas berpacu dalam
penjelajahan hasrat yang kian menyatu. Selebihnya senyap.
Lampu
pejam, nafsu padam. Hanya sebuah suara perempuan kemudian terdengar berbisik
lirih diantara lubang-lubang hampa :“Apakah kamu mencintaiku?”
Tak
segera ada jawaban. Tujuh detik kemudian baru suara itu muncul di ambang sunyi
dalam nada yang hampir-hampir tidak begitu jelas untuk dipahami maknanya :
“Tidak…”
***
TIGA SEKAWAN
Cokek,
tampan, cerdik dan bergengsi. Mobil Jaguar, BMW, villa, dan rumah pribadi.
Dengan segala fasilitas yang ia peroleh dari jabatannya sebagai seorang
direktur perusahaan swasta dan kekayaan yang sekarang ia miliki mana mungkin
ada seseorang yang tidak akan menoleh ke arahnya.
“Selamat pagi Tuan CK…..”
“Good morning Sir…..”
“Cau an, Pak……”
Itu
adalah beragam salam selamat pagi yang secara santun dan tertib ia terima dari
para karyawannya setiap kali ia menjejakkan kakinya di kantor. Pegawai yang
cantik-cantik dengan bau aneka parfum yang kian terasa menyegarkan ruangan,
serta karyawan-karyawan muda yang rata-rata tampan dan sangat cekatan siap
menerima komando perintahnya dari sebuah meja bundar yang terletak di ruang
kantor utama.
Cokek
adalah seorang direktur sebuah perusahaan periklanan di ibukota. Usianya
menginjak tiga puluh tiga tahun saat ini. Ia masih membujang, walau hidupnya
dikelilingi oleh banyak perempuan. Atau barangkali justru situasi itulah yang
kemudian membuatnya sampai sejauh ini belum mengikat hubungan yang cukup serius
dengan salah seorang perempuan : terlalu banyak berhubungan dengan perempuan.
“Ia
sangat tampan.” Ujar Leoni kepada seseorang di seberang telepon.
“Siapa
yang kamu maksud?” balas suara perempuan itu.
“Ya
bos gue.” Ujar Leoni lagi.
“Aku
cuma mau kerja, Leon, aku nggak minta kamu nyomblangin
cari cowok.”
“Tapi
elu perlu tahu dia itu memang tampan.”
“Apa
pedulinya? Apa kalau aku mau bilang ough
yess…betapa tampannya dia, terus aku bisa dapat kerja?”
“Hahaha….gile
lu!”
“Kamu
yang ngaco!”
“Bukan
begitu. Maksud gue supaya elu tuh musti bisa siap-siap mental ngadepin
interview sama dia.”
“Aku
nggak peduli, Leon. Apapun lah, yang penting aku tuh pengin segera dapat kerja,
kerja, dan kerja…”
“Iya
deh.”
“Lantas
kapan aku dapat panggilan?”
“Ntar
coba gue approach lagi sama manager
personalia.”
“Cepetan
lah.”
“Ihh…elu, norak amat sih?”
“Aku
nggak mau berlama-lama lagi nganggur nih.”
“Iya
iya, baru juga lulus jadi sarjana.”
“Eiittt…jangan lupa aku juga pernah
magang kerja lho, walau part timer.”
“Iya,
sama perusahaan yang ancur.”
“Lho,
jangan salahin aku. Itu pan karena kelakuan mantan bosku saja yang enggak
karuan.”
“Iya
deh, itu bos elu. Kalau bos gue….”
“Kenapa?
Kamu mau bilang tampan lagi?”
“Hahaha….dia
itu kaya’ snow on the prahara.”
“Snow on the Sahara! Itu pan lagunya
Anggun.”
“Hahaha….lucu,
elu tau juga ya. Pokoknya dia itu bisa ngebikin masalah pusing jadi lapp ilang begitu saja tiap-tiap kali
gue boring.”
“Sebodo
lah. Pokoknya aku nunggu panggilan.”
“Yoi, siap tuan puteri.”
“Ya
udah. Terima kasih, sie-sie.”
“Sie-sie.”
Jakarta
itu dingin dan angkuh, unik namun asyik. Fenomena berbagai lintas peristiwa
yang terjadi di ranah ibukota sehari-hari membuktikan kenyataan-kenyataan itu.
Kota ini dalam beberapa dasawarsa terakhir mempunyai citra sebagai kota harapan
yang ramai dikunjungi orang. Kota yang selalu dijadikan barometer untuk
mendedah berjuta-juta mimpi. Namun kenyataan bahwa tak segampang itu orang
kemudian bisa ikut kompetisi mengejar mimpi menegaskan bahwa kota ini juga
menyimpan sesuatu yang mengerikan.
Nadi
gerak laju kehidupan di Jakarta adalah narsis. Rivalitas antar manusia tak
memberikan ruang kelonggaran untuk semua kemudahan seperti yang selama ini
digembar-gemborkan orang. Nepotisme, kolusi, menjadi wajah-wajah peradaban baru
yang tumbuh dan kian subur melengkapi kebudayaan di kota-kota besar. Jakarta
bukanlah tempat yang sepenuhnya heterogen.
Diantara
heroisme untuk menjunjung semangat keberagaman seperti yang dikampanyekan
pemerintah, berbagai ketegangan nyaris tak bisa dielakkan. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi punya dampak psikis pada kelas-kelas sosial yang tak bisa segera
menyesuaikannya. Lalu diantara semua hal yang sifatnya teroritis itu, fakta
tentang perkelahian melawan ketidak-mapanan gampang menyulut pemijahan
demografis antara pribumi dan nonpri secara sporadis, dingin dan tak menyisakan
belas kasih. Semuanya bisa saja terjadi karena banyak hal, baik mempunyai alasan
atau tidak.
“Pak
Willy ada nggak ya?” Tanya Leoni pada Denise.
“Aku
belum lihat. Coba di ruangannya.” Jawab Denise tetap masih fokus pada layar
komputernya.
“Elu
lagi ngapain?” Tanya Leoni lagi.
“Ngliat-liat
file model.”
“Model?”
“Iya.
Cowok.”
“Cowok?!”
Tanya Leoni lagi sembari mendekat ke desk
Denise.
“Iya-iya.
Berisik amat sih lu. Sudah sana ke Pak Willy gih.” Denise mencoba menyergah,
namun Leoni sudah keburu sampai di samping meja Denise.
“Ihhh….norak banget luh. Gambar pantat?!”
“Ngeliat
gambar pantat lu langsung melotot. Ati-ati dikit dong meng-ekploatasi hobi.”
“Elu
yang ngadepin masa gue yang dibilang maniac. Eh, tapi omong-omong pantat siapa
tuh?” Tanya Leoni sambil mengerdip ganjen.
“Mau
tau aja luh.”
“Alaa…sama-sama hunter ini.”
“Gelo lu. Ini pantat salah seorang
pejabat.”
“Pejabat?
Elu mau meres? Atau jangan-jangan?!”
“Ih, otak kotor. Ini buat portfolio model Playgirl Magazine.”
“Hahaha…..elu
gila!”
“Dianya
yang mauin sendiri. Kita dapat fee lumayan
nih untuk buruan ini.”
“Berapa?”
“Lumayan
lah buat sekedar ngoleksi pantat.”
“Gue?!”
“Elu?!
Elu….dapet hasil risetnya. Ntar kapan gue udah beres, pasti deh elu kaga lupa
gue ceritain.”
“Sialan.”
“Minimal
bisa buat modal berfantasi. Elu kan paling demen maen fantasi.”
“Sialan.
Tapi omong-omong siapa sih orang itu?”
“Pokoknya
dia itu pejabat lah.”
“Iya
pejabat, tapi siapa?”
“Mau
tahu nih?”
“Iya.”
“Bener?”
“Iya-iya.
Reseh banget sih lu.”
“Nih
gue liatin. Tapi awas jangan ribut, jaga sensasi.” Denise menjawab sambil
memainkan mouse di mejanya. Foto pantat
itu kemudian bergeser perlahan merayapi gambar pinggang berlemak yang konon
milik salah seorang pejabat itu, hingga…..
“Woww…!”
“Hahh…?!”
Teriakan
Denise nyaris berbunyi berbarengan dengan suara kekagetan yang keluar dari
mulut Leoni yang nyaris tak percaya melihat foto itu benar-benar milik salah
seorang pejabat di negeri ini yang tengah berpose telanjang dengan kepala
menoleh ke belakang.
***
Willy
merutuk. Agen yang dimilikinya gagal melobi artis sinetron yang sedianya akan dimintai
konfirmasi soal kedekatannya dengan salah seorang pejabat. Tidak hanya gagal
dalam mendapatkan news yang
diperkirakan akan mampu menaikkan klasifikasi prestise corporation di mana saat ini ia bekerja, naga-naganya pejabat itu
juga sudah mulai pasang kuda-kuda untuk melindungi pleasure privacy-nya yang mulai tercium kuli tinta. Willy
mengumpat.
Surya
Inc selalu berusaha menjadi leader dalam
upayanya meliput apapun halnya berita-berita yang kemudian meledak menjadi
sesuatu yang sensasional. Kecerobohan dari salah satu agen yang dimilikinya
tidak boleh terulang, bagaimanapun ia harus mendapatkan artis itu, apapun
caranya.
“Irene…...!”
Seru Willy memanggil nama salah seorang karyawannya. Tak ada jawaban.
“Ireeee……eeeennn!”
Teriaknya lagi.
“Ya
Paaak……” Terdengar sebuah jawaban. Tak lama kemudian perempuan yang
dipanggilnya itu sudah masuk ke dalam ruangannya.
“Ada
apa, Pak?” Tanya Irene.
“Mana
si bego itu?” Ucap Willy.
“Siapa,
Pak?” Tanya Irene lagi.
“Hendra.”
Jawab Willy dengan wajah terlihat masam.
“Dia
off, Pak.”
“Off….?!”
“Habis
mau meliput kemaren dia disatroni orang.” Papar Irene sedikit tidak tenang.
“Maksud
kamu?”
“Gara-gara
artis itu, Pak.”
“Ceroboh!”
“Pejabat
itu mungkin…..”
“Ceroboh!
Hendra yang ceroboh! Bego, tak berwawasan, dan ceroboh! Mana mungkin agen
berita takut sama nara sumber?!” Hardik Willy.
“Tapi,
Pak…..”
“Tidak
ada tapi-tapian. Kamu harus uber terus itu berita. Jangan sampai gagal. Kalau
perlu cari agen lagi!”
“Ya,
Pak….” Jawab Irene perlahan. Ia masih berdiri mematung. Willy mengangkat gagang
telepon.
“Ngapain
kamu masih berdiri di sini? Cepat kerja!” Hardik Willy lagi sambil menoleh ke
arah Irene.
“I..iya,
Pak….” Irene tergopoh-gopoh menjawab seraya keluar dari ruangan.
“Shit!”
Willy adalah teman Cokek sedari kecil,
begitupun Hendra. Usia Willy saat ini tiga puluh dua tahun. Baik Hendra, Willy maupun
Cokek adalah tiga sekawan yang sama-sama berasal dari satu dusun yang sama.
Kulit Hendra yang agak gelap ditambah rambutnya yang keriting lembut membuat
sepintas Hendra seperti keturunan Ambon. Namun yang jelas mereka semua berasal
dari keluarga yang sama-sama melarat dan berantakan.
Bedanya kalau Cokek baru
mengetahui siapa ayahnya sewaktu beranjak remaja, Hendra sejak kecil hidup
bersama neneknya walau sebenarnya kedua orang tuanya masih ada. Namun perbedaan
itu menjadi tipis bahkan kemudian bisa dikatakan tidak berarti sama sekali,
karena kedua orang tua Hendra sendiri cuma memikirkan masalah mencari
penghasilan di kota dan kalau ada sedikit uang sisa baru mengirimkannya untuk
mencukupi kebutuhan Hendra di dusun.
Sementara meski Willy juga berasal dari
keluarga yang sama-sama miskin namun alur kehidupannya bisa dikatakan lebih
selamat karena dalam rumah tangga orang tuanya tidak timbul prahara.
Hendra
adalah laki-laki paling muda dari tiga sekawan Cokek. Ia baru berusia dua puluh
delapan tahun. Perbedaan umur dalam pergaulan persekawanan ini bisa terjadi
karena Hendra memang sudah terbiasa minta perlindungan kepada siapapun yang
dirasa bisa melindunginya bila ia ada persoalan dengan teman-temannya. Badannya
yang cukup besar sama sekali tidak mencerminkan jiwanya yang gampang goyah saat
ia harus menghadapi persoalan. Namun itulah gambaran Hendra yang sebenarnya,
hingga ia gampang disuruh-suruh baik oleh Cokek maupun Willy untuk hal-hal yang
sifatnya sepele.
.Thok! Thok! Thok!........
Terdengar suara seseorang mengetuk
pintu ruangan. Willy yang masih berbicara melalui telepon menjawab :”Masuk…!”
Leoni
masuk ke dalam ruangan sambil mendekap sebuah stofmap. Ia tetap berdiri di
depan meja Willy sampai Willy menyelesaikan percakapannya di telepon.
“Silakan
duduk.” Ucap Willy kepada Leoni setelah menutup telepon.
“Ya,
Pak.” Leoni sedikit menarik kursi ke belakang. Mengetahui Irene habis kena
damprat bosnya, mau nggak mau Leoni ikut-ikutan sedikit tegang.
“Ada
apa?” Tanya Willy, matanya menatap tajam ke arah Leoni.
“Saya
membawa lamaran, Pak.” Jawab Leoni sambil sedikit menyorongkan badannya ke
depan.
“Kamu
kan sudah kerja?”
“Ini
punya teman saya, Pak.”
“Apa
hubungannya denganku?!” Tanya Willy lagi. Leoni yang ditanya menjadi sedikit
gelagapan.
“Tadi
kebetulan Irene cerita kepada saya….”
“Hemmm…….”
“Katanya
Bapak cari agen?....”
“Lalu…..?”
“Mungkin
teman saya bisa.”
“Dia
agen?”
“Pernah
magang di sebuah penerbitan, Pak.”
“Dia
agen bukan?!”
“E…e….mungkin
bisa dicoba, Pak.”
“Kamu
pikir ini perusahaan main-mainan?!”
“E….e….bu…bukan,
Pak.” Jawab Leoni gugup.
“Sudah,
sana pergi.” Ucap Willy lagi seraya meraih gagang telepon.
“Iya,
Pak.” Tergopoh-gopoh Leoni melangkah keluar ruangan, stofmap yang tadi hendak
diserahkan kepada atasannya itu dibawanya kembali.
Ia
merasa lunglai, namun dalam hati ia masih belum mau menyerah. Perempuan muda
berdarah Cina yang mempunyai nama asli Lie Ong Nio itu sangat yakin bahwa teman
perempuan yang hendak direkomendasikannya itu betul-betul potensial dan mampu
untuk bekerja dalam perusahaan yang selama ini dia ikuti.
“Wajah
elu kok jadi kaya’ udang rebus begitu. Ada apa, Leon?” Tanya Denise yang
kebetulan berpapasan dengannya di seberang ruangan.
“Makanan
aja yang lu pikirin. Wajah ciamai begini
mau lu embat juga?” Jawab Leoni sedikit melengos.
“Idiih…keganjenan.
Abis dimarahin kok nggak dibagi-bagi siih….” Ujar Denise cekikikan.
“Aih…aih, dasar orang kalo punya nama
mesum.” Leoni tak kalah mencibir.
“Siapa
yang punya nama mesum?” Tanya Denise dengan mata melotot.
“Lhah, masih pake nanya lagi. Ya elu.”
“Gue?!”
“Lha
iya lah. Masa’ ada perempuan pake nama #enis? Itu khan punya’nya
laki-laki?”Leoni sambil ngeloyor santai.
“Elu….!”
“Eit..eit, kaga boleh pake marah. Eh,
nama panjangnya apaan sih? #enis meja ya? Ape tukang #enis? Hahaha…!” Canda
Leoni lagi sambil ngeloyor santai.
“Kucing!”
Hampir
satu setengah tahun sudah Leoni ikut bekerja di Surya Inc. Perusahaan
periklanan tempatnya bekerja ini adalah sebuah serikat agen yang telah berada
dalam level nasional. Memasuki usianya yang ke tujuh tahun ini Surya Inc sudah
menjadi gurita yang tangannya menjelma agensi-agensi kecil yang siap menopang grand business-nya dalam bidang
periklanan, production house, dan
penerbitan.
Maka
berbicara mengenai tempatnya bekerja Leoni sadar betul mau tak mau standarisasi mutu pekerjaannya
terbebani oleh stigma produk sebuah periklanan nasional. Dan semua itu tentu
tak bisa lepas dari upaya mengenai cara menjaga kepercayaan publik, utamanya
dari pihak-pihak user atau pemasang
iklan yang menopang seutuhnya dari sisi pendanaan untuk mendapatkan layanan
utama agar produknya memperoleh nilai lebih dalam sistem kompetisi pasar.
***
bersambung...
___________________________________________________________
COKEK©Gusblero, 2006
^
BalasHapusCokek melangkah perlahan mendekat ke arah Febrina yang telah menunggunya di atas pembaringan. Sinar lampu dalam ruangan yang berwarna kuning memoles kulit putih Febrina menjadi serupa mentega, tergolek mulus dan menantang ke arahnya seperti seekor ikan lumba-lumba. Tak ada lagi kata-kata.
Cokek mencengkeram kedua pundak perempuan itu yang tampak tak berdaya. Febrina melenguh, sebelah tangannya jatuh terkulai di tepian ranjang. Tubuh perempuan mapan Febrina seperti pohonan berlumut yang basah dan licin ketika Cokek menaikinya. Derai-derai keringat, dengus desah suara nafas berpacu dalam penjelajahan hasrat yang kian menyatu. Selebihnya senyap.
Lampu pejam, nafsu padam. Hanya sebuah suara perempuan kemudian terdengar berbisik lirih diantara lubang-lubang hampa :“Apakah kamu mencintaiku?”
Tak segera ada jawaban. Tujuh detik kemudian baru suara itu muncul di ambang sunyi dalam nada yang hampir-hampir tidak begitu jelas untuk dipahami maknanya : “Tidak…”
ya ya ya ya...TIDAK....wow...
.
BalasHapusprolog cerita fiksi ini gaya-gaya sex thrillernya Paul Verhoveen atawa Adrian Lyne....beberapa film lawas yg dulu cukup bikin mimpi basah diantaranya adalah 9 1/2 Weeks dan Sex for Pleasure....
dulu hampir juga nonton film yg judulnya Caligula....tapi seorang teman bercaping nglarang...kuatir banget aku bisa kena diabetes abis mantengin itu film....hahahahaha...oughh!!!
Wow. Padet. Asyik.
BalasHapus